Pada kehidupan di era keblinger yang penuh dengan hujan informasi ini, apakah kita dapat menjadikan tokoh-tokoh pemikir Athena sebagai model karena buah pemikiran mereka yang dahsyat? Menurut saya, kita perlu mengungguli mereka dengan kondisi kehidupan yang jauh berbeda. Bukankah juga tidak ada alasan untuk kita tidak memproduksi ide-ide kreatif yang jauh Lebih dahsyat dari mereka? Tentu, dorongan ini harus menjadi alam bawah sadar yang tertanam dalam darah kita di manapun berada dan tidak perlu berkecil hati.
Buku The Geography of Genius yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Mizan merupakan buku yang menceritakan perjalanan orang jenius yang ada di Athena dan took-tokoh jenius lain pada masa sesudahnya . Buku yang ditulis oleh Eric Weiner ini menarasikan kisah dengan bahasa yang memukau dan tidak terlalu berlebihan. Buku ini penuh kejutan. Eric Weiner menulis dari sudut pandang yang berbeda dan mungkin jarang dipikirkan oleh banyak orang. Tokoh-tokoh pemikir Yunani dan tokoh-tokoh besar di abad-abad setelahnya yang dipuja-puja karena pemikirannya ternyata mempunyai kehidupan yang kelam juga.
Misalnya, Socrates seorang filsuf yang hidup di Yunani pernah dirundung oleh kawan-kawannya karena mempunyai perawakan yang buruk dan hidung yang besar. Akan tetapi Socrates tidak hanya berpasrah diri, dia dicitrakan sebagai orang yang pandai mengalihkan pembicaraan atau ngeles. Kemudian Leonardo da Vinci mengusap keringatnya yang mengucur keras dari dahinya di sebuah bengkel di tempat kerjanya Florence. Einsten misalnya, dengan teori relativitasnya, ia menulisnya di meja dapur yang terdapat di apartemen kumuh di Benre. Artinya, seorang jenius tidak butuh lingkungan yang hebat, terkadang dengan hal-hal yang sepele itu akan berubah dengan sesuatu yang luar biasa. (hal.442)
Leonardo da Vinci dalam buku ini merupakan orang yang mempunyai ketekunan belajar yang luar biasa, ia telah menciptakan budaya belajar yang bagus dalam dunia pertemanannya. Ia yang mempunyai ciri khas bertopi koboy dan berjenggot panjang itu termasuk salah satu dari orang jenius ini. Mereka lahir bukan disengaja tapi suratan takdir dari budaya hidup yang berbeda dan pergaulan yang ia jumpai. Tidak mungkin Leonardo da Vinci hidup yang dikenal sekarang kalau hidupnya tidak pernah bersinggung dengan sesama jenius lain yang hidup pada zaman yang sama. (hal. 32)
Selain itu, kebiasaan orang Yunani adalah mengkonsumsi minuman beralkohol seperti wine. Dengan cara tersebut mereka dapat mengalirkan pemikirannya dengan lancar. Misalnya seperti Aristoteles, William Faulkner penikmat buku yang tidak bisa tanpa minuman beralkohol, Van Gogh seorang pelukis, Jackson Pollock seorang pelukis, dan Winston Churchill yang menulis buku The World Crisis.
Tidak hanya itu, tradisi di Yunani adalah apabila terdapat seseorang yang mempunyai pemikiran yang dahsyat dan mengungguli yang lain dalam lingkaran pertemanan maka ia berpotensi akan dikucilkan. Mereka menganggap bahwa orang yang seperti itu dapat merusak teman-teman lain untuk berkembang. Mereka akan segera diusir dari Athena untuk pindah ke tempat lain yang terpencil.
Bahkan di Skotlandia yang merupakan tempat di mana banyak tokoh jenius melahirkan sebuah penemuan ternyata mempunyai sisi gelap. Skotlandia mempunyai cuaca yang buruk, ada bau busuk, tempat yang jorok dan kumuh. Seorang tokoh pemikir di sana sudah terbiasa hidup dengan tumpukan sampah-sampah yang berserakan. Namun demikian Eric Weiner berpendapat bahwa hidup di tempat yang baik dan hidup di lingkungan yang buruk sama-sama menimbulkan percikan.
Albert Einsten yang diakui dunia sebagai salah satu ilmuwan terbesar yang pernah ada pun ragu dengan apa yang telah diasumsikan kebanyakan orang ketika ditanya kenapa dia jenius. Dia tidak menyadari sama sekali kalau dirinya adalah jenius. Apakah seorang jenius diidentikan sebagai orang yang rajin? Tidak. Tapi mereka dianggap jenius karena cara mereka dalam melihat sebuah realitas dari sudut yang berbeda sehingga menjadi sesuatu yang luar biasa saat diketahui oleh banyak orang.
Buku yang ditulis oleh Eric Weiner ini sangat menarik untuk kita baca terutama ketika membahas bagaimana seorang jenius lahir sebagai jenius. Ia menjabarkan kebiasaan seorang jenius dalam memproduksi ide-ide kreatifnya. Ternyata, seorang jenius mempunyai keunikan tersendiri, dia dapat menghasilkan ide-ide kreatifnya dengan cara melakukan perjalanan keluar dari rumahnya. Menurut pandangan mereka, keluar dari rumah memberikan rangsangan terhadap otak mereka agar lebih mudah dalam menarik sebuah ide.
Seorang jenius tidak akan mempersoalkan sekalipun dia hidup di lingkungan kumuh dan jorok. Justru dari tempat itulah mereka dapat menemukan ide-ide untuk menjadi pemikiran yang dahsyat. Dengan kebiasaannya hidup di tempat yang kotor mereka terus mengalirkan buah pemikirannya. Tempat bukanlah menjadi persoalan, tapi seberapa bagus lingkungan pertemanan tersebut yang medorong dirinya terus berpikir dan merenung. Satu kutipan yang saya suka dari buku ini adalah “yang membedakan antara orang genius dan orang gagal sebenarnya bukan berapa kali dia berhasil, melainkan berapa kali dia memulai dari awal.” (hal.102)
Kemudian buku ini juga menjelaskan perbedaan pandangan terhadap teknologi antara orang Barat dan Cina. Orang Barat sepertinya lebih memuja kemajuan teknologi. Semakin mereka memproduksi teknologi yang canggih, semakin mereka berkeyakinan bahwa negara mereka akan maju. Tapi tidak dengan orang Cina. Mereka lebih mengutamakan seberapa bermanfaat teknologi tersebut digunakan. Orang Cina berpandangan bahwa secanggih apapun teknologi, secara substansi akan sama saja jika tidak bermanfaat.
Buku ini tidak hanya membahas masing-masing tokoh pemikir jenius secara eksplisit, namun juga kehidupan yang mereka jalani setiap hari. Buku ini melihat detail-detail kehidupan mereka sehingga menjadi seorang jenius. Buku ini sangat enak untuk dibaca karena bahasanya ringan dan tidak sampai membuat kita mengernyitkan dahi. Eric Weiner adalah tipe penulis yang menurut saya tidak suka berbasa-basi dalam merangkai kalimat. Ia justru menggunakan bahasa yang elegan, renyah, namun tidak mengurangi substansi dari tulisan. Selain mencantumkan data-data, tulisan Eric Weiner juga terasa mempunyai nilai sastra. Eric Weiner begitu epik merekam sisi-sisi kehidupan di Athena dan persinggungan antara barat dan Cina yang diikuti oleh pencantuman data sejarah yang melatari peristiwa ini.