Setelah penerbitan izin tambang bagi ormas, lalu banyak ormas bersorak sorai menyambutnya, saya tidak bisa lagi melihat PBNU dengan cara yang sama seperti waktu mondok dulu. Keluarga saya NU tulen. Di ruang tamu, ayah memajang ukiran kayu logo NU besar-besar yang dihadiahi temannya. Kini, setiap kali saya melihat ukiran itu, saya selalu membandingkannya dengan logo yang dipakai di Jl. Kramat 167 (Kantor PBNU). Logonya sama, tapi kenapa nuansanya berbeda?
Mungkin karena itu, saya tak berang ketika logo NU diotak-atik; diganti dengan gambar alat berat, latar merah, dan tulisan Ulama Nambang. Saya tahu banyak nahdliyyin yang geram. Sebab, mereka mengasosiasikan logo itu dengan NU sebagai jamâ’ah (komunitas masyarakat), lingkungan tempat mereka tumbuh. Sementara saya melihatnya sebagai logo jam’iyyah (organisasi), yaitu komunitas yang sudah diformalkan. Saya membaca plesetan logo itu bukan ditujukan bagi NU secara umum, tapi PBNU secara khusus. Begitu juga frasa “Ulama Nambang” harusnya dikaitkan dengan pengurus PBNU, bukan kiai-kiai NU yang menghidupi umat di kampung-kampung.
“Itu enggak etis,” kata Moh. Mukri, salah seorang ketua PBNU merespons plesetan logo NU jadi UN (Ulama Nambang). Dia sekaligus menuduh pembuat logo itu jealous ke NU karena menerima tambang; tidak ingin NU jadi ormas yang kuat.
Baca juga:
Bagi saya, sebetulnya otak-atik logo tadi persoalan sepele. Yang serius justru latar belakangnya: PBNU menerima izin tambang dari pemerintah, bahkan girang. Blak-blakan saja, banyak ormas lain juga menerima, termasuk Muhammadiyah, tapi PBNU jelas yang tampak paling ambisius. Dari mana pun saya melihatnya, ini bermasalah.
Ketua PBNU lainnya, Ulil Abshar Abdalla bilang kalau PBNU menerima halalnya saja. “Halal secara hukum, halal secara aturan negara ini,” ujarnya waktu diundang ke DPR RI tahun lalu. “Kita ingin mendapat sesuatu yang halal. Halal dengan legalitas formalnya dan halal di dalam aspek pengelolaan.”
Dia sekaligus meyakinkan bahwa PBNU berkomitmen penuh akan mengelola tambang secara halal sesuai aturan yang berlaku.
Dari jawaban-jawaban Ulil, termasuk dalam tulisannya yang berjudul Isu Tambang, Antara Ideologi dan Fikih, dia jelas diandalkan PBNU sebagai suara akademisi untuk membungkam pihak-pihak kontra tambang. Namun, argumen-argumen yang dibangunnya sumbang. Persis pengacara yang hanya berkepentingan membela kliennya dan memenangkan sidang.
Ulil menyebut ada dua cara pandang melihat persoalan tambang: Pendekatan ideologis dan fikih. Pertama dipakai oleh para aktivis lingkungan dan pendukungnya. Kedua dipakai komunitas NU.
Pendekatan ideologis, baginya, berkenaan dengan isu besar yang menjadi perdebatan di mana-mana, yaitu perubahan iklim. Dia pun membawa narasi ini ke mana-mana untuk menggolkan maksudnya menghalalkan tambang dan membela sikap PBNU. Misalnya, menyampaikan kalau isu perubahan iklim ini belum disepakati dan masih menjadi perdebatan keras di barat, serta ada polarisasi akut antara pihak pro dan kontra. Dia menyebut perbedaan ini bersifat ideologis dan “akidah yang sudah tersekulerkan”, tanpa menjelaskan apa yang dimaksudkan.
Sementara itu, posisi dominan di NU, menurutnya, tidak resisten terhadap tambang. Sebab, mereka memandangnya sebagai masalah fikih. “Soal lingkungan, bagi para kiai, bukan soal akidah dan ideologi, melainkan soal kalkulasi maslahat-mafsadah yang terbuka pada posisi dan pandangan yang berbeda,” tulis Ulil.
Banyak cacat nalar dalam argumen yang selalu digaung-gaungkan Ulil soal tambang. Kalau kita cermati lagi, sesungguhnya gagasan-gagasannya suka bertentangan satu sama lain, sehingga dia tampak seperti orang plin-plan. Dia bilang pendekatan fikih tidak melihat persoalan secara hitam-putih, benar-salah, tapi mempertimbangkan baik-buruk. Namun, dia sendiri memisahkan antara aktivis lingkungan dan kiai NU menjadi dua kutub ekstrem: Ideologis dan fikih.
Lebih ngawur lagi, terbaru Ulil menyematkan sebutan “wahabi lingkungan” bagi para aktivis lingkungan dan menyebut mereka berbahaya. Bukankah di sini Ulil sedang membantah omongannya sendiri bahwa “perbedaan dalam soal-soal khilafiah tidak menjadikan pihak tertentu berada pada posisi jahat“? Dulu, dia menggebu-gebu bilang tidak boleh ada vilifikasi atau penjahatan atas pihak-pihak tertentu karena perbedaan pandangan soal tambang. Sekarang, dia menelan ludahnya sendiri.
Baca juga:
Dengan pengkategorian sembarangan yang diajukan Ulil sebelumnya, para aktivis lingkungan semata-mata menjadi manusia keras kepala yang tidak mempertimbangkan maslahat dan mafsadah. Sebaliknya, orang-orang fikih tidak punya ideologi.
Apa yang kacau dari penalaran itu? Ulil bukan hanya memisahkan antara poros ideologis dan fikih, tapi juga memisahkan antara nilai dan subjek. Ulil lupa—atau sengaja melupakan—bahwa aktivis lingkungan dan kiai NU itu dua subjek yang tidak dibatasi nilai tertentu. Aktivis lingkungan tidak melulu hidup natural, kiai NU juga tidak melulu mendukung tambang.
Tak sampai di situ, Ulil pun membagi akidah dengan fikih sebagai dua hal yang terpisah sama sekali dan tak saling berkaitan. Ulil seolah-olah menganggap apa yang mengenai akidah tidak berimbas apa pun terhadap fikih. Padahal, kalau mau bicara agama—karena Ulil kerap mengumbar term dan jargon-jargon agama—kita seharusnya mengerti bahwa kedua hal tadi ibarat sepasang sisi mata koin yang tak bisa dipisahkan.
Misalnya, pilihan murtad atau mualaf adalah persoalan akidah atau keyakinan. Namun, pilihan itu punya implikasi hukum yang menyertainya. Ketika seorang muslim memilih keluar dari Islam, apakah ada hukumannya? Kalau ada, apa syaratnya? Sebaliknya, ketika seseorang memilih masuk Islam, dia terlebih dulu mengikuti ritual fikih dengan membaca syahadat, lalu bagaimana proses setelahnya? Semua itu masuk ranah pembahasan fikih.
Oleh karena itu, menyatakan bahwa mayoritas kiai NU tidak resisten terhadap tambang karena berpedoman hanya pada fikih sama dengan menyamakan mereka seperti muslim fasik atau orang-orang munafik.
Ditambah lagi, Ulil menyederhanakan dan membatasi ideologi aktivis lingkungan kepada hal-hal besar seperti perubahan iklim. Penolak tambang juga diartikannya sebagai kelompok ideologis yang menentang perubahan iklim. Saya hanya bisa menduga dia sengaja mengarahkan diskusi ke arah sana untuk menjauhkan isu tambang dari masalah nyata yang dirasakan korban tambang: Perampasan lahan, hak hidup layak, hingga nyawa. Semua itu jelas bertentangan dengan pendekatan fikih dan tujuan syariat yang digaungkan-gaungkan Ulil, antara lain untuk merawat jiwa (hifzhu an-nafs) dan harta (hifzhu al-mâl).
Ketika Etika Dikubur
Secara ringkas, segala pembelaan Ulil terhadap pilihan PBNU menerima tambang akan terdengar seperti ini:
Tambang punya maslahat (kebaikan) dan mafsadah (keburukan). Itu merusak lingkungan, tapi juga punya keuntungan ekonomis. PBNU menerima izin tambang dari pemerintah setelah mempertimbangkan maslahat dan mafsadah yang ada, dan menganggap maslahatnya lebih banyak. Lagi pula, ada payung hukumnya, sesuai regulasi, jadi ini legal alias halal.
Apa yang kurang dari pembelaan tadi? Etika. Pada akhirnya, PBNU menerima izin tambang karena mereka menganggapnya halal—seperti Ulil bilang, tidak ada salahnya dalam sudut pandang fikih. Namun, apakah yang dibenarkan secara fikih itu etis dilakukan? Kira-kira inilah pertanyaan yang tidak mau diurus oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Lucunya, mereka baru teriak-teriak etis justru ketika logo NU dipelesetkan. “Itu tidak etis!” Berarti, mengelola tambang bagi mereka adalah etis, atau mereka hanya tidak mau peduli selama itu menguntungkan? Bagi saya, kedua kemungkinan tadi sama-sama mengenaskan.
Maka tidak mengherankan kalau dulu jarang kita dengar resistensi dari PBNU terkait putusan MK yang membuat Gibran bin Mulyono lolos jadi wakil presiden—dan belakangan terbukti bermasalah secara etis. Dan wajar juga kalau kelak PBNU sering memilih sikap yang tidak etis, selama menurut mereka itu legal secara hukum, halal secara fikih.
Kalau begitu, berbahagialah kita karena diberkati umara dan ulama yang satu visi. Di satu sisi, kita punya presiden yang teriak “etik, etik, Ndasmu etik!“. Di sisi lain, ada pimpinan ormas keagamaan yang tidak peduli etika.
Harga Mahal Izin Tambang
Ulil sempat menyinggung soal maslahat tambang, tetapi tidak benar-benar mengungkap apa maslahatnya, khususnya bagi PBNU. Dan jawabannya langsung disampaikan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Tsaquf di Kantor PBNU, Kamis, 6 Juni 2024.
“Pertama-tama saya katakan, NU ini butuh, apa pun yang halal, yang bisa menjadi sumber revenue untuk pembiayaan organisasi,” ujarnya.
Dia mengklaim setengah penduduk Indonesia adalah nahdliyyin (warga NU) dan NU punya pesantren dan madrasah hingga 30 ribu unit. Untuk itulah, pemasukan dari tambang dibutuhkan.
Ini bukan pernyataan mengejutkan seandainya keluar dari mulut pengusaha atau para taipan. Masalahnya, ini datang dari seorang pemimpin ormas keagamaan terbesar di Indonesia, yang basisnya adalah dakwah dan tarbiah. Alih-alih menjadi lembaga pendidikan, PBNU justru terkesan diarahkan menjadi korporasi yang patokan kesuksesannya diukur sebatas dari revenue.
Alasan untuk membiayai pesantren dan madrasah bagi saya terdengar dibuat-buat saja. Sebab, sepanjang pengetahuan saya–mohon diralat jika salah–banyak pesantren dan madrasah NU dibiayai dari dalam atau iuran pendidikan murid. Bantuan operasional juga tersedia dari pemerintah. Saya tidak tahu pasti ada berapa banyak yang dibiayai penuh oleh PBNU. Kalaupun banyak, toh selama ini pesantren dan madrasah NU terus berjalan dan masih bertahan tanpa sokongan tambang. Lantas, apa urgensinya?
Perkiraan saya, keuangan PBNU agak carut marut karena memang manajemen internalnya berantakan. Masih banyak praktik KKN yang dilakukan oknum-oknum tak bertanggungjawab. Terlalu banyak pula anggaran habis untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya seremonial. Seharusnya ini yang menjadi sorotan PBNU untuk membangun ormas yang kuat dan maju.
Tidak bisa ditampik–dengan mengesampingkan persoalan etika–tambang memang menguntungkan. Itu juga alasan mengapa salah satu ketua PBNU, Ahmad Fahrur Rozi berkenan menjadi komisaris PT Gag Nikel di Raja Ampat.
Namun, seberapa besar keuntungan yang bisa diraup PBNU dibandingkan kerusakan yang akan menimpanya dari mengelola tambang? Saya kira tidak sebanding. Harga yang harus dibayar PBNU untuk mendapat izin tambang terlalu mahal. Sebab, seketika mereka melakukannya, maka hilang pula kredibilitas dan legitimasi mereka untuk mengadvokasi isu-isu lingkungan. Padahal, PBNU punya Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI NU).
Setelah PBNU menerima izin tambang, segala nasihat mereka untuk merawat lingkungan dan hidup selaras dengan alam menjadi terkesan tak berarti. Bayangkan ada ulama yang naik mobil mewah, memakai sarung BHS jutaan rupiah, jam tangan Rolex, berangkat dari rumah seluas lapangan bola, lalu berceramah di hadapan rakyat miskin untuk rajin bersedekah, hidup sederhana, tidak dibutakan harta, dan tidak terikat dunia, kira-kira masihkah ada yang akan mendengarkannya?
Itulah yang terjadi kepada PBNU sekarang. Marwahnya luntur. Orang tak segan-segan menertawakan lambangnya. Internal PBNU yang ikut bersuara menolak tambang bukannya mendapat simpati, tapi malah jadi bahan olok-olok warga. Semua demi apa? Konon untuk maslahat warga nahdliyyin. Warga yang mana? Apakah warga NU di Banyuwangi yang terdampak oleh tambang emas Tumpang Pitu tidak termasuk? Apakah warga Rembang dan Kendeng yang dizalimi pabrik semen dan dibela Gus Mus (mertua Ulil) dikecualikan?
Mungkin, bagi sebagian nahdliyyin, partisipasi PBNU mengelola tambang adalah kemajuan. Namun, bagi saya ini kemunduran. Kalau menulis ini saya dicap sebagai wahabi lingkungan, maka biarlah dibilang begitu. (*)
Editor: Kukuh Basuki
Sepakat. Tak hanya itu, secara maslahat dan mafsadat memang masih harus di kaji ulang. Perusakan lingkungan akibat tambang sudah banyak terbukti. Masih kurang apa lagi. Saya jadi teringat dalam fikih, yang menjadikan seseorang bisa bertayammun karena sakit, apabila ada ucapan dokter. Artinya fikih menegaskan bahwa dalam mengambil hukum, perlu pendapat ahli yang menegaskan bahayanya. Tambang sendiri sudah berapa banyak para ahli yang mengatakan berbahaya secara ekologis? Itu perlu dikaji juga.
Basa basi diawal tulisan hanya menunjukan kepengecutan anda yang takut diserang nahdhiyin setelah membunyikan kentut sumbang