Menyumbang Kembang pada Malam

Alfiansyah Bayu Wardhana

9 min read

Di tengah detak waktu yang terasa lambat, Malik menggenggam erat surat terakhir dari almarhum ayahnya. Bukan sekadar lembaran biasa, surat itu tampak seperti peninggalan terakhir yang menyimpan rahasia.

Ia menggenggam surat itu dengan jemari gemetar, seolah menggenggam kenangan terakhir dari ayah yang telah tiada. Sampul pada surat tersebut tertulis, “untukmu, Malik, anakku seorang”. Malik baru mengetahuinya sejak empat puluh hari kematian sang ayah. Saat senja yang kabur diburu azan magrib, salah seorang saudara memberikan kepadanya.

“Apa ini?” gumam Malik, matanya menerawang kosong, suaranya nyaris tenggelam oleh denting waktu.

“Entahlah… mungkin kamu akan mengerti setelah membacanya.”

Pikirannya melayang, terpaku pada surat itu, seakan dunia di sekelilingnya lenyap. Dengan tangan gemetar, Malik menarik perlahan lem yang merekat di amplop. Aroma kertas menyeruak, membawanya kembali ke lorong kenangan bersama ayah.

Raut wajahnya berubah, dipenuhi kabut duka yang sulit terlukiskan. Permintaan maaf berulang kali terucap di kertas, tapi Malik seperti seorang yang tetap jatuh hati tak berujung dan kebanggaan adalah hak mutlak milik ayahnya.

“Untuk anakku tercinta, semua kewajiban telah ayah tunaikan melalui Pak Sokiri. Tak ada yang tertinggal, tak ada yang terlupa. Maafkanlah segala kekurangan ayah, dan teruslah melangkah maju. Salam hangat untuk anakku.”

Dalam benak pikirnya, apakah ada yang kurang? Belum usai? Hanya Malik yang tahu.

Pak Sokiri datang, teman sejawat ayah. Ia selalu bersama ayah ke mana pun, tapi tidak dengan kematian. Jika Malik bertanya, ke mana Pak Sokiri saat ayah tewas? Ia akan menjawab sedang di tempat lain.

“Sudah salat? Kalau belum… cepat. Nanti kita bicara.”

Pak Sokiri menghela lamunan Malik.

Malik langsung masuk tanpa menjawab. Pak Sokiri masuk tanpa pamrih seperti rumah sendiri. Ia menunggu Malik salat. Dalam menghabiskan waktu, Pak Sokiri ditemani beberapa dzikir dan doa di mulutnya. Selang beberapa menit, Malik tiba.

“Kenapa, Pak?”

“Duduk dulu.”

Malik duduk di depan persis Pak Sokiri. Tak lama ia berucap kembali.

“Kamu harus selesaikan semua yang sudah Ayahmu selesaikan. Tanpa ketakutan sedikit pun.”

Malik mengangguk tanpa ragu. Ia pasti akan menjadi penerus ayah yang gagah berani.

“Ingat kata saya, Lik. Ayahmu dan saya selalu bersama. Saat terakhir kali ayahmu ada, ia selalu berpesan untuk menjaga dan mengarahkan kepada hal yang baik-baik. Semestinya kamu perlu patuh apa yang diperintahkan ayahmu sendiri.”

Suaranya beberapa kali tersendat karena batuk.

Lalu Pak Sokiri bangkit agak mendekat, membungkuk ke depan Malik. Perlahan ia memukul beberapa kali pundaknya seperti sedang memberikan kekuatan. Setelah itu ia pamit untuk mengajar ngaji di masjid. Tak lama ia menghilang termakan gelapnya malam di kejauhan.

Tiba-tiba, bayangan ayah menyelinap ke dalam benaknya, membawa sejuta tanya. Ia ingat bagaimana Ayah dan Pak Sokiri terus saja berbincang soal keindahan-keindahan yang kekal, cara menggapainya, hingga Malik ikut senang dan tersenyum gembira bagaimana kepandaian Pak Sokiri.

Ayahnya selalu mengajak Malik untuk duduk bersama jika ada Pak Sokiri. Demikian, membuat kedekatan di antara mereka seperti saudara yang erat walaupun tak sedarah. Di malam-malam lainnya, terkadang Pak Sokiri membuka pertemuan dan diakhiri dengan makan-makan.

Saat-saat kecil dahulu, Malik pun teringat ajakan Ayah ke masjid. “Laki-laki yang kuat adalah yang taat,” ucap ayahnya. Kalimat itu terus saja bergumul di kepala Malik, seolah menjadi dasar dari semua yang ia lakukan. Namun, sejak ayah meninggal, ketaatan bagi Malik adalah jalan yang penuh dengan keraguan.

Malik teringat juga pada surat yang diberikan ayah. Ia menyampaikan langsung untuk ikut bersama Pak Sokiri. Ayah memerintahkan secara langsung. Malik tahu, bahwa ayahnya tidak pernah memaksa untuk ke mana dan bersama siapa, tetapi pada saat hal-hal yang mestinya harus, ia akan memaksa.

Jika ada pertanyaan dan kebingungan yang Malik pikirkan, pasti Malik bertanya kepada Pak Sokiri. Kalau kata ayah, Pak Sokiri orang hebat dan pintar. Tidak ada yang berani kepadanya. Wibawanya sangat luar biasa. Demikian, Malik dan ayahnya yakin bahwa Pak Sokiri adalah sebuah petunjuk yang tidak perlu diragukan.

Malik hening dalam beberapa waktu, tapi soal ayah, Pak Sokiri, ia yakin bahwa semuanya demi kebaikan dirinya. Menurut Pak Sokiri, jika keraguan itu datang, ia mestinya di kubur dalam-dalam tanpa perlu takut. Karena hanya keraguan yang membuat setiap manusia takut melakukan.

Dalam hatinya, Malik terus berupaya menggali apa pun. Ia ingin menggapai yang hilang. Pada saat ia diam yang muncul selalu kenangan bersama ayah. Ketika ia bermain dengan ayah di halaman rumah. Ayah menyiapkan peta, rintangan, dan menjelaskannya dengan baik. Malik sangat antusias dengan permainan ini. Ia bagai penjelajah di hutan yang tidak pernah takut. Ayah menyampaikan, “jika kamu salah dalam melangkah dan memilih, kamu akan merasakan ledakan.”

Ayah memeragakan ledakan kecil itu dengan keseruan.

Semenjak ayah pergi, Malik selalu ditemani Pak Sokiri. Bagai akar dan batang. Tak terlepas. Seiring berjalannya waktu, bantuan yang diberikan Pak Sokiri kepada Malik terus saja membuat erat tali persaudaraan di antara mereka. Yang teringat oleh Malik saat ia jatuh sakit parah. Hanya ada Pak Sokiri yang senantiasa membantu dan bercerita tentang banyak hal. Demikian membuat Malik mengerti kenapa ayah sangat mengaguminya.

Saat ini, hanya ada doa yang menghubungkan Malik dengan ayah. Kata Pak Sokiri, ayah sudah bahagia di sana. Tugas Malik di sini melanjutkan tugas ayah dan juga mendoakannya. Malik yakin, ayahnya tidak pernah salah dalam memilih tujuan hidup, semua keluarga, tetangga, dan temannya sangat harmonis, apalagi dengan perhatian Pak Sokiri kepadanya.

Rasa kantuk Malik tidak kunjung datang saat mengingat itu semua. Ia tidak bergegas untuk membiarkannya lewat. Sambil menunggu adzan isya berkumandang, ia menyibukkan diri dengan ayat suci Al-Quran. Kawasan yang tidak ramai, dengan penduduk yang jarang. Seakan malam adalah milik Malik seorang.

Setelah salat isya telah ia tunaikan, beberapa temannya datang secara bergantian. Sekitar total lima orang berkumpul. Tidak perlu menunggu lama, semuanya sudah ada di ruang tengah. Salah satunya Pak Sokiri. Malik sudah biasa melihat kegiatan seperti ini.

Ayahnya dahulu selalu begini, kalau kata ayah, ini sebagai motivasi dan berdoa. Agar semuanya berjalan lancar. Silih berganti orang datang. Tidak ada yang Malik pahami kenapa, karena memang antara orang yang berganti dan lampu mati.

Orang di sekitar sini pun tidak pernah melihatnya. Karena Malik dapat dianggap orang yang mampu. Rumahnya kecil, tapi halaman sekitarnya luas. Lalu rumahnya dikelilingi pagar yang cukup tinggi dan dari satu rumah ke rumah lainnya cukup jauh untuk mendengarkan serangkaian kegiatan dan aktivitas seperti ini. Jika ada orang yang tahu, mereka akan diam. Karena Malik bersama ayahnya, Pak Sokiri senang sekali membagikan sedekah kepada warga sekitar.

“Semuanya membuat lingkaran dan berdiri. Kita akan menunaikan semuanya. Tolong hening dan dengarkan.”

Pak Sokiri memberikan arahan kepada semua.

Cahaya lampu berganti dengan lilin yang dinyalakan. Setiap orang menggenggam. Dari percikan cahaya lilin, ia mulai mengenal wajah-wajah. Malik kenal muka, tapi tidak dengan nama.

Dengan nada bergetar tapi penuh keyakinan, Pak Sokiri melantunkan ayat-ayat suci. Suaranya menggema, menghentak hati semua yang hadir, menciptakan suasana hening yang memikat dan penuh misteri. Malik merasa suara Pak Sokiri memenuhi seluruh gendang telinganya. Merdu dan hangat. Perasaan Malik yang dahulunya berisi dengan rasa takut, ragu, dan malu, terangkat menjadi seorang yang menemukan makna kehidupan baru.

Secara perlahan, Pak Sokiri mengarahkan semuanya. Bagaimana lilin ini digenggam, cara berdoa, dan menghaturkan ucapan demi ucapan agar semuanya berjalan mulus. Sesekali Pak Sokiri menghampiri setiap yang datang, mengelus beberapa bagian salah satunya Malik.

Pada saat menyentuh Malik, ia merasa agak lama. Ia diarahkan memejamkan mata dan sesekali doa terdengar persis di daun telinganya. Pak Sokiri menjulurkan telapak tangannya di dada Malik, seolah mencoba menyalurkan ketenangan di tengah badai perasaan yang mengaduk-aduk hatinya, hanya ada bayangan ayah yang terus berucap untuk ikuti semua arahan Pak Sokiri. Perlahan, Malik yakin bahwa Pak Sokiri dan ayah adalah tujuan.

Kurang lebih lingkaran ini sudah berdiri selama satu jam. Di sela-sela keheningan, terdengar suara laki-laki samar, bergema dari sudut gelap ruangan. Ia mencoba mendalaminya lagi. Perlahan, tenang, dan diam. Tiba-tiba suara ketukan beberapa kali mengetuk pintu. Semuanya diam. Pak Sokiri langsung saja mengintip di jendela. Seorang dengan brewok panjang memberikan tanda, Pak Sokiri paham.

Semuanya diarahkan pergi lewat belakang. Seorang dengan brewok itu pergi dengan senyap tapi cepat. Seluruh orang membantu Malik membawa semua bawaan. Tak ada waktu yang tersisa untuk santai. Semuanya telah terbawa dan perlahan pergi lewat pintu belakang. Derap kaki tanpa bising sudah mereka pelajari, seperti harimau yang siap menerjang mangsa.

Mereka mengikuti arahan Pak Sokiri, Malik bergegas paling depan. Karena hanya dia yang membawa barang. Seluruhnya berfokus pada Pak Sokiri dan Malik. Sekonyong-konyong saling meninggalkan, mereka melindungi. Tak ada derap kaki yang berlari mengejar, Pak Sokiri tahu di mana ia akan menuju dan tahu dia sedang di mana. Maka dari itu tidak sulit mengelabui. Tak lama, suara tembakan berbunyi di rumah Malik. Namun sayang, Pak Sokiri, Malik, dan rekan-rekannya sudah jauh menghilang.

“Semuanya di sini berpencar. Saya dan Malik akan berjalan. Semoga kalian sampai pada tujuan dan kita akan bertemu lagi nanti.” kata Pak Sokiri.

Semua berpisah. Tak ada yang tak tahu akan ke mana. Semua dengan sigap. Malik mengikuti jejak Pak Sokiri. Ia tak ragu akan dibawa ke mana, karena anggapnya, Pak Sokiri adalah orang yang paling dipercaya ayahnya. Merasa tinggi hati jika ia meragukan Pak Sokiri sedikit pun.

Sekitar setengah jam kira-kira Malik dan Pak Sokiri berjalan. Menyela-nyela pepohonan dalam kegelapan bagai ular. Agar mereka tidak diketahui. Ia membayangkan bagaimana keberanian ayah saat seperti ini, jika ada ayah di sini, pasti ia bangga melihat Malik mengikuti keinginannya.

“Pak, jika nanti saya berhasil, apakah ucapanmu benar dan ayah ada di sana?”

“Kamu ragu?” Pak Sokiri menegaskan.

“Tidak, hanya kerinduan yang tak berujung, selalu membuat saya pusing.”

“Kerinduan adalah ujian iman, Lik. Jika kamu cukup kuat, kamu akan bertemu dengan ayahmu di tempat yang lebih indah.”

Malik tidak menjawab. Ia mengikuti arahan Pak Sokiri.

Pak Sokiri menunjuk rumah di sana. Rumah yang menyingkir sendiri. Ia tampak biasa saja. Tak lama setelah tepat di daun pintu rumah tersebut, Pak Sokiri mengetuknya tanpa ragu. Seorang membuka. Pak Sokiri dan Malik langsung masuk dan beristirahat. Tidak ada pembicaraan yang melelahkan setelahnya. Malik, Pak Sokiri, dan orang tersebut langsung beristirahat.

Keesokan harinya, Malik hanya boleh di dalam kamar. Ia hanya menyibukkan diri dengan ibadah. Mendekatkan diri dan terus saja berulang hingga malam hari. Kata Pak Sokiri tak ada yang perlu kamu kerjakan, Malik hanya patuh.

Hingga jam sekitar jam setengah sebelas malam tiba, Pak Sokiri mengetuk pintu. Malik sudah siap dengan seluruh bawaan.

“Sudah siap?”

“Sudah, Pak.”

Pak Sokiri membuka pintu. Ia tampak aneh, Pak Sokiri menyuruhnya mengganti baju lalu menyodorkan.

“Kita ingin bertamasya bukan? Tak perlu rapih-rapih seperti ibadah.”

Malik mengganti pakaian, setelah itu bergegas pergi bersama Pak Sokiri. Perjalanan kali ini agak ramai. Suara petasan silih berganti. Beberapa kali terompet sahut-menyahut. Ada yang membakar beberapa makanan di pinggir jalan.

“Saya akan menunggumu di sini.”

Pak Sokiri menunjuk atap rumah. Lalu ia mengarahkan Malik untuk pergi ke tengah dekat patung yang tinggi itu. Tanpa aba-aba, Malik meninggalkan Pak Sokiri begitu saja menghilang di tengah lautan manusia.

Malik terus saja berjalan-jalan. Pemandangan yang sangat jarang ia lihat. Pendengaran yang ia terima mereka semua sedang menunggu jam dua belas pas. Pergantian tahun. Semua orang merayakan.

Dalam hatinya terus saja menarik keindahan yang tidak terkira. Bayangan dalam pikirnya dunia dan seisinya sangat luar biasa, bagaimana akhirnya?

Ucapan Pak Sokiri terus saja bagai radio yang berputar berulang-ulang. Malik seraya bersama ayah dan Pak Sokiri tanpa henti. Walaupun dalam kesendirian dan kemurungannya saat ini. Hanya ada satu jalan temaram yang perlu ia lakukan. Menunggu.

Banyak sekali orang lalu-lalang dengan keasyikannya sendiri. Terus saja membuat ramai malam hari ini. Seperti burung yang baru melihat matahari, tidak ada henti-hentinya untuk berkicau di dahan-dahan yang ia temui. Beberapa sepasang kekasih merangkul, berpegangan, dan itu agaknya membuat seorang Malik gusar ingin pergi dan tidak melihatnya.

Malik melewati beberapa pedagang sepanjang jalan. Mereka tampak antusias atraksi dengan dagangan. Malik melihat seorang teman Pak Sokiri. Ia berjabat tangan dan hanya tersenyum. Langkah Malik menyatu dengan riuhnya kerumunan. Suara tawa dan nyanyian mengisi udara malam, menciptakan ironi yang kontras dengan tujuan gelapnya.

Di sini bagai kios burung. Semuanya hanya ingin senang, berbunyi, dan makan. Semua raut wajahnya terlihat sangat sumringah. “Seperti surga dunia saja”, kata Malik. Lalu ia membeli beberapa makanan untuk menonton.

Ia melihat jam di tangannya. Sekitar empat menit lagi sudah jam dua belas pas. Ia hanya perlu menunggu. Terus saja menunggu. Tak lama ia melihat-lihat ada seorang yang memotong perhatian semuanya.

“Kita hitung bersama dalam hitungan mundur.”

Seorang di atas panggung mengarahkan. Lalu beriringan semua orang mengikutinya. Malik Sumringah tertawa lebar.

“sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu.”

“Ayah, ibu, ini Malik. Sama seperti kalian, ini jalan yang kalian inginkan sudah Malik lakukan.”

Malik bersiap dengan hitungan yang tepat. Hati dan pikirannya menyatu pada tujuan. Telinga mendengar riuh suara orang berhitung dan kegembiraan. Malik berseteru perlahan, tapi dalam keyakinan lain, Malik memiliki tujuan.

Kenangan terus beranjak berdatangan pada satu waktu. Malik tidak henti-hentinya beberapa kali ragu. Ia melihat beragam senyum anak-anak dengan polosnya, di atas pundak orang tua mereka, pasangan yang saling berkasih sayang. Sangat gembira melihat ke arah langit. Suara-suara lainnya bergemuruh mengikuti hitungan memandang langit.

Jemari Malik terasa dingin saat bersentuhan dengan detonator. Malik menarik nafas dalam-dalam dan menahannya. “Ayah, benarkah ini jalanku? Mengapa rasanya semakin gelap meski kau bilang ada cahaya di ujungnya?” pikir Malik, suaranya tenggelam di dalam kerumunan hatinya sendiri. Tetiba suara Pak Sokiri menggantikannya dan terus membimbing. “Tidak ada yang lebih mulia daripada mati untuk keyakinan.”

Jemarinya bergetar, menyentuh tombol kecil itu seperti menyentuh takdirnya sendiri. Malik menutup matanya, membayangkan wajah ayah yang tersenyum. “Aku harap Ayah bangga.”

Dalam hitungan detik, segalanya berubah. Gemerlap cahaya, keriangan, semuanya meledak menjadi keheningan yang mencekam yang semarak menjadi jerit pilu dan nyala api. Malam berubah dari gelak tawa menjadi jeritan, cahaya menjadi lautan api. Ledakannya sangat besar. Semua orang yang di sekitarnya mendadak terhempas.

Beberapa kucuran darah terlihat terhempas di sana-sini. Sesekali bagian tubuh terlihat terlepas dari inangnya. Malam yang ramai membias bagai kesedihan yang tak terharapkan.

Malik lenyap, tersapu oleh ledakan yang menelan segalanya, meninggalkan debu yang menggantung di udara. Tidak ada yang tersisa dari seluruh tubuhnya saat ini. Tidak ada. Kucuran darahnya bercampur dengan udara. Beberapa serpihan terlempar. Asap hitam mengepul. Ada yang ingin mendekat melihat dan ada yang lari menjauh.

Semuanya berlarian tanpa henti. Suara tangisan anak-anak melengking, para ayah yang mencari keluarga, pasangan yang kehilangan.

Ledakan yang terjadi pada malam tahun baru segera menyebar. Media melaporkan jumlah korban yang terus bertambah, telepon genggam senantiasa merekam. Di tengah reruntuhan dan gelapnya malam, seorang ayah memeluk anaknya yang terluka parah, menangis tanpa suara. Malam itu, kemanusiaan seketika hancur dengan kepercayaan yang buta. Pengamanan dan media terus saja berdatangan.

Jeritan tanpa henti dan kendaraan silih berganti. Ada yang dengan sigap untuk pergi, menjauh, menghilang karena ketakutan. Sisanya membias pada nafsu melihat-lihat, walaupun keadaan mencekam dan bom di mana-mana.

Dari kejauhan, Pak Sokiri terlihat tersenyum lebar. Seperti seorang anak yang melihat warna-warni kembang api di langit malam. Sesekali tangan kanannya terangkat ke atas dan mengepal. Doa di mulutnya terus mengucapkan kata Malik dan rekan lainnya. Lalu Pak Sokiri terbahak-bahak melihat semua ledakan. Lantunan di bibirnya terus saja berselisih keluar.

“Keselamatan untuk kalian yang berani mati demi keyakinan.” ucapnya Pak Sokiri.

Tak lama beberapa orang muncul dan menembak tepat di kaki Pak Sokiri. Ia mengeluarkan pistol yang ada di pinggangnya. Beberapa kali tembakan saling menyapa.

“Menyerah saja! Dasar teroris!” Seseorang yang menembakinya berteriak.

“Nggak. Demi akhirat, tidak akan saya menyerah.”

Pak Sokiri menembak tanpa arah. Beberapa pengaman lari berlindung. Mereka seperti berperang di ruang yang sempit. Hanya ingin membunuh satu sama lain. Perlahan Pak Sokiri terhimpit tak bisa lari, dalam egonya, ia masih bisa lompat di atap. Tanpa berpikir panjang ia lompat dan kabur. Beberapa atap terlewat dengan baik, para pengaman dengan sigap mengejar.

Beberapa tembakan berbunyi di atap-atap. Pak Sokiri dengan sigap menghindar ke kanan dan kiri. Dalam rentetan peluru yang mengarah, tak sadar atap rumah yang ia injak rapuh dan membuatnya jatuh. Saat ingin bangkit, kakinya tidak ingin ikut membantu, Pak Sokiri melihat bagaimana kondisinya, patah. Perlahan namun pasti, ia mengais-ngais untuk pergi.

Tidak sulit untuk para pengamanan mengejarnya. Pak Sokiri dihujani peluru di kakinya tanpa henti. Ia tumbang dalam sekejapan mata. Dalam waktu yang sama, Pak Sokiri sudah tertangkap dengan tak sadarkan diri. Beberapa darah mencuat bagai pot yang disirami air.

Masyarakat bingung dengan berbagai tragedi yang terjadi. Seluruhnya silih berganti. Di sini ada para pengamanan yang membawa seorang dengan penuh darah.

“Awas, teroris. Semuanya kembali ke rumah. Ada teroris!” suara itu terus saja keluar dari seorang yang berseragam. Seluruh masyarakat berhamburan. Tangisan di mana-mana. Para orang berseragam membawa Pak Sokiri dengan cepat. Membawanya ke dalam mobil ambulans. Tampak linglung dan bingung pada malam tahun baru.

Malam pergantian tahun yang seharusnya menjadi selebrasi berubah menjadi tragedi. Dentuman petasan kini tergantikan oleh ledakan yang memutuskan nyawa dan meluluhlantakkan harapan. Suara kebahagiaan berganti tangisan. Tak ada yang mesti dan ingin seperti ini, kecuali Pak Sokiri sendiri.

(Tangerang Selatan, 01 Januari 2025)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Alfiansyah Bayu Wardhana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email