Empirical? Nah, vibes only.

Pacu Jalur: Negara di Atas Jalur Viral

Adrian Janitra Putra

2 min read

Rayyan Arkan Dikha bukan menteri. Ia juga bukan pejabat daerah atau stafsus milenial yang suka memakai buzzword tentang “digitalisasi budaya.” Tapi, dengan sepasang kacamata hitam, seragam adat, dan kaki jenjang menari di ujung perahu, bocah 11 tahun itu menampar kesadaran publik yang selama ini terlalu sibuk mengejar pembangunan tapi lupa merawat yang sudah tumbuh.

Ia tidak bersuara. Tapi tubuhnya bicara lebih keras dari pidato presiden.

Itulah yang membuatnya viral. Dan seperti biasa, negara yang gemar berlarian mengejar tren segera datang menyambar: mengangkat Rayyan sebagai duta pariwisata, menggelar konferensi pers, lalu menepuk-nepuk punggung sendiri atas nama “promosi budaya lokal.”

Seakan-akan semua kerja kebudayaan bisa diselesaikan dengan satu video TikTok dan satu SK gubernur.

Budaya yang Dipertontonkan, Bukan Diberdayakan

Fenomena “Aura Farming” yang dipopulerkan oleh Rayyan—tanpa ia sadari, tentu—adalah momen langka ketika budaya lokal tampil sebagai dirinya sendiri dan justru menjadi global. Tapi seperti banyak hal lain di negeri ini, kejadian luar biasa itu justru dijadikan panggung panik oleh pemerintah yang tak pernah siap menghadapi keajaiban yang tidak ia rencanakan.

Baca juga:

Kita tidak bicara soal satu anak viral. Kita bicara tentang tradisi panjang Pacu Jalur, yang selama ini hidup di sungai-sungai Kuantan Singingi, Riau, diayomi masyarakat adat, dilestarikan secara gotong-royong, dan menjadi denyut kehidupan komunitas. Tapi negara baru datang ketika aura sudah dipanen oleh algoritma.

Baru ketika tradisi itu tampil elok dalam bingkai vertikal HP, lalu dijamah BTS dan Travis Kelce, barulah kementerian dan dinas daerah berebut menjadi kurator. Kita seperti menunggu restu seleb global sebelum bisa menghargai kekayaan sendiri.

Apakah ini bentuk baru dari kolonialisme algoritmik?

Pemerintah yang Tersedot ke Dalam Konten

Reaksi negara terhadap kejadian viral bukan hal baru. Dalam lima tahun terakhir, kita melihat pola yang konsisten: begitu ada video viral—tentang pelayanan rumah sakit, anak menari, atau pejabat memukul warga—negara merespons cepat. Tapi cepat bukan berarti tepat.

Dalam kasus Rayyan, alih-alih memperkuat kebijakan kebudayaan, membuka akses pelatihan seni di sekolah, atau mendokumentasikan sejarah Pacu Jalur secara sistematis, pemerintah justru memilih jalur singkat: menjadikan sang anak duta wisata.

Simbolisme ini mungkin tampak manis, tapi tak menyelesaikan persoalan struktural: minimnya anggaran kebudayaan, tidak adanya roadmap digitalisasi tradisi, serta ketergantungan yang semakin akut terhadap viralitas sebagai alat ukur keberhasilan kebijakan.

Budaya akhirnya diperlakukan seperti konten: siapa yang menarik, dia yang diangkat. Tapi konten adalah momen, sementara budaya adalah proses.

Negara yang Takut Tak Trending

Kita kini hidup di negara yang takut tidak trending. Pemerintah bukan lagi pembuat kebijakan, melainkan kurator konten reaktif yang menyesuaikan kerja dengan irama algoritma. Ia tidak bergerak berdasarkan kebutuhan rakyat, melainkan berdasarkan isu yang sedang ramai di linimasa.

Fenomena ini kita sebut sebagai viral governance. Pemerintahan yang bekerja berdasarkan sorotan, bukan kebutuhan. Pemerintahan yang mendistribusikan bansos hanya setelah ada video viral. Pemerintahan yang baru peduli pada sekolah rusak setelah influencer datang dan marah-marah di Instagram.

Rayyan bukan satu-satunya korban. Sebelumnya ada anak-anak Papua yang viral karena bermain suling, ibu-ibu yang bernyanyi lagu daerah, atau remaja yang menari di tengah sawah. Semua sempat dijadikan maskot. Tapi tidak satu pun yang kemudian dibina secara berkelanjutan.

Negara hanya hadir saat viral. Dan begitu tren bergeser, perhatian pun bubar jalan.

Kita Butuh Sistem, Bukan Simbol

Yang kita butuhkan bukanlah selebrasi sesaat, tapi sistem kerja budaya yang berakar. Rayyan bisa dijadikan duta wisata, tapi bagaimana nasib komunitasnya? Apakah sekolah-sekolah di Kuansing kini punya kurikulum seni berbasis tradisi? Apakah ada program residensi budaya? Apakah pelaku budaya lokal kini dilibatkan dalam pembuatan kebijakan?

Baca juga:

Jangan-jangan negara hanya menanam tapak di Instagram, tapi tidak pernah menjejak di tanah.

Ironi ini semakin tebal ketika kita menyadari: kementerian pariwisata berlomba-lomba membuat konten Rayyan, tapi situs resmi mereka bahkan tidak menyediakan data terperinci tentang sejarah Pacu Jalur. Dinas budaya sibuk menyebar video, tapi tak memiliki tim riset untuk dokumentasi naratif. Pemerintah pusat menyebut ini “kebangkitan budaya lokal,” padahal yang bangkit hanya impresi, bukan ekosistemnya.

Viralitas Adalah Kesempatan, Bukan Kebijakan

Aura Farming bisa menjadi momentum penting bagi kebangkitan diplomasi budaya Indonesia—jika dikelola dengan benar. Tapi jika negara hanya sibuk memanen aura, dan tidak pernah menanam benih, kita hanya akan menjadi bangsa yang bagus di thumbnail, tapi kosong di substansi.

Budaya tak bisa ditopang dengan repost dan rating engagement. Ia perlu investasi jangka panjang, dukungan komunitas, dan keberanian negara untuk tidak hanya hadir ketika kamera menyala.

Rayyan telah menari dengan elegan. Kini giliran negara berhenti joget mengikuti tren, dan mulai bekerja dengan langkah yang terukur.

 

 

Editor: Prihandini N

Adrian Janitra Putra
Adrian Janitra Putra Empirical? Nah, vibes only.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email