Metajuridika: Mencari Wajah Manusia dalam Rimba Algoritma

Jeremi Awang

5 min read

“Ketidaktahuan akan fakta dapat dimaafkan, akan tetapi ketidaktahuan akan hukum tidak dapat dimaafkan”.

Pada setiap momen dialektika diruang diskusi, kalimat yang membuka paragraf ini selalu jadi langganan untuk disebutkan. Biasanya, kalimat tersebut disampaikan untuk menguatkan argumentasi dan menunjukkan keunggulan argumen. Jika bicara tentang hukum, mayoritas masyarakat Indonesia selalu percaya bahwa hukum seringkali tumpul ke atas, namun tajam ke bawah. Apakah benar demikian? ataukah justru sebagian besar dari kita masyarakat Indonesia yang justru tidak paham bagaimana sebuah negara hukum bekerja?

Transformasi digital yang terjadi dalam dua dekade terakhir telah membawa perubahan besar dalam pola hidup manusia. Kecanggihan teknologi informasi, internet, dan kecerdasan buatan telah melahirkan perubahan besar dalam komunikasi, ekonomi digital, dan sistem sosial yang baru. Namun, di balik manfaat besar dari digitalisasi, tersimpan pula krisis baru yang tak kalah penting, mundurnya karakter manusia. Krisis ini sangat terasa melalui kode dan pesan yang muncul di layar gawai kita setiap harinya.

Baca juga:

Dalam salah satu karya mahsyurnya, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, Yuval Noah Harari menjelaskan bahwa perkembangan teknologi utamanya teknologi dan algoritma berpotensi menggeser manusia. Bahkan menurutnya, algoritma bisa saja lebih mengetahui kita ketimbang diri kita sendiri. Hukum dalam praktiknya sendiri juga tak luput dari pergeseran itu. Akibat ketidaktahuan akan satu peristiwa atau bahkan tindakan yang bermodalkan pemahaman singkat melalui gawai justru kadang berakhir pada pelanggaran hak orang lain yang mengakibatkan seseorang dapat dihukum.

Tantangan Hukum di Era Digital

Dalam salah satu diskusi bersama akademisi, saya mencoba menanyakan tentang potensi perkembangan profesi hukum di era digital saat ini. Argumentasinya variatif, ada yang mengatakan sebagai yuris kita terancam oleh teknologi, ada juga yang mengatakan kita dapat memanfaatkannya. LawGeex, salah satu akal imitasi di Amerika Serikat kemudian diadu bersama puluhan advokat terkemuka. Hasilnya, analisis LawGeex tingkat akurasi 94%. Berada di atas puluhan advokat tadi yang hanya berada di angka 84%. Hal ini menunjukkan bahwa dalam ranah praktikal, hukum dapat memanfaatkan perkembangan era digital. Namun, apakah pemanfaatan tersebut dapat menjawab seluruh permasalahan umum yang saat ini masyarakat Indonesia rasakan? Apakah ketika akal imitasi mendorong perubahan besar pada dunia hukum dapat menyelesaikan permasalahan hukum “yang kadang tumpul ke atas dan tajam ke bawah?’.

Saya mencoba mencari jawaban hal tersebut melalui tulisan Widodo Dwi Putro, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Mataram. Ia menulis tentang bagaimana Metajuridika bekerja di era Metaverse. Menurutnya perkembangan teknologi yang sangat pesat ini diiringi fakta bahwa karakter manusia semakin bergantung pada bagaimana sebuah “alat” bekerja. Para yuris yang hanya mengandalkan hafalan peraturan perundang-undangan dan menggantungkan analisisnya pada alat bernama akal imitasi akan dibunuh akibat kekalahan rasionya sendiri oleh teknologi yang unggul di bidang proses data dan analisis dokumen.

Menurut Putro, jika para yuris hanya mengandalkan kepastian hukum saja, akal imitasi dapat dengan mudah menggantikan perannya. Jika yuris saja terancam akan perkembangan teknologi yang membuat semuanya mudah dan mendorong para yuris untuk menggantungkan pekerjaannya pada alat, bagaimana kabarnya dengan masyarakat umum yang selama ini mengandalkan advokat untuk menjadi kuasanya saat berhadapan dengan hukum? Padahal jika kita ingin konsisten dengan kalimat pembuka yang berangkat dari teori fiksi hukum yang berada pada awal tulisan ini, semuanya akan patah. Sebab yakin saja, tanpa bantuan teknologi, semua orang tidak akan termaafkan sebab ketidaktahuannya atas hukum.

Roscoe Pound dalam pemikirannya tentang bagaimana hukum hadir sebagai tool of social engineering menggambarkan bahwa hukum dapat menjadi alat untuk melakukan rekayasa sosial. Jika fenomena umumnya menunjukkan bahwa terjadi disrupsi atas paradigma yang diakui, maka hukum harus segera meluruskannya.

Dalam penerapannya, berbagai aturan seperti Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Indonesia mencoba menjawab persoalan ini. Namun pendekatan legalistik sering kali tidak menyentuh akar masalah. Perubahan karakter dan budaya hukum masyarakat lebih kompleks dibanding norma larangan dan kewajiban dalam UU ITE. Penegakan hukum di ruang digital pun menghadapi tantangan teknis dan filosofis. Misalnya, bagaimana menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan martabat manusia? Bagaimana mengatur platform digital global yang tidak tunduk pada yurisdiksi nasional?

Era digital telah menggeser orientasi nilai dalam masyarakat. Nilai-nilai seperti kesantunan, kerja keras, kesabaran, dan tanggung jawab perlahan digeser oleh budaya instan, keterpukauan pada popularitas digital, serta konsumerisme virtual. Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar dalam bidang hukum dan filsafat, bagaimana hukum harus merespons perubahan karakter yang dibentuk oleh teknologi? Apakah sistem hukum yang kita miliki cukup adaptif untuk menghadapi transformasi sosial ini?

Mencari Pendekatan Terbaik

Sebagai mahasiswa Hukum, saya mencoba melihat bahwa pendekatan hukum normatif nan positivistik tidaklah cukup. Perlu ada pendekatan yang lebih dalam dan kritis yang melampaui sekadar teks hukum. Teknologi bukanlah alat yang netral. Ia membawa serta paradigma baru dalam cara manusia berpikir dan bertindak. Dalam era digital, teknologi membentuk perilaku manusia secara sistemik dan struktural. Media sosial dan platform digital mendesain ulang relasi manusia dengan dirinya, dengan orang lain, bahkan dengan waktu dan ruang.

Baca juga:

Dalam konteks perkembangan karakter, perubahan ini sangat nyata. Manusia digital saat ini hidup dalam budaya “cepat, singkat, viral” yang mereduksi nilai-nilai luhur menjadi komoditas. Empati digantikan oleh emoji. Kebenaran bersaing dengan hoaks. Privasi ditukar dengan popularitas. Karakter manusia dibentuk bukan lagi oleh institusi pendidikan atau keluarga, tetapi oleh interaksi algoritmik yang tak kasat mata.

Berbagai penelitian menunjukkan peningkatan individualisme, narsisisme digital, serta rendahnya daya tahan terhadap tekanan sosial di kalangan generasi muda digital. Karakter seperti ketekunan, kedisiplinan, dan kejujuran mulai terkikis. Hal ini bukanlah masalah moral belaka, tetapi juga masalah sosial yang nantinya akan menjelma menjadi satu fenomena baru yang mungkin saja, akan berdampak pada karakter individu yang mengakibatkan terjadinya disrupsi dalam masyarakat. Jika itu terjadi, hukum harus mengambil tempatnya sebagai alat rekayasa sosial. menganalisis perubahan karakter masyarakat, lalu mendorong terpenuhinya setiap hak tanpa mendiskreditkan hak yang lainnya.

Paradigma dalam perkembangannya merupakan hasil dari pergulatan panjang antara banyak realitas intersubjektif. Apabila paradigma tersebut dapat bertahan dan menjawab seluruh permasalahan maka ia akan diyakini sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Namun apabila ia tidak dapat bertahan, maka muncullah krisis. Krisis inilah yang akan berdampak pada hilangnya kepercayaan yang secara keseluruhan mengubah karakter masyarakat.

Pada perkembangan teknologi di era digital, kepercayaan terhadap kemampuan ilmiah yang dimiliki oleh para pakar khususnya para yuris, setiap hari semakin mendapatkan tantangan. Dalam buku yang ditulis oleh Tom Nichols yang berjudul The Death of Expertise dijelaskan bahwa mayoritas masyarakat membunuh para “pakar” dan menghidupkan banyak teori konspirasi, mendorong validasi melalui klaim kebenaran subjektifnya atau bahkan ikut menyesatkan orang lain. Menjawab permasalahan ini saya seringkali ikut berpikir, apa yang bisa kita lakukan? Ataukah memang sudah waktunya paradigma yang lama digeser? Apakah masyarakat dapat bersuara atas dirinya sendiri tanpa bergantung pada seseorang yang menekuni satu keilmuan selama bertahun-tahun?

Saya tiba pada kesimpulan bahwa seorang yuris, kemampuan bernalar adalah hal yang paling utama. Rasio adalah hal yang tidak tergantikan oleh perkembangan teknologi. Nurani adalah satu-satunya tanda bahwa hasil olah pikir terintegrasi dengan hasil olah rasa manusia. Hal inilah yang digunakan hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap seorang terdakwa. Dalam konstruksi hukum postif, tidak ada satu sanksi dari norma larangan yang menetapkan sanksi minimal. Seluruhnya pasti menetapkan sanksi maksimal. Domain hakim menjadi penting untuk menilai dan mempertimbangkan. Menggunakan seperangkat akal dan nurani yang dimilikinya, menjadi rasio untuk melakukan “penghakiman”.

Pada era digital yang segala sesuatunya sampai dengan mudah di depan layar gawai kita, yang bahkan algoritma itu sendiri dapat menentukan apa yang seharusnya kita lihat dan yakini. Maka benarlah ketika Satjipto Rahardjo, seorang begawan hukum Indonesia, melalui gagasan Hukum Progresif-nya mengingatkan bahwa “hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya, manusia untuk hukum.” Pandangan ini menjadi mercusuar yang relevan di tengah badai algoritma dan krisis karakter.

Peran Yuridis diu Era Digital

Ketika teknologi menawarkan efisiensi dan analisis data yang dingin, gagasan ini mengembalikan kita pada esensi hukum yaitu kemanusiaan itu sendiri. Hukum yang hanya menjadi teks mati atau alat teknokratis akan dengan mudah digantikan oleh kecerdasan buatan. Akan tetapi, hukum yang dihidupi oleh nurani, empati, dan keberanian untuk mencari keadilan substantif bukan sekadar kebenaran prosedural adalah benteng terakhir yang tidak akan pernah bisa dirobohkan oleh kode biner mana pun. Peran yuris di era digital bukanlah menjadi operator teknologi, melainkan menjadi penjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam kerangka hukum. Tugas kita semua adalah memastikan bahwa di tengah derasnya arus informasi dan teknologi, hukum tetap berpihak pada manusia, digerakkan oleh akal sehat, dan diterangi oleh hati nurani.

Mewujudkan peran sebagai penjaga nilai ini bukanlah sekadar komitmen intelektual, melainkan sebuah kerja nyata yang menuntut tindakan. Ini berarti secara aktif menerjemahkan pemahaman hukum yang mendalam menjadi edukasi publik yang mudah diakses, agar masyarakat tidak lagi menjadi objek, melainkan subjek hukum yang berdaya. Ini berarti mendorong lahirnya kebijakan dan produk hukum yang tidak hanya reaktif, tetapi juga antisipatif terhadap akses negatif teknologi, dengan menanamkan etika dan kemanusiaan sejak dalam rancangannya.

Pada akhirnya, sebagai seorang yuris, tidak hanya memahami hukum secara teks, tetapi juga untuk merajutnya kembali dengan realitas sosial, membangun jembatan antara keadilan formal dan rasa keadilan masyarakat, demi tegaknya marwah hukum yang berkarakter di bumi Indonesia. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Jeremi Awang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email