Di tengah derasnya informasi yang tidak sempat disaring, kita hidup di zaman ketika debat kusir justru tampil sebagai tontonan menarik—bukan karena substansinya, melainkan karena dramanya. Platform seperti TikTok menjelma menjadi arena bentrok argumen yang sering kali tidak lebih dari saling marah-marah dan saling merasa paling benar. Tidak heran jika TikTok dijuluki sebagai “kandang monyet” yang menggambarkan keramaian, tetapi minim nalar.
Di tengah kegaduhan digital yang membuat sulit membedakan mana opini, mana manipulasi, nalar publik tampak meredup. Diskusi sehat seakan kehilangan tempat. Dalam situasi semacam ini, buku Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika karya Fahruddin Faiz terasa seperti ajakan untuk menjeda dan menata ulang cara kita berpikir—bukan lewat jargon elitis, tetapi melalui bahasa yang membumi.
Fahruddin Faiz dan Usaha Memasyarakatkan Filsafat
Nama Fahruddin Faiz tidak asing bagi mereka yang akrab dengan filsafat. Ia adalah pengajar di Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga. Melalui kanal YouTube MJS Channel yang rutin menyiarkan “Ngaji Filsafat” dari Masjid Jenderal Sudirman, Yogyakarta, Fahruddin Faiz bisa dibilang berusaha untuk memasyarakatkan filsafat dengan cara membawa filsafat keluar dari menara gading dan masuk ke ruang-ruang digital yang lebih cair.
Buku Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika: Membincang Cognitive Bias dan Logical Fallacy ini terbit pada 2020 di bawah penerbitan MJS Press. Buku ini hadir sebagai kelanjutan dari semangat memasyarakatkan filsafat itu—membawa filsafat ke khalayak banyak, menjadikannya alat untuk hidup, bukan sekadar alat untuk terlihat pintar.
Baca juga:
Bicara Logika dengan Bahasa Rakyat
Buku Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika ini terbagi dalam dua bab besar, yakni bab 1 berjudul “Bias-Bias dalam Berpikir (Cognitive Bias)” dan bab 2 berjudul “Logical Fallacy“. Bahasa yang digunakan pada buku ini menggunakan gaya bahasa yang membumi dan mudah dipahami oleh banyak orang. Seperti kata Fahruddin Faiz dalam bagian Pengantar pada hlm. vi: “Buku ini disusun dengan strategi, gaya, dan struktur yang sangat sederhana, mengikuti prinsip: sak isane sing nulis (sebisanya penulis).”
Ambil contoh pada pembahasan Halo Effect di halaman 35-36, Halo Effect adalah bahwa satu aspek (misal kecantikan, status sosial, umur) yang dapat memunculkan kesan positif/negatif biasanya akan dijadikan dasar untuk menilai semua aspek lain secara keseluruhan.
Halo Effect ini memang mengarah ke stereotyping. Fahruddin Faiz berhasil menggambarkan itu dengan ungkapan “Orang Barat itu licik“, “Hati-hati dengan orang yang punya tato di tubuhnya“, atau “Jangan dekat-dekat dengan orang yang berasal dari sana, mereka tidak dapat diatur“.
Pada bab 2 yang berjudul “Logical Fallacy“, yang dibahas tidak hanya logical fallacy itu sendiri. Setiap jenis logical fallacy yang dijelaskan, terdapat contohnya dan cara untuk kita bagaimana kita harus menyikapi logical fallacy tersebut.
Lagi-lagi, setiap pembahasan di buku ini terasa ringan dan mudah dipahami—hal yang menjadi kelebihan dari buku ini. Selain itu, setiap kita memasuki pembahasan baru, pada halaman sebelah kirinya hampir selalu terdapat quote yang menarik dari banyak tokoh.
“Kita membaca semesta dengan salah lalu berkata dunialah yang membohongi kita.”
— Rabindranath Tagore (hlm. 60)
Kutipan tersebut terasa seperti teguran kecil bagi kita semua—yang terlalu cepat menghakimi, tetapi jarang memeriksa cara berpikir sendiri. Di tengah kemudahan menyebarkan opini dan menyerang pendapat orang lain di media sosial, kutipan tersebut menjadi semacam ajakan diam-diam untuk kembali ke dalam diri kita sendiri: jangan-jangan bukan dunia yang membingungkan, melainkan cara kita membaca dunia itulah yang perlu dibenahi.
Baca juga:
Logika sebagai Alat, Bukan Senjata
Buku Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika ini tidak menjebak pembaca pada superioritas berpikir logis. Buku ini seperti pengingat bahwa kita punya alat untuk tidak terseret arus hoaks, provokasi, dan debat kusir yang melelahkan. Alat itu bernama logika—yang sayangnya, orang-orang sering lupa bahwa mereka memiliki alat itu.
Kita semua pernah—dan mungkin sedang—terjebak dalam sesat pikir. Buku ini, alih-alih bisa menjadi “senjata” untuk mengalahkan argumen lawan, bisa lebih berguna sebagai alat untuk menertibkan nalar sendiri.
Buku Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika ini tampaknya memang bukan buat semua orang. Bagi yang sudah terbiasa membaca buku filsafat, tidak ada hal baru yang bisa didapat dari buku ini. Buku Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika ini mungkin lebih cocok dibaca untuk mereka yang pemula dan orang awam yang ingin menajamkan logikanya.
Editor: Prihandini N
