Hamba Allah yang ditetapkan tinggal di bumi sejak 2003 dan suka nasi goreng.

Ketika Sekolah Gagal Mendidik Kaum Muda

Femas Anggit Wahyu Nugroho

2 min read

Sepanjang perjalanan sejarah, sekolah telah memainkan peran penting dalam mendidik kaum muda. Sekolah menjadi tempat di mana orang tua mempercayakan anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan sebagai bekal hidup. Namun, dapatkah kita membayangkan, apa yang terjadi kemudian apabila ternyata sekolah justru telah gagal mendidik kaum muda?

Hal itulah yang mendasari Neil Postman, seorang pendidik Amerika, menuliskan gagasan-gagasannya dalam buku “The End of Education: Redefining the Value of School, yang pertama kali diterbitkan Vintage Books pada 1995. Di Indonesia sendiri, buku ini telah diterjemahkan oleh Siti Farida dengan judul “Matinya Pendidikan: Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah,” diterbitkan Immortal Publishing pada tahun 2019.

Penerjemahan kata “The End” sebagai “Matinya” meninggalkan kesan yang mengganjal. Sebab, sebagaimana judul lengkap buku ini, Neil Postman tidak hanya mengkritik kegagalan institusi sekolah dalam mendidik kaum muda, tetapi juga memberikan beberapa alternatif gagasan untuk “Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah”. Terdapat semacam pesimisme yang kasar, tetapi di samping itu terdapat pula optimisme yang halus.

Sebenarnya, lebih tepat untuk tetap menerjemahkan “The End” sebagai “Akhir” sehingga akan menyiratkan makna ganda yang ambigu sekaligus penting. Seperti yang dikemukakan oleh Neil Postman sendiri pada bagian pengantar, bahwa pemilihan kata “The End” memang ia sengaja untuk memberikan makna ganda, bahwa pendidikan dapat benar-benar menuju akhir (bermakna negatif), tetapi dapat pula menuju akhir (bermakna positif) apabila dilakukan perubahan yang serius pada institusi sekolah sebagai lembaga sentral dalam mendidik kaum muda.

Buku ini terdiri dari dua bagian, di mana Neil Postman menguraikan kritik dan gagasannya dalam konteks penyelenggaraan pendidikan oleh institusi sekolah di Amerika. Bagian pertama merupakan kritik Neil Postman terhadap proses pendidikan di sekolah dan gagasan alternatifnya untuk meredefinisi nilai-nilai sekolah. Bagian kedua merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai gagasan alternatif pada bagian pertama.

Baca juga:

Pada bagian pertama, Neil Postman memulai kritiknya dengan menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan terdapat masalah teknis dan metafisik. Ia mengkritik kecenderungan sekolah yang terlalu berfokus pada masalah teknis, seperti cara-cara atau metode pengajaran.

Sekolah sering kali mengesampingkan masalah metafisik yang sebenarnya lebih penting dan mendasar, yaitu tujuan mengapa pendidikan harus diselenggarakan. Uniknya, Neil Postman menyatakan pentingnya masalah metafisik ini dengan gaya bahasa metaforis.

“Supaya sekolah itu bisa mencapai kemanfaatan, maka kaum muda, para orang tua murid, dan para guru di sekolah harus memiliki satu tuhan untuk disembah, atau bahkan akan lebih baik apabila memiliki beberapa tuhan.” (hal. 3, versi terjemahan).

Apa yang dimaksud dengan tuhan (dengan t kecil) di sini adalah sebuah narasi besar yang mampu menjadi jawaban atas masalah metafisik dalam penyelenggaraan pendidikan. Neil Postman berargumen, perjalanan sejarah telah menunjukkan bahwa masyarakat digerakkan oleh kehadiran narasi besar, misalnya Komunisme, Nazisme, dan Fasisme. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran narasi sangatlah penting, termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan.

Tanpa sebuah narasi, hidup tidak akan bermakna. Tanpa makna, belajar itu tidak akan memiliki tujuan. Tanpa sebuah tujuan, sekolah-sekolah adalah rumah-rumah tahanan, bukan sebuah rumah yang memberikan perhatian.” (hal. 9, versi terjemahan).

Dalam hal kehadiran narasi besar dalam pendidikan, Neil Postman mengkritik beberapa narasi besar yang ia anggap telah gagal. Narasi-narasi besar ini meliputi narasi mengenai: 1) Kemanfaatan ekonomi, 2) Konsumerisme, 3) Teknologi, dan 4) Sukuisme (baca: lokalitas) yang bermotif Separatisme. Kritik terhadap sejumlah narasi ini disertai beberapa argumen, yang pada intinya dapat dikatakan bahwa narasi-narasi tersebut dianggap gagal karena mereduksi makna pendidikan, serta tidak terlalu kuat dan universal untuk menjadi dasar metafisik penyelenggaraan pendidikan.

Sebagai alternatif, pada bagian kedua Neil Postman menjabarkan beberapa narasi besar yang ia anggap kuat dan universal. Ia juga membahasakannya secara metaforis. Narasi-narasi yang ia usulkan yaitu: 1) Planet Bumi sebagai Kendaraan Ruang Angkasa, 2) Malaikat yang Terjatuh, 3) Pengalaman Orang-Orang Amerika, 4) Hukum tentang Keanekaragaman, dan 5) Penjalin Kata-Kata/Pencipta Dunia.

Apa yang Neil Postman maksud “Planet Bumi sebagai Kendaraan Ruang Angkasa” adalah narasi bahwa pendidikan harus membentuk kesadaran dan kepedulian terhadap bumi tempat kita tinggal. “Malaikat yang Terjatuh,” menekankan bahwa kita sebagai manusia sudah pasti bisa salah, sehingga pendidikan harus memberi ruang untuk terus mencoba, berbuat kesalahan, lalu memperbaikinya.

Baca juga:

“Pengalaman Orang-Orang Amerika,” didasarkan atas perjalanan sejarah bangsa Amerika yang melahirkan pertanyaan secara terus-menerus terhadap berbagai persoalan. Oleh karena itu, pendidikan harus mampu mendorong manusia untuk bertanya dan mempersoalkan hal-hal di sekitarnya secara kritis.

Adapun “Hukum tentang Keanekaragaman” menekankan bahwa pendidikan harus membentuk kesadaran dan toleransi terhadap perbedaan, terutama pada bahasa, agama, adat istiadat, dan kesenian/kebudayaan. Sementara itu, “Penjalin Kata-Kata/Pencipta Dunia”, menekankan bahwa pendidikan harus bertujuan membentuk kesadaran terhadap peran bahasa dalam mengonstruksi makna dan realitas.

Secara garis besar, buku ini berbobot untuk dijadikan bahan bacaan bagi siapa pun yang berkutat di bidang pendidikan. Gagasan-gagasan yang ditawarkan Neil Postman sangat menarik dan provokatif. Terlebih lagi apabila kita melihat konteks di Indonesia, permasalahan yang serupa juga terjadi yaitu krisis narasi yang mendasari penyelenggaraan pendidikan.

Pendidikan kita seolah tanpa arah. Perubahan kebijakan hanya berkutat pada hal-hal teknis seperti kurikulum, metode pengajaran, administrasi, dan pemanfaatan teknologi yang seolah progresif. Namun, dunia pendidikan kita tampak tetap stagnan dan tidak merubah kondisi apa pun. Kemiskinan, kriminalitas, dan korupsi masih bukan main banyaknya. Apakah justru sekolah-sekolah kita memang telah gagal dan dunia pendidikan kita akan segera mencapai akhirnya?

 

 

Editor: Prihandini N

Femas Anggit Wahyu Nugroho
Femas Anggit Wahyu Nugroho Hamba Allah yang ditetapkan tinggal di bumi sejak 2003 dan suka nasi goreng.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email