Alih fungsi lahan dan privatisasi ruang yang melatarbelakangi sejumlah konflik agraria di Labuan Bajo, Manggarai Barat, merupakan bukti bahwa ruang kota bukanlah sesuatu yang inersia dan netral. Sebaliknya, ia merupakan arena kontestasi antaraktor: aliansi bisnis-birokrat vs kelompok masyarakat sipil.
Ruang sebagai Sirkuit Kapital
Pembangunan di era neoliberal saat ini, telah menempatkan ruang di wilayah perkotaan dalam suatu sirkuit kapital. Melalui pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah lokal dan nasional, sejumlah ruang di wilayah Labuan Bajo kini diubah menjadi ruang-ruang yang bersifat ekonomis.
Sejak ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai salah satu destinasi wisata super prioritas tahun 2019, tercatat konflik agraria di Labuan Bajo mengalami peningkatan signifikan. Meskipun tidak ada data resmi, sejumlah konflik agraria yang menonjol antara lain kepemilikan tanah ganda dan penjualan tanah ke pihak asing, relokasi warga di Pulau Komodo, dan privatisasi kawasan pantai. Dalam konflik-konflik tersebut, hak-hak agraria masyarakat lokal menjadi terancam.
Atas penetapan destinasi wisata super prioritas, Labuan Bajo dibanjiri sejumlah program investasi dan beberapa di antaranya berlabel Program Strategis Nasional. Menggunakan postulat David Harvey (1982) tentang solusi spasial atau spatial fix, Labuan Bajo adalah ruang baru yang dibutuhkan sistem kapitalisme untuk menghindari krisis an sich, yaitu kelebihan produksi (over accumulation). Kapitalisme melalui kegiatan investasi cenderung menampilkan pola peralihan produksi ke lokasi geografis baru sehingga modal dapat kembali bekerja menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi.
Baca juga:
Posisi Labuan Bajo menjadi strategis karena merupakan wilayah industri baru, yang menunjukkan beberapa karakteristik seperti biaya produksi yang lebih rendah, pasar baru untuk konsumsi, ketersediaan sumber daya alam, dan regulasi yang longgar. Empat karakteristik ini adalah prakondisi yang ideal bagi sirkulasi kapital.
Komoditifikasi Ruang dan Kontestasi Antaraktor
Salah satu konflik yang cukup menarik atensi publik dan dijadikan contoh untuk memahami operasionalisasi logika kapitalisme dalam pemanfaatan ruang adalah alih fungsi Hutan Bowosie yang dilakukan oleh Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF).
Upaya alih fungsi lahan dalam pelaksanaannya menuai resistensi dari masyarakat lokal yang telah mendiami dan mengolah lahan Hutan Bowosie sebagai lahan pemukiman dan perkebunan sejak tahun 1994. Lahan seluas 400 ha tersebut, kini ingin diubah menjadi area wisata. Pada Hutan Bowosie akan dibangun hotel, resort, restoran, dan beberapa jenis wisata alam yang nantinya akan terintegrasi dengan Taman Nasional Komodo.
Dalam perencanaannya, BPOLF akan bekerja sama dengan pihak swasta untuk pengembangan kawasan tersebut menjadi empat zona: Cultural District (114,73 ha), Leisure District (63,59 ha), Wildlife District (89,25 ha) dan Adventure District (132,43 ha) dengan nilai proyek sebesar seratus miliar rupiah.
Untuk realisasi pembangunan proyek ambisius ini, masalah utama yang harus dihadapi adalah status lahan yang menjadi objek pembangunan. Seperti yang disampaikan oleh Wakil Menteri ATR/BPN, Raja Juli Antoni dan Angela Tanoesoedibjo ketika penyerahan sertifikat HPL milik BPOLBH di kawasan Hutan Bowosie pada 15 September 2023, bahwa tugas utama yang diberikan Presiden Joko Widodo adalah memastikan legal certainty kepada para investor yang datang. Dan Kementerian BPN/ATR berhasil membuat proses sertifikasi lahan menjadi mudah, walau terjadi aksi demonstrasi dan pengadangan oleh masyarakat di lokasi pembangunan. Tampak jelas, institusi negara hanya menjadi agen investor karena posisinya lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal, tinimbang kepentingan ruang hidup masyarakat.
Kemudahan yang diberikan oleh institusi negara, bukan sesuatu yang nirkepentingan. Di balik semua kemudahan tersebut, ada ruang-ruang gelap yang mempunyai potensi untuk akumulasi kekayaan materi. Tercatat, indikasi korupsi yang menyebabkan kerugian negara sekitar sepuluh miliar rupiah ditemukan dalam proyek persemaian modern tahap II milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di kawasan Hutan Bowosie. Sesuai dengan rilis dari Kejati NTT, para tersangka merupakan ASN dan pihak swasta.
Modus operandi yang demikian, memperlihatkan pertukaran dan pertautan kepentingan antar elite bisnis dan birokrat. Hal ini pula yang menjadi dasar eksistensi dan status quo aliansi bisnis-birokrat dalam lanskap kontestasi kepentingan atas ruang. Elite bisnis dengan sumber daya ekonomi yang mencukupi, membutuhkan peran birokrat untuk melindungi dan memudahkan ekspansi serta sirkulasi kapital melalui mekanisme solusi ruang.
Baca juga:
Persis seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi, bahwa kepastian hukum atas lahan menjadi hambatan investasi. Sedangkan di sisi yang lain, birokrat membutuhkan sumber daya ekonomi dari elite bisnis untuk kebutuhan pribadi ataupun kepentingan-kepentingan politik di masa yang akan datang. Maka, Hutan Bowosie menjadi ruang yang dikondisikan dan terkomoditifikasi oleh elite birokrasi bagi sirkuit kapital elite bisnis yang berupaya meruap keuntungan dan mengatasi krisis over accumulation.
Menanti Bencana Ekologis
Komoditifikasi terhadap Hutan Bowosie menjadi kawasan wisata yang digarap oleh pihak swasta dengan difasilitasi oleh institusi negara merupakan ancaman serius bagi kelangsungan dan keseimbangan ekologis di Labuan Bajo. Hutan Bowosie merupakan penyangga ekologi kota Labuan Bajo dan wilayah sekitar, karena beberapa alasan. Pertama, Hutan Bowosie merupakan catchment area yang menjadi pemasok air bagi kebutuhan harian dan pertanian masyarakat. Alih fungsi yang terjadi dapat mengganggu keseimbangan sistem hidrologi yang ada. Kedua, mencegah erosi dan kerusakan tanah yang dapat menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor. Dan ketiga, peran Hutan Bowosie untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati.
Jika alih fungsi lahan atas Hutan Bowosie terus dibiarkan, masyarakat Labuan Bajo akan hidup berdampingan dengan bencana ekologis yang pasti terjadi kapan saja. Masyarakat adat, organisasi lingkungan, organisasi masyarakat sipil, akademisi dan institusi agama khususnya Gereja Katolik harus mampu mengkonsolidasikan diri menjadi aktor tandingan di hadapan hegemoni kepentingan aliansi bisnis-birokrat.
Komunitas masyarakat sipil harus mampu menampilkan narasi tandingan atas klaim prosedural-teknokratis dari institusi negara bahwa alih fungsi Hutan Bowosie sudah sesuai regulasi dan kajian ilmiah seperti yang sering ditampilkan media. Kelangsungan ruang hidup di Labuan Bajo yang berkelanjutan harus diperjuangkan bersama.
Editor: Prihandini N
