Hari Tani Nasional seharusnya tidak sekadar menjadi peringatan simbolik, melainkan momentum refleksi kritis atas arah kebijakan pertanian dan pangan Indonesia. Peringatan ini penting bukan hanya untuk mengenang sejarah perjuangan petani, tetapi juga untuk melihat realitas terkini: kebijakan pangan yang belakangan sarat kontradiksi, sekaligus memperlihatkan betapa posisi petani sebagai soko guru pangan kian terpinggirkan.
Presiden Prabowo menunjukkan atensi pada sektor pertanian dengan sejumlah program: pencetakan lahan baru, industrialisasi, pengadaan teknologi untuk intensifikasi produksi, hingga kebijakan impor beras yang menuai kontroversi. Namun, di balik gegap gempita jargon kemandirian pangan, Impor beras Indonesia bahkan mencapai 4,52 juta ton pada 2024, naik tajam dari tahun sebelumnya, sementara produksi beras dalam negeri justru menurun bersamaan dengan nasib petani yang semakin tidak menentu. Sementara proyek-proyek besar pertanian pemerintah kerap mengabaikan keberadaan petani, hingga merampas ruang hidup masyarakat.
Lebih jauh, di tengah kondisi seperti itu, pelaksanaan teknis program pertanian terkini justru melibatkan militer. Seakan pengawasan dan disiplin lebih penting ketimbang kesejahteraan petani. Padahal di banyak daerah, petani pedesaan justru hidup dalam kemiskinan akut dan terhimpit rantai eksklusi. Alih-alih memberdayakan, pendekatan ini mendorong proses deagrarianisasi yang masif—situasi ketika petani semakin kehilangan tanah, alat produksi, dan perannya dalam ekonomi desa.
Privatisasi produksi pangan yang justru didominasi negara semakin menjauhkan kita dari cita-cita kedaulatan pangan. Semua ini dinormalisasi lewat istilah “ketahanan pangan” yang sering hanya berarti tahan lapar dalam ukuran statistik, tetapi tidak pernah benar-benar berdaulat. Dalam kenyataannya, kita tetap bergantung pada impor dan mekanisme pasar global.
Teknikalisasi Permasalahan
Kebijakan pangan kita selama ini terjebak pada solusi teknokratis. Masalah pangan dianggap hanya soal teknis: cetak sawah, impor beras, penyediaan bibit, atau rekayasa genetika. Meski teknologi penting, pelajaran dari Revolusi Hijau Orde Baru semestinya jadi cermin. Intensifikasi pangan kala itu memang meningkatkan produksi, tetapi juga membawa sengkarut persoalan jangka panjang: kemiskinan petani, kerusakan lingkungan, dan proletarisasi desa.
Baca juga:
Mendudukkan persoalan pangan semata sebagai urusan mesin, pupuk, atau bibit sama saja dengan mengulang pandangan lama yang bias: desa dianggap tertinggal, kota modern lebih maju, dan modernisasi pertanian dianggap solusi tunggal. Padahal, realitas di lapangan jauh lebih kompleks. Antropolog Tania Li menyebut kecenderungan ini sebagai “teknikalisasi masalah”: mereduksi persoalan struktural menjadi sekadar urusan teknis. Negara lebih sibuk mengejar target produksi dalam angka statistik ketimbang membenahi akar persoalan, yaitu ketimpangan kepemilikan tanah, keterbatasan akses petani terhadap input pertanian, hingga dampak nyata krisis iklim.
Ironisnya, di tengah gencarnya jargon cetak sawah yang terus dikumandangkan, lahan baku pertanian justru menyusut sekitar 50–70 ribu hektar setiap tahun akibat alih fungsi lahan. Situasi ini menimbulkan paradoks: meskipun data resmi mencatat produksi pangan nasional mengalami surplus, rakyat tidak serta-merta berdaulat atas hasilnya. Sebagian besar produksi lebih banyak diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar dan industri.
Sementara petani menghadapi lahan garapan yang makin sempit, akses terhadap sumber daya yang kian terbatas, serta pola panen yang terganggu perubahan iklim. Akibatnya, masyarakat Indonesia—yang sering digambarkan lewat lirik lagu “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”—tidak benar-benar menikmati hasil dari tanah suburnya sendiri.
Reforma Agraria Sejati
Persoalan utama pangan di Indonesia sesungguhnya berakar pada struktur agraria yang timpang. Masalah ini bukan barang baru. Sejak awal kemerdekaan, isu agraria sudah menempati posisi penting dalam pembangunan nasional. Tahun 1947 pemerintah membentuk Panitia Pembaharuan Agraria untuk menyusun ulang hukum agraria. Puncaknya, tahun 60-an lahirlah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang disahkan pada tahun 1963 sekaligus menandai Hari Tani Nasional.
Kesadaran itu lahir dari pengalaman kolonialisme yang meninggalkan warisan struktur agraria timpang: tanah dikuasai segelintir elite melalui aturan hukum kolonial. UUPA dimaksudkan untuk membalik situasi, memberi akses luas pada rakyat kecil atas sumber-sumber produksi. Reforma agraria sejati berarti menata ulang kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah agar lebih adil. Ada tiga agenda pokok di dalamnya: redistribusi tanah, penyelesaian konflik agraria, serta pemberdayaan ekonomi petani pasca-redistribusi. Semangatnya jelas, yaitu: membangun keadilan dan pemerataan dalam sistem agraria Indonesia.
Sayangnya, dalam praktik hari ini, semangat itu nyaris hilang. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 295 konflik agraria sepanjang 2024, meningkat 21 persen dari tahun sebelumnya. Luas lahan yang disengketakan mencapai lebih dari 1,1 juta hektar dan melibatkan puluhan ribu keluarga petani.
Sementara realitas ketimpangan penguasaan semakin miris, 1% elit menguasai 58% tanah dan kekayaan alam nasional. Fakta ini menunjukkan bahwa tanpa penyelesaian ketimpangan struktural, program pertanian apapun hanya akan memperparah konflik dan memperdalam jurang kesenjangan.
Revitalisasi Peran Kaum Tani
Petani kini semakin terpinggirkan dalam rantai pasok pangan nasional. Hampir seluruh sektor, dari hulu hingga hilir dikuasai industri besar dan mekanisme privatisasi. Akibatnya, petani kecil hanya berperan sebagai pelaku marginal yang hidup dalam ketidakpastian. Biaya produksi kian tinggi, harga hasil panen sering anjlok, sementara alat produksi dan akses modal mereka sangat terbatas.
Industrialisasi pangan yang tumbuh seiring modernisasi tidak hanya mengendalikan distribusi pascapanen, tetapi juga mempersempit akses petani terhadap input pra-panen seperti benih, pupuk, dan lahan. Situasi ini mendorong banyak petani meninggalkan sawah karena pertanian tidak lagi menjanjikan sebagai sumber penghidupan. Fenomena deagrarianisasi pun menjadi wajah nyata krisis pedesaan hari ini.
Karena itu, tata kelola pangan harus dijalankan dengan keberpihakan nyata pada petani. Pemerintah membutuhkan langkah transformasi yang melampaui sekadar solusi teknokratis. Petani harus dikembalikan pada peran sejatinya sebagai soko guru pangan melalui kebijakan progresif: redistribusi tanah, subsidi sarana produksi, jaminan harga panen yang adil, serta politik kesejahteraan yang berpihak pada mereka.
Baca juga:
Konsekuensi dari proses deagrarianisasi adalah rapuhnya fondasi pangan nasional. Ketika petani kecil kehilangan tanah dan akses terhadap produksi, maka negara keragaman pangan lokal yang selama ini menopang kehidupan desa ikut terancam. Padahal, keberagaman pangan lokal justru menjadi modal penting untuk menghadapi ketidakpastian krisis pangan dan iklim.
Ketergantungan berlebihan pada satu komoditas seperti padi hanya membuat negeri ini rapuh. Sistem monokultur tidak hanya mengikis keanekaragaman hayati, tetapi juga memperkuat ketergantungan pada impor, terutama di tengah ketegangan geopolitik global. Cara pandang monokultur berbasis pasar bahkan memperburuk degradasi lingkungan sekaligus meminggirkan petani kecil dari rantai pangan.
Penutup
slogan swasembada pangan yang sering digelorakan negara harus diuji dengan kenyataan di lapangan. Pembangunan pertanian tidak bisa hanya mengandalkan mesin atau teknologi baru. Ia harus menyentuh pembenahan kelembagaan desa, mengembalikan tanah sebagai basis ekonomi rakyat, memberi ruang setara bagi perempuan dan petani gurem, memperhatikan kualitas gizi, serta menghubungkan kegiatan di lahan dengan sektor ekonomi non-pertanian.
Jalan ke sana hanya mungkin ditempuh melalui penataan ulang agraria yang memastikan tanah benar-benar dikuasai dan digarap oleh mereka yang hidup dari tanah itu sendiri. Kedaulatan pangan tidak mungkin lahir dari proyek teknokratis semata. Ia hanya bisa diwujudkan bila petani ditempatkan kembali sebagai soko guru pangan, sebagaimana mestinya. Tanpa keadilan agraria, teknologi dan industrialisasi hanya akan memperparah ketimpangan yang sudah lama menghantui desa-desa kita.
Oleh karenanya, reforma agraria sejati bukan sekadar agenda masa lalu, melainkan kebutuhan mendesak hari ini. Hanya dengan keberpihakan nyata pada petani kecil—melalui redistribusi tanah, pemberdayaan ekonomi, dan rekognisi atas pangan lokal—Indonesia dapat benar-benar berdaulat atas pangannya sendiri. Dengan begitu, semangat Hari Tani Nasional tidak berhenti sebagai simbol, melainkan menjadi pijakan politik pangan yang adil, berdaulat, dan berkelanjutan. (*)
Editor: Kukuh Basuki