nyanyian soleram
oh layla, nyanyikanlah sebuah lagu
meredam gemetar tubuhku;
dari memoar masa lalu
yang membenam memar dalam diriku
adakah yang lebih lebam dari biru langit
& lebih saga dari segala:
lebih nyala dari api
dari amarah & dendam
–lebih dari sunyi
lebih padam dari gelap
apakah penderitaan itu
darah mengalir dari masa lalu
sebab tak ada yang baru
di bawah matahari, kita
& semua sudah lengkap
lalu, mengapa aku dilahirkan di sini
tidak layla, nyanyikanlah sebuah lagu
sebelum sampai pertanyaan itu
& sesudah merah pipiku
soleram menjemput waktu lelap
memutihkan gelap
membangun mimpi, di sana…
dekap, dekaplah aku
di dadamu
”anak manis, janganlah menangis, sayang
kalau menangis, diciumlah pipinya.”
–
kesedihan dari waktu ke waktu
ketika ibu mengurai masa lalu
berderai aku menggali sumur mata airku
agar kesedihan tak terkail tangan waktu
tetapi barangkali tidak perlu ditunggu
sebab pada ujung tajam belati
darah sudah amat dikenali
dari seonggok daging ari-ari
yang ditanam di pekarangan sendiri
apakah karena darah lebih kental
ketimbang air mata, tetapi
adakah di antaranya yang berbeda
& karena tetap saja sia-sia,
meski telah disiasati
kesedihan & penderitaan masa silam
diwariskan tanpa sengketa
hanya kepadaku
mengalir dari waktu ke waktu
air mata tidak bisa ingkar
pada nasab &
nasibnya
sendiri
–
perihal selamat tinggal
aku selalu tertinggal ketika ingin
mengucap selamat tinggal
kelak bila telah sampai waktuku
aku tak ingin terburu-buru
berkata-kata bukan seperti penyair
tanpa metafor yang diperdebatkan
di ruang-ruang kebudayaan
sebab hanya aku, tidak perlu yang lain
aku mengingat semua
& berharap masih memilikinya
sebab aku pernah hidup, sebelum & sesudah
aku mati di dalam kenangan-kenangan itu:
aku ingin mengatakannya dengan benar
meski terbata-bata memakai ejaan
yang tidak mungkin sempurna
tetapi kesulitan bukanlah pada kata-kata
melainkan kesadaran semua hal
bisa terlupa begitu saja
sebab ingatan bukanlah tanah gembur
dari gugur daun-daun
sebaliknya, ingatan adalah daun kering itu
melayang tak tentu arah, jatuh ke tanah
& segalanya akan berakhir
tanpa berharap jadi apa-apa
seperti, di sebuah desa jauh
bunga kamboja jatuh
di atas makam purba
tanpa nama
–
tidak ada harapan hari ini
kau tidak sempat berpikir dunia masa depan
harapan adalah bagaimana kau bertahan hari ini paling tidak sampai esok tidak mirip esok lagi;
kau bertahan hidup dengan cara melewati hidup
barangkali distopia itu adalah dunia masa kini hidup tanpa angan-angan seperti hidup yang mati
mengetahui bahwa angka harapan hidupmu tak lebih panjang
dari antrian bpjs & kematianmu sudah menunggu di ruang tunggu
kau mengungsi ke rumah meski rumah telah menjelma
unit gawat darurat yang menguarkan bau obat & kau
lebih percaya paracetamol ketimbang kebijakan negara
sebab negara senang merawat badut-badut parpol
daripada orang miskin yang sekarat
kau cuma bisa menanti maut, memanggil namamu
dari menara rumah ibadah, untuk mandi & berkemas
sebab harapan tidak lagi menetap di sini
kau ingin bergegas ke sana, secepatnya
tetapi waktu terlalu lama ditunggu
kau perlu mencari cara bunuh diri
& negara sudah menyiapkannya;
di jalan, dari jadwal penggusuran tiba-tiba
sebab tanah habis untuk orang-orang kaya
atau di bekas lubang tambang yang menenggelamkan
tawa anak-anak kita atau serdadu dengan lars panjang
—di tangan politisi yang mengubah nasi
menjadi senjata api atau di tangan pejabat korup
menyogok malaikat maut memangkas hidup kita
& barangkali benar demikian;
air mata & darah & derita masa lalu
bisa lebih dipercaya, ketimbang
harapan-harapan
sedang seluruh yang kau coba
harapkan & percaya
seperti tak pernah ada
bagi kemarin bahkan lusa
sebab negara kini memaksamu:
air mata & duka cita tak layak diceritakan lagi!
–
di hadapan lukisan
kupu-kupu yang menari-nari
di atas kepalamu adalah serangkaian kawat besi
tak beraturan yang hendak melilit kepalamu.
kebebasan barangkali bisa dimaknai macam-macam,
di dalam bingkai itu misalnya menyimpan banyak
bangkai pertanyaan, yang juga isi kepalamu.
bahwa satu kepakan sayap kupu-kupu di utara
mampu menciptakan badai di selatan
& kau tidak kuasa mencegah keduanya:
kebebasan pada akhirnya terperangkap
di dalam pertanyaan-pertanyaan?
*****
Editor: Moch Aldy MA