Jadilah baik tanpa harus merasa lebih baik dari siapapun.

Menghadirkan Gus Dur dalam Konflik PBNU

Thaifur Rasyid

3 min read

Tidak sukar membayangkan sosok itu berdiri di serambi sebuah gedung tua di Jakarta-gedung yang mengaku sebagai rumah bagi jutaan umat yang percaya bahwa agama masih dapat memberi arah di tengah hiruk-pikuk zaman. Gus Dur berdiri di sana, tangan bertopang pada tongkat kayu, menatap ke dalam ruang yang kini dipenuhi suara yang lebih mirip pasar malam politik daripada pertemuan para penjaga nurani. Ia tidak berkata apa-apa pada mulanya. Ia hanya menghela napas panjang, napas seorang yang pernah percaya bahwa organisasi ini adalah tempat di mana moral tidak diperdagangkan, dan keyakinan tidak ditawar.

Di hadapannya, jamak terdengar kabar tentang perebutan kuasa di tubuh PBNU. Ada yang berbisik tentang kepentingan tambang, ada yang menyebut proyek negara, ada pula yang mengaitkannya dengan upaya menancapkan pengaruh menjelang peta politik yang terus berubah. Yang jelas: sesuatu yang dulu diperjuangkan sebagai rumah kaum kecil kini menjadi panggung tempat elite saling memamerkan taring. Gus Dur, dengan mata yang pernah melihat lebih banyak luka bangsa dibanding kebanyakan manusia, tentu tidak akan tercengang. Hanya kecewa.

Baca juga:

Karena bangsa ini, yang selalu mengulang kesalahan yang sama, kembali memperlihatkan tabiat lamanya: mencampuradukkan agama dengan hasrat meraih kuasa, dan menjadikan ormas yang seharusnya menjaga martabat rakyat sebagai alat tawar-menawar politik.

Bayang-Bayang Kekuasaan di Serambi Para Kyai

Jika seseorang berdiam cukup lama di halaman kantor PBNU hari ini, ia akan mendengar lebih banyak cerita tentang konsesi tambang ketimbang tentang pengajian. Lebih sering terdengar nama-nama pejabat negara dibanding nama ulama yang menulis kitab. Dan bila seseorang cukup berani membuka telinganya, ia akan tahu bahwa konflik yang sedang bergolak bukan lagi sekadar soal khittah organisasi atau tafsir keagamaan. Ini soal akses, jaringan, jabatan, proyek, dan kedekatan dengan lingkar-lingkar politik yang sudah lama mengendus potensi elektoral ormas terbesar di negeri ini.

Padahal Gusdur pernah mengajarkan, dengan kata-kata maupun perilaku, bahwa agama tidak boleh tunduk pada kepentingan temporal. Ulama seharusnya menjadi benteng terakhir ketika kekuasaan lupa diri, bukan menjadi bagian dari rombongan yang sibuk menajamkan sikut dalam rebutan kursi.

Dulu, dalam masa-masa paling sulit, Gus Dur justru menjauh dari kenikmatan politik. Ia lebih suka berada di rumah-rumah rakyat miskin, bercengkerama dengan minoritas yang terancam, membela kelompok yang dipinggirkan. Ia tidak pernah mendirikan pagar tinggi antara dirinya dan rakyat, tidak pernah menutup pintu ketika ada yang butuh bicara, dan tidak pernah membiarkan organisasi yang dia cintai dijadikan alat barter proyek.

Namun ketika ia berdiri hari ini, ia akan menemukan dunia yang berubah. PBNU bukan lagi sekadar rumah kaum sarungan, melainkan sebuah institusi besar dengan ratusan pintu yang mengarah ke koridor kekuasaan. Dan setiap pintu itu dijaga oleh mereka yang mengerti bahwa di balik keputusan, rekomendasi, dan restu, ada keuntungan yang bisa diraih. Dalam suasana seperti itu, moral menjadi barang yang paling rapuh. Dan ketika moral jatuh, agama ikut terperosok.

Bagi Mochtar Lubis, ini adalah jenis kemunafikan yang paling memuakkan: orang yang berlabel agama tapi berwatak kekuasaan. Orang yang berbicara tentang surga tetapi lebih sibuk mengurus saham. Orang yang mengutip ayat sambil menandatangani proposal proyek.

Ketika Rumah Besar Mulai Dipenuhi Asap

Dalam catatan sejarah bangsa ini, tak sedikit institusi yang hancur bukan karena serangan dari luar, melainkan karena korupsi moral dari dalam. Ketika konflik di tubuh PBNU pecah dan segala bisik-bisik tentang tambang menyeruak, itu bukan sekadar perbedaan pendapat itu gejala pergeseran nilai. Dan pergeseran nilai adalah asap yang muncul sebelum api membakar habis sesuatu yang pernah indah.

Bayangkan Gus Dur duduk di kursi kayu tua itu, matanya yang jenaka tetapi tajam memandang perpecahan hari ini. Ia tidak akan memilih kata-kata manis. Ia mungkin akan bilang: “Kalian sedang bermain-main dengan sesuatu yang tidak kalian pahami.” Karena bagi Gus Dur, NU bukan sekadar organisasi. Ia adalah sejarah. Ia adalah institusi yang membawa mimpi rakyat kecil untuk mendapatkan martabat. Ia adalah rumah tempat jutaan orang datang dengan wajah penuh harap.

Baca juga:

Ketika rumah itu mulai seperti dipenuhi asap konflik, ada yang harus diingat: asap tidak muncul tanpa api. Dan api itu tidak datang dari rakyat; ia datang dari mereka yang berada terlalu dekat dengan kekuasaan hingga lupa pada akar mereka sendiri.

Para tokoh yang dulu menegakkan NU dengan kesederhanaan seharusnya menjadi teladan. Tetapi hari ini, sebagian yang tampil ke panggung justru sibuk saling menunjukkan kedekatan dengan pejabat, saling memamerkan akses, saling menonjolkan loyalitas politik. Umat yang menyimak dari kejauhan mulai bertanya: di mana suara moral PBNU yang dulu bisa membela rakyat ketika negara menindas? Di mana keberanian seperti yang dipertontonkan Gus Dur ketika membela Tionghoa, membela Ahmadiyah, membela siapa pun yang digencet?

Jika seseorang jujur, ia akan mengakui bahwa suara moral itu kini tinggal sayup-sayup. Bukan hilang sepenuhnya, tapi tercekik oleh suara-suara yang lebih keras: suara logistik, suara proyek, suara perhitungan politik.

Pada akhirnya, mari kita bayangkan adegan penutup. Gus Dur berdiri lama di serambi itu. Ia mendengar semua percakapan: perebutan pengaruh, sindiran antar-faksi, bisik-bisik tambang, godaan proyek, dan semua itu membuat wajahnya tampak lelah. Bukan karena ia tidak pernah melihat kemunafikan semacam ini, tetapi karena ia tahu betapa mahal harga yang harus dibayar rakyat kecil ketika organisasi sebesar PBNU kehilangan orientasi moralnya.

Ia tahu bahwa ketika ulama kehilangan integritas, rakyat kehilangan kompas. Ketika organisasi keagamaan terjebak dalam permainan kekuasaan, agama berubah menjadi ornamen politik belaka. Dan ketika agama menjadi ornamen, maka tidak ada lagi yang bisa menahan laju kerakusan manusia.

Mungkin Gus Dur akan berkata pendek, seperti gaya khasnya: “Hati-hati, kalian sedang membuang kehormatan.” Lalu ia akan berpaling, meninggalkan serambi itu dengan langkah pelan, sambil membawa kesedihan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang masih mencintai bangsa ini dengan cara yang jujur.

Kita selalu mengira bangsa ini akan berubah dengan sendirinya. Padahal yang berubah justru kedalaman kemunafikannya. Yang kita perlukan bukan lebih banyak seragam, bukan lebih banyak baliho, bukan lebih banyak pejabat yang pandai beretorika. Yang kita perlukan adalah keberanian moral yang dulu dimiliki Gus Dur. Keberanian untuk membela yang lemah tanpa menghitung untung-rugi, untuk menolak kekuasaan yang mencederai rakyat, untuk menjaga agar organisasi keagamaan tetap menjadi cahaya, bukan lampu sorot yang dipasang demi membangun citra politik. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Thaifur Rasyid
Thaifur Rasyid Jadilah baik tanpa harus merasa lebih baik dari siapapun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email