Dia telah berada di perempatan Bulak Sumur pagi itu. Burung-burung cangak abu masih bertengger di hutan buatan milik Fakultas Kebudayaan. Dilihatnya kumpulan burung itu sambil menunggu lampu merah, kemudian teringat kenangan semasa SMP bahwa ia pernah tertiban tahi saat berangkat ke sekolah bersama ibunya. Untungnya dia saat itu memakai helm, jadi tahi burung cangak abu tersebut tidak menimpa kepalanya langsung. Suara tahi yang jatuh menimpa helmnya masih teringat olehnya. Dan lamunan mengenang masa lalu itu buyar setelah suara klakson dari bus Trans Jogja di belangkanya menjerit. Dia memutar gas motor Supra merahnya, membuyarkan bayangan masa lalu ketiban tahi untuk kembali ke tujuan hari ini.
Parkiran kampus tampak senggang saat dia datang. Hanya terdapat lima motor di sana, di antaranya tiga di parkiran dosen dan dua di parkiran mahasiswa. Tidak terasa tokoh kita ini sekarang sudah semester sebelas. Dia juga telah memulai skripsinya, sekarang sudah mencapai bab tiga, dan alasannya pagi ini berada di kampus hendak berkonsultasi mengenai skripsi kepada dosen pembimbingnya. Syukur, hari ini dia telah diizinkan untuk memulai mengambil data. Setelah turun dari motor tokoh kita berjalan ke aula jurusannya dahulu untuk menengok jam. Jam menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas. Artinya dosen pembimbingnya yang sekaligus menjabat sekertaris jurusan belum berada di ruangannya. Dia lalu berjalan menuju pojok timur aula, mengambil koran hari pagi ini, dan duduk di kursi panjang yang terletak di sebelah barat aula.
Tokoh kita mengabaikan headline surat kabar yang judulnya “Ancaman Kebebasan Berpendapat”. Dia lebih memilih untuk melihat foto ukuran 7cm x 5cm yang berisi sebelas orang yang ditaksirnya berusia 30-50 tahun, yang berjajar dalam dua barisan di mana enam orang duduk di depan dan lima orang berdiri di belakang. Foto tersebut terletak pada kolom sebelah kiri bawah pada halaman pertama, dan itu menandakan berita yang ingin disampaikan bukanlah hal yang terlalu penting. Sebelas orang tersebut berpose sama dengan tangan kanan mengepal, pose yang identik, pegawai negeri, aparat penegak hukum, bahkan para korak yang bersembunyi di belakang seragam ormas yang legal dan terdaftar. Setelah puas melihat foto yang biasa-biasa saja itu, matanya kemudian membaca judul berita yang berada di atas foto tersebut. Terkejutnya dia saat membaca judul yang spektakuler dan menurutnya tidak relevan dengan foto yang membawainya.
“Asu, foto biasa ini bisa-bisanya judulnya nggaya sekali ‘Kemiskinan dan Sampah di Sleman Perlu Perhatian Bersama?’” dia menghela napas kemudian melanjutkan, “memangnya selama ini yang memerhatikan sampah se-Sleman cuman seorang aja? Ngasal sekali kalau memberi judul.”
Skripsinya yang tidak kunjung selesai, ditambah hidupnya yang tidak membuat perkembangan berarti, membuat dirinya sering berkhayal menjadi jagoan yang musti mengoreksi kebatilan yang ada di seluruh dunia. Dia kemudian mulai membaca berita yang judulnya diolok-oloknya tersebut.
“Ikatan Keluarga Alumni Universitas Wahyu Mataram akan Ikut Berpatisipasi dalam Pemecahan Masalah terkait Sampah dengan Mendorong Mahasiswa KKN untuk Menjadikan Isu Sampah sebagai Progamnya.”
Setelah membaca potongan kalimat dalam berita itu, paru-parunya terasa panas. Nafasnya mulai engap. Sorot mata tokoh kita yang tadi tenang bahkan terkesan bingung sekarang berubah. Sorot mata itu seperti seorang yang sedang diinjak harga dirinya, direndahkan akal sehatnya, dan dinistakan hidupnya. Intinya dia marah membaca pernyataan dalam berita tersebut.
“Duh biyung, benar-benar berita gak penting! Kok bisa berita gak penting begini ditaruh di halaman pertama? Dapur redaksinya gimana, sih? Ditambah inti dari judul yaitu sampah dan kemiskinan, yang banyak dibahas malah porsinya sampah, di mana porsi kemiskinannya? Mana solusi yang ditawarkan itu sebenarnya bukan solusi, tapi lempar-lemparan tanggung jawab. Apakah ikatan keluargaan-keluargaan itu tidak memikirkan siapa yang dia suruh. Duh biyung, mereka menyuruh mahasiswa. Iya, mahasiswa itu. Golongan yang sekarang jumlahnya seperti buih. Mana bisa golongan sebanyak buih itu merubah suatu keadaan. Cocoknya bukan jadi agen perubahan tapi seratus kodi bakal calon karyawan!”
Tokoh kita menarik napas sebentar, tetapi kemarahannya masih terasa membakar dadanya. Lalu pengaruh keadaan menyadarkannya, dalam hal ini adalah usia dan pengalaman hidup, membuatnya paham bahwa marahnya ini sesungguhnya tidak ada guna dan hanya diadakan sebagai wujud bahwa dirinya masih waras dan memiliki emosi, sekaligus bukti bahwa dia adalah warga negara yang baik karena masih berpikir. Kemudian dia langsung saja membuka halaman koran selanjutnya. Tidak tanggung-tanggung, dia lewati saja enam halaman dan dia melewati salah satu halaman yang berisi kolom yang dahulu sewaktu semester tiga dia sangat gemar membacanya. Kolom itu berjudul “Solusi Tengah”. Namun dia tidak membacanya lagi setelah tahu penulisnya ternyata mantan pacar dari neneknya, yang dalam pikirannya, membuat neneknya membawa beban di alam lain karena tidak memaafkan satu manusia semasa hidupnya.
Dia sampai pada halaman yang berisi berita-berita olahraga. Ada kabar bahwa salah satu lembaga olahraga atletik yang mengirim atletnya ke Paris, diketahui pihak keuangannya perlu menjudikan uang kas lembaga karena tidak diberi dana pemerintah. Dan beruntungnya mereka malah jackpot. Kas mereka sekarang menjadi surplus dan uang hasil mengundi nasib itu, yang tentu jelas keharamannya, selain digunakan untuk mengirim dan membiayai kehidupan atlet di Paris, juga digunakan untuk meremajakan alat-alat latihan yang digunakan putra-putri potensial calon pengharum nama bangsa. Namun hal itu diketahui pemerintah. Pemerintah menyangsi lembaga tersebut bahkan sampai-sampai sebuah lembaga agama menyatakan ketidakbarokahan lembaga tersebut. Dia tiba-tiba tersadar bahwa cabang olahraga yang lembaganya menang judi dan dipermasalahakan pemerintah ini, baru tadi malam, dua atletnya sudah dipastikan akan membawa medali emas ke Indonesia. Membaca berita tersebut dadanya terasa panas lagi, dan semakin panas setelah tahu tim sepak bola favoritnya, Manchester United, kalah 3-0 dengan salah satu tim kasta tiga Liga Inggris. Dua gol yang bersarang di gawang Manchester United berasal dari gol bunuh diri pemain belakangnya.
Lewatnya seorang petugas bersih-bersih di depannya, membuatnya tersadar dan lehernya berputar menengok ke arah jam aula. Waktu menunjukkan pukul setengah delapan. Dia menutup koran itu, melipatnya dengan rapi, dan meletakkan begitu saja di kursi panjang. Bersamaan saat dia baru saja tiba di depan pintu ruang dosen pembimbingnya, koran yang tergeletak rapi dan terlipat sempurna itu sekarang dibuat seekor kucing kembang telon untuk tidur. Kucing itu sakit dan mengeluarkan ingus.
Tokoh kita mengetuk pintu ruangan dosen pembimbingnya itu tiga kali dan terdengar dosen pembimbingnya mempersilakannya masuk. Dia pun menarik kursi yang tersedia, berhadapan dengan wajah dosennya, dan tidak selang berapa lama seorang mahasiswi yang juga ingin bimbingan masuk dalam ruangan tersebut. Mahasiswi berkerudung biru muda duduk di belakang tokoh kita ini. Diketahui mahasiswi tersebut adalah adik tingkatnya selisih empat semester. Lalu, bagaimana nasib pemuda kita setelah duduk berhadapan dengan dosen pembimbingnya.
Sebuah sapaan pagi yang penuh basa-basi dengan suara yang terasa dipaksakan, amnesianya dosen pembimbing terkait tokoh kita dan skripsinya, tokoh kita yang menahan lapar karena belum sarapan, dan tidak lupa nasihat-nasihat supaya lekas lulus dan mengingatkan bahwa kuliah itu mahal. Tapi tidak ada kejadian yang merugikan tokoh kita selain bahasan tentang soal moto skripsi.
Saat membuka lembar-lembar awal dari cetakan skripsinya itu, sang dosen menyuruh tokoh kita untuk mengubah motto skripsinya. Menurutnya itu bukanlah moto, tapi kutipan yang panjang, murni tanpa perubahan. Tokoh kita ini tidak bergeming, dia hanya tetap tersenyum dengan tatapan sendu tapi tegas dan tidak menanggapi omongan dosennya. Sampai sang dosen melemparkan tiga pertanyan padanya: kenapa dia menempelkan kutipan yang panjangnya lebih dari tiga paragraf itu dalam moto skripsi? Apakah dia tahu apa yang dimaksud itu moto hidup? Dan apa inti dari kutipannya yang panjangnya seperti kasus korupsi di Indonesia ini?
“Bahwa kebahagiaan itu hanya sesaat, Bu.”
Kalimat itu terlontar dari mulut tokoh kita dengan kecepatan yang tinggi, seolah hendak menyumpal mulut dosennya yang membrondong dirinya dengan pertanyaan. Dosennya saat itu memandangnya dengan reaksi tidak menyangka, dan barangkali dia ingin meyakinkan dirinya, apakah betul kalimat itu baru saja didengarnya, dari perkataan mahasiswa bimbingan yang sudah hampir DO. Dilihatnya kini wajah mahasiswa yang termasuk kategori bukan kesayangannya: rambut tanpa disisir, kumis dan jenggot tidak dicukur, celana kain hitam yang lusuh dan kemeja garis-garis berwarna abu-abu yang tentu berbau campuran tembakau dan timah solder.
“Wow, kelas!” Kata itu terdengar dari mahasiswi yang sedang menunggu di belakang tokoh kita ini. Dia juga mendengar jawaban tokoh kita yang fantastis itu. Pandangan dosen pembimbingnya sekilas menatap ke arah mahasiswi yang berwajah manis itu. Tapi wajah tokoh kita di depannya ini tidak mau dialihkan.
Dosen itu sadar waktu masih pagi. Tadi di rumah dia baru saja dikabarkan bahwa anak nomer duanya telah diterima melanjutkan S2 di salah satu universitas di Inggris, dia juga baru saja diberi kabar suaminya yang bekerja di pertambangan di Papua sana bahwa telah naik jabatan. Itu artinya gaji dan kehormatannya naik. Dan tadi di perempatan Gejayan dia baru saja memberi seorang pengemis uang lima puluh ribu sebagai bentuk sedekah karena diberi kebahagiaan dalam hidupnya. Dia juga ingat wejangan dari seorang alim bahwa jika ingin selalu bahagia di dunia, bersedekahlah. Dan baru saja ini, ya mahasiswa di depannya ini, tokoh kita yang kumal dan karismatik tapi tetap bukan siapa-siapa berkata, “kebahagiaan itu hanya sesaat”. Perasaan dosen itu benar-benar menjadi kacau.
“Tapi mas, bukannya kamu juga ingin kebahagiaan yang lama?”
Dosen pembimbing itu mengembalikan pertanyaan pada mahasiswa yang sok bijak tersebut. Sang dosen tidak ingin kehilangan martabatnya di pagi hari. Dia paham tabiat mahasiswa tua, seperti yang ada di depannya saat ini, yang memandang dunia itu seperti neraka. Dia tidak ingin semangat pesimis ini berada di setiap mahasiswanya, dan sudah menjadi kewajibannya sebagai dosen membuat mahasiswanya mempunyai semangat untuk hidup, semangat untuk berkarya, semangat untuk berprestasi serta dapat mengharumkan nama kampus.
“Bukan cuman saya, Bu, yang menginginkan kebahagiaan yang lama, setiap orang juga menginginkannya. Ibu juga, kan?”
Ruangan itu tiba-tiba senyap, hanya suara mesin AC yang terdengar. Mahasiswi bersenyum manis itu menunduk dan tidak lagi terlihat senyumnya, dosen pembimbing itu masih menatap ke arah tokoh kita ini dengan pandangan yang semakin tidak menyangka, dahinya juga ikut mengerut. Dan nasib tokoh kita ini duduknya makin membungkuk dan mukanya dibenamkan, tapi jika dilihat matanya, ketegasannya sama sekali tidak berkurang. Siasat bertahan yang benar-benar lemah, tetapi jitu. Batin dosennya bertambah berang dan bertanya apa isi dalam otak mahasiswa di depannya ini? Nasib buruk apa sampai dia dapat menjadi seperti ini? Buku apa yang dia baca? Orang bijak jenis apa yang dia temui? Dan sialnya, meskipun berang, dosen itu bersepakat dengan ucapan tokoh kita tersebut. Namun ia sadar, baru saja sanggahannya diberi sanggahan yang mutlak dan terukur tak bisa terbalas. Agar harga dirinya terjaga, sang dosen langsung mengalihkan pada hal inti. Dia langsung meneliti skripsi tokoh kita, dia bedah tiap bab pada skripsi yang sudah dapat dia bayangkan betapa kacau isinya. Benar saja, Bab 1 rumusan masalah yang disusun kurang, Bab 2 cara mengutipnya asal-asalan dan pertanyaan penelitian yang sama sekali tidak nyambung, Bab 3 adalah penghabisan untuknya. Metode yang digunakan, rumus yang dipakai tidak nyambung sama sekali. Sang dosen mengoret-oret skripsi apa adanya itu. Mahasiswa kuyu itu sekarang duduk tegak menatap tangan dosennya yang menari-nari di lembar skripsinya, terperanjat, tidak percaya bahwa ternyata skripsi yang disusunnya sepenuh hati ini ternyata masih banyak bolongnya. Padahal dia sudah mengerjakan menurut arahan temannya, teman yang sama dengan dosen pembimbingnya, tapi dia diperlakukan berbeda.
“Perbaiki lagi, Mas. Dan tolong moto skripsinya dirubah.” Dosen itu menutup bimbingan hari itu. Tokoh kita mengambil cetakan skripsi yang penuh oretan. Dia mengiyakan intruksi dari dosen pembimbingnya itu, meskipun nantinya moto skripsinya tidak akan diubah. Setelah dia memasukkan naskah skripsinya, dia berpamitan kepada dosennya. Mahasiswi di belakangnya masih tertunduk seolah sedang memikirkan sesuatu yang pelik. Tokoh kita keluar dari ruangan dosen itu dan menuju aula. Dilihatnya jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Dia menyadari bimbingan kali ini benar-benar tidak main-main.
“Kok, ini tidak seperti biasanya,” keluhnya pelan.
Kemudian, tokoh kita teringat bahwa ada warung ayam goreng, yang tidak jauh dari kampusnya, yang jam segini baru saja menghasilan ayam goreng pertama. “Seporsi ayam goreng plus nasi sepertinya lezat,” batinnya. “Ini bisa membuatku bahagia, meskipun sebentar.”
*****
Editor: Moch Aldy MA