Pak Tentara yang Perkasa, Kita Kembali ke Fungsi Masing-Masing Saja

A. Fadhil Aprilyandi Sultan

4 min read

Dunia tengah bergolak. Saling serang antara Israel-Iran, Iran-Amerika Serikat menggema di setiap sudut media massa. Apabila konflik ini tereskalasi, Indonesia, cepat atau lambat, akan terseret dalam pusaran konflik global.

Di tengah situasi yang mencekam itu, muncul suara-suara yang mencoba menyetir ketakutan kolektif kita. Sebuah akun di platform X—entah buzzer atau bukan—menggulirkan narasi yang menurut saya cukup perlu dijadikan perhatian bersama: bahwa dalam situasi perang, supremasi sipil akan mati sebab hanya militer yang mampu menyelamatkan bangsa.

Premis yang dibangun seolah-olah logis: dunia sedang menuju perang, kita membutuhkan militer. Ya, militer yang selama ini kita tolak RUU-nya. Argumen ini kemudian dilanjutkan dengan konklusi: supremasi sipil tidak bermakna dalam situasi perang, yang dibutuhkan adalah “kegagahan” dan “keperkasaan” militer. Inilah propaganda klasik yang pernah menghancurkan tatanan demokrasi Indonesia selama 32 tahun.

Baca juga:

Mereka yang menyebarkan narasi ini dengan sengaja mempersempit makna bela negara menjadi sekadar menenteng-nenten senjata di medan-medan gerilya. Reduksi makna bela negara ini tidak hanya menimbulkan sesat pikir, tetapi juga berbahaya secara politis. Ini adalah cara lama untuk melegitimasi dominasi militer atas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bela Negara Bukan Monopoli Militer

Apabila dilihat secara mendalam, konsep bela negara jauh lebih kompleks dan inklusif daripada yang selama ini ditanamkan di kepala kita. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, sistem pertahanan Indonesia bersifat semesta, melibatkan seluruh warga negara dan sumber daya nasional dalam berbagai bentuk kontribusi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara semakin memperjelas bahwa bela negara tidak selalu diwujudkan dalam bentuk kekuatan bersenjata.

Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan kewajiban membela negara, namun tidak pernah menyebutkan bahwa kewajiban tersebut hanya dapat dipenuhi melalui cara militeristik. Bahkan Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2022 secara eksplisit mengatur pembinaan kesadaran bela negara melalui pendidikan, kampanye, dan pelatihan untuk masyarakat sipil, termasuk pelajar, mahasiswa, ASN, dan pekerja swasta.

Namun pada kenyataannya, setiap program yang mengatasnamakan bela negara selalu diwarnai dengan aktivitas quasi-militer. Pelatihan baris-berbaris, simulasi perang, dan glorifikasi hard power. Tidak ada ruang untuk diplomasi, negosiasi, propaganda, atau strategi soft power yang justru lebih relevan dalam konteks manajemen konflik modern.

Penyempitan makna ini bukan kebetulan. Ini adalah doktrin warisan oligarki militeristik Orde Baru yang dengan sengaja mengerdilkan peran sipil dalam narasi perjuangan kebangsaan. Doktrin ini telah mengakar begitu dalam hingga kita lupa bahwa Indonesia justru lahir dari perjuangan sipil, bukan dari barak militer.

Sejarah yang Diputarbelit

Mari kita telusuri jejak sejarah yang sebenarnya. Perjuangan kemerdekaan Indonesia bukanlah perjuangan militeristik sama sekali. Para founding fathers kita adalah intelektual, politisi, jurnalis, dan aktivis. Ir. Soekarno adalah seorang insinyur yang kemudian menjadi aktivis dan politisi. Ia adalah kontributor aktif di berbagai surat kabar seperti Suluh Indonesia Muda dan Pikiran Rakyat. Soekarno menyebarkan ide-ide nasionalisme melalui tulisan, bukan peluru.

Drs. Mohammad Hatta sendiri adalah seorang ekonom dan diplomat yang memainkan peran krusial dalam perjuangan diplomatik internasional. Ia berjuang dengan data ekonomi, argumentasi politik, dan negosiasi diplomatik. Tan Malaka adalah seorang guru dan teoretikus revolusi yang menyebarkan kesadaran kebangsaan melalui pendidikan dan tulisan. Sutan Sjahrir memimpin perlawanan dengan organisasi politik dan diplomasi internasional.

Jika kita mundur lebih jauh lagi, embrio kesadaran berbangsa justru dilahirkan oleh para jurnalis, penulis, guru, dan aktivis sipil. Tirto Adhi Soerjo dengan Medan Prijaji-nya, Abdul Rivai dengan Bintang Hindia, dan Douwes Dekker dengan Bataviasch Nieuwsblad adalah pionir pers pribumi yang membangun kesadaran nasional melalui kata-kata, bukan dengan beceng. Jadi, ide awal tentang Indonesia, yang hingga hari ini dibela oleh para serdadu ini, lahir dari goresan pena dan orasi aktivis-aktivis sipil.

Baca juga:

Kita baru mulai mengangkat senjata secara sistematis justru setelah kemerdekaan diproklamasikan, ketika menghadapi agresi militer Belanda pada 1945-1949. Bahkan dalam periode inilah, peran diplomasi tetap sentral. Menurut sejarawan Merle Calvin Ricklefs, kesuksesan Indonesia mempertahankan kemerdekaan lebih banyak ditentukan oleh manuver diplomatik di forum internasional daripada kemenangan di medan perang.

Pertanyaan yang menohok kemudian adalah: sejak kapan militer menjadi begitu perkasa dalam narasi kebangsaan kita? Sejak kapan cerita perjuangan Indonesia dikonstruksi sebagai epik militeristik?

Genealogi Militerisme Orde Baru

Jawabannya adalah sejak rezim oligarki kediktatoran militer Soeharto berkuasa. Soeharto, yang naik ke tampuk kekuasaan melalui drama politik berdarah G30S, membutuhkan legitimasi historis untuk mempertahankan dominasi militer. Caranya adalah dengan merekonstruksi narasi sejarah Indonesia sebagai sejarah heroisme militer, bukan perjuangan sipil.

Dalam pandangan Benedict Anderson, konstruksi identitas nasional selalu melibatkan “imagined community” yang dibentuk melalui narasi kolektif. Soeharto dengan sistematis merombak narasi kolektif Indonesia, mengganti peran sentral intelektual dan aktivis sipil dengan glorifikasi militer. Pancasila yang lahir dari sintesis filosofis diubah menjadi doktrin militeristik.

Program-program seperti wajib militer, penataran P4, dan militarisasi birokrasi sipil adalah instrumen untuk menanamkan hegemoni militer dalam kesadaran kolektif bangsa. Menurut Gramsci, hegemoni yang efektif bukan hanya menguasai aparatus negara, tetapi juga menguasai common sense masyarakat. Hal inilah sukses dilakukan oleh Orde Baru. Common sense tentang bela negara digeser begitu saja, dari aktivitas sipil menjadi aktivitas militeristik.

Dampaknya masih kita rasakan hingga hari ini. Setiap kali berbicara tentang ancaman terhadap kedaulatan, yang terbayang adalah skenario perang fisik dan kebutuhan akan kekuatan militer. Padahal ancaman terhadap kedaulatan dalam era global ini justru lebih banyak berbentuk economic warfare, cyber warfare, information warfare, dan cultural imperialism yang membutuhkan respon sipil.

Mendudukkan Kembali Supremasi Sipil

Dalam sistem demokrasi, supremasi sipil bukan hanya pilihan politik, tetapi keharusan konstitusional. Samuel Huntington dalam “The Soldier and the State” menjelaskan bahwa kontrol sipil terhadap militer adalah prasyarat fundamental bagi stabilitas negara demokrasi. Militer yang berpolitik akan selalu mengancam tatanan demokratis, karena logika militer bertentangan dengan logika demokrasi.

Logika militer adalah logika hierarki, kepatuhan absolut, dan solusi final. Logika demokrasi adalah logika negosiasi, kompromi, dan diplomasi. Ketika logika militer mendominasi ruang publik, yang terjadi adalah militarisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini yang terjadi selama 32 tahun Orde Baru (dan ternyata akan kembali terjadi).

Bahkan dalam situasi perang sekalipun, supremasi sipil harus tetap dijaga. Winston Churchill tetap tunduk pada Parlemen Inggris meskipun memimpin perang melawan Nazi. Franklin D. Roosevelt tetap menghormati checks and balances meskipun Amerika terlibat Perang Dunia II. Abraham Lincoln bahkan tetap menggelar pemilihan presiden di tengah Perang Saudara Amerika.

Indonesia yang dibangun atas dasar kedaulatan rakyat tidak boleh menyerahkan nasibnya kepada segelintir elit militer. Rakyat yang berdaulat harus memiliki kontrol penuh terhadap arah kebijakan nasional, termasuk kebijakan pertahanan dan keamanan.

Sudah Seharusnya Militer di Barak Saja

Sudah saatnya militer kembali ke posisinya yang seharusnya: sebagai alat negara yang profesional dan tidak berpolitik. Fungsi militer adalah mempertahankan kedaulatan wilayah dari ancaman fisik eksternal, bukan mengatur kehidupan politik internal. Politics should be left to civilians, kata Harold Lasswell.

Bangsa Indonesia dilahirkan oleh kekuatan sipil, dibentuk oleh visi sipil, dan harus dipertahankan dengan cara-cara sipil yang beradab. Rezim Militerisme adalah penyakit masa lalu yang tidak boleh kembali menginfeksi tubuh demokrasi kita.

Narasi bahwa hanya militer yang mampu membela negara adalah kebohongan besar yang telah terlalu lama kita percayai. Saatnya kita kembalikan bela negara ke tangan rakyat, ke tangan sipil yang sesungguhnya memiliki negara ini.

Pandangan militeristik tentang bela negara sudah saatnya dibuang ke tempat sampah sejarah. Bela negara adalah hak dan kewajiban setiap warga negara, sipil maupun militer, masing-masing dengan perannya yang spesifik dan terhormat. Jadi, sipil jangan diminta angkat senjata. Militer juga jangan dipaksakan berpolitik. Pak Tentara yang perkasa, kita kembali ke fungsi masing-masing saja. Tidak perlu dwifungsi-dwifungsian. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

A. Fadhil Aprilyandi Sultan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email