Manusia yang kadang lupa bahwa dia adalah manusia.

Ketika Jalan Umum Disulap jadi Tenda Hajatan

Aditya Rekhi Salim

4 min read

Kapan hari lalu, saya hendak berangkat ke kampus pada Sabtu malam untuk menyaksikan pentas seni yang diselenggarakan oleh Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang. Jarak antara kos dengan kampus sekitar 3 km dengan waktu tempuh 8 menit jika menggunakan sepeda motor. Di tengah perjalanan—saat hendak memasuki jalan Surabaya—terlihat ada tiga orang satpam dengan palang di sampingnya bertuliskan ”Jalan Ditutup, Ada Hajatan”. Saya pun mencoba mencari jalan alternatif melalui Jalan Jombang 1A, tetapi ternyata ditutup juga. Dalam hati, saya sudah memaki habis-habisan pelaku penutupan jalan tersebut. Dan akhirnya saya menyerah—terpaksa memutar arah lebih jauh hampir satu kilometer demi bisa sampai ke kampus.

Sebenarnya, ini bukan peristiwa langka. Di banyak kota dan desa, pemandangan semacam itu sudah menjadi rutinitas tiap musim kawin. “Maklum, namanya juga hajatan,” begitu biasanya orang berkilah. Tapi kata “maklum” yang diulang-ulang itu justru berbahaya. Ia seakan menormalisasi pelanggaran ruang publik, menutupi egoisme di balik dalih tradisi, dan perlahan mengikis batas antara hak pribadi dan hak bersama. Jika kita bertanya apakah sebelum mengajukan penutupan jalan untuk pesta pribadi mereka tidak mempertimbangkan masyarakat di sekitarnya, pasti jawabannya “Iya”. “Iya gimana lagi?“.

Hukum yang Sah, Tapi Tidak Secara Etika

Kita sering menganggap menutup jalan untuk hajatan sebagai urusan etika sosial, padahal secara hukum, itu adalah pelanggaran. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan Pasal 12 ayat (1) dengan tegas menyebutkan, “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan.” Menutup total jalan demi kepentingan pribadi jelas mengganggu fungsi utama jalan sebagai sarana mobilitas publik.

Baca juga:

Namun, praktik penggunaan jalan untuk acara pribadi memang diatur lebih spesifik dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 (Perkapolri 10/2012). Menurut Pasal 1 poin 9 Perkapolri tersebut, penggunaan jalan di luar fungsi lalu lintas mencakup kegiatan yang menggunakan sebagian atau seluruh ruas jalan untuk tujuan lain, termasuk pesta pernikahan. Bahkan Pasal 16 ayat (2) menyebut secara eksplisit bahwa penggunaan jalan untuk kepentingan pribadi meliputi pesta pernikahan, kematian, atau kegiatan serupa lainnya.

Jalan yang boleh digunakan pun tidak sembarangan. Berdasarkan Pasal 127 ayat (3) UU LLAJ dan Pasal 15 ayat (2) Perkapolri 10/2012, hanya jalan kabupaten, jalan kota, atau jalan desa yang bisa dipakai untuk kepentingan pribadi, bukan jalan nasional atau provinsi. Selain itu, penutupan jalan hanya dapat diizinkan jika tersedia jalan alternatif yang layak (Pasal 128 ayat (1) UU LLAJ) dan harus dilengkapi rambu lalu lintas sementara sebagai tanda pengalihan (Pasal 128 ayat (2) UU LLAJ).

Artinya, negara sebenarnya sudah mengatur mekanisme “boleh tapi bersyarat.” Secara hukum, penggunaan jalan untuk kepentingan pribadi bisa diizinkan oleh kepolisian selama syarat-syaratnya terpenuhi, yaitu ada jalan alternatif, rambu pengalihan, dan tidak menimbulkan gangguan besar bagi masyarakat. Di atas kertas, memang, aturan ini terlihat adil dan rasional.

Namun, persoalannya justru muncul pada level moral dan etika sosial. Jalan alternatif yang disyaratkan sering kali tidak benar-benar “alternatif.” Warga harus memutar jauh, menghadapi kemacetan baru di gang sempit, atau bahkan kehilangan akses ke rumah dan tempat usaha mereka. Pelaku UMKM di sepanjang jalan yang ditutup juga ikut merugi karena sepi pembeli, distribusi terhambat, dan aktivitas harian lumpuh untuk beberapa hari hanya demi satu pesta.

Di sinilah letak ironi kebijakan “izin resmi” itu. Sesuatu yang legal belum tentu etis. Ketika izin diberikan tanpa mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi di sekitar lokasi, hukum justru kehilangan ruhnya sebagai pelindung kepentingan publik. Hukum sudah memberi ruang, tapi shohibul hajat seharusnya punya nalar etis untuk bertanya pada diri sendiri, apakah tindakan ini mengganggu orang lain?

Masalahnya bukan pada siapa yang memberi izin, tapi pada bagaimana izin itu dipahami. Jika aparat memandang izin hanya sebagai urusan administrasi, bukan pertimbangan moral dan sosial, maka hukum tak ubahnya stempel yang melegalkan ketidakpekaan

Antara Tenda dan Nyawa: Perihal Kemanusiaan

Bayangkan jika yang terjebak di belakang tenda hajatan itu bukan saya, tapi ambulans yang membawa pasien serangan jantung. Atau mobil pemadam kebakaran yang sedang berpacu menyelamatkan rumah. Kasus semacam ini bukan fiksi, media sudah berkali-kali memberitakannya.

Pada 2022, di Purwokerto, laju ambulans terhambat oleh tenda hajatan yang menutup akses jalan. Di Trenggalek, pada 2024, mobil pemadam kebakaran juga sempat kesulitan mencapai lokasi kebakaran karena jalan tertutup kursi dan tenda pesta. Beruntung, acara sudah usai sehingga warga dapat segera menyingkirkan peralatan dan memberi jalan.

Sementara itu, pada Oktober 2025, Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menyoroti kembali maraknya tenda hajatan yang menutup akses jalan hingga menghambat pergerakan ambulans dan menyebabkan pasien terlambat ditangani. Ia bahkan menegur aparat yang memberikan izin tanpa batasan teknis yang jelas, serta berencana berkoordinasi dengan Kapolrestabes dan Kasatlantas Surabaya agar setiap izin mencantumkan ketentuan tegas, termasuk ukuran maksimal tenda.

Baca juga:

Masalah seperti ini memperlihatkan betapa tipisnya garis antara “perayaan kebahagiaan” dan “kelalaian kemanusiaan.” Di satu sisi, hajatan adalah momen sakral bagi keluarga, tapi di sisi lain, memblokade jalan berarti menafikan hak hidup dan mobilitas orang lain. Kita terlalu sering membenarkan tindakan yang salah karena alasan sosial, hingga lupa bahwa empati seharusnya tidak berhenti di batas undangan pesta.

Tradisi atau Alibi?

Setiap kali isu ini mencuat, dua pembelaan klasik muncul. Pertama, “Sewa gedung itu mahal!” Alasan ini valid secara ekonomi, tapi cacat secara moral. Kesulitan finansial bukanlah pembenaran untuk “menyewa” fasilitas publik tanpa izin yang benar atau mempertimbangkan hak orang lain. Menutup jalan berarti mentransfer beban pribadi kepada banyak pihak, mulai dari pengguna jalan yang kehilangan waktu dan bensin, hingga pedagang kecil di sekitar lokasi yang kehilangan pelanggan karena aksesnya terputus. Dalam konteks keadilan sosial, ini bukan lagi sekadar soal pesta, melainkan soal siapa yang berhak menikmati ruang publik dan siapa yang harus mengalah.

Kedua, “Ini ‘kan tradisi, cuma sekali seumur hidup!” Betul, mungkin hanya sekali atau dua kali bagi satu keluarga. Tapi bagaimana dengan tetangga lain yang harus menghadapi blokade serupa tiap minggu? Tradisi yang baik adalah tradisi yang menjaga harmoni sosial, bukan yang merampas kenyamanan komunal. Ironisnya, gotong royong yang dulu menjadi inti hajatan, kini berubah bentuk menjadi “gotong sabar” karena warga sekitar yang terpaksa bersabar atas ketidaknyamanan orang lain.

Ketiga, “Kan sudah ada perizinan dari kepolisian!”. Tidak salah memang, tapi argumen ini juga tidak otomatis meniadakan masalah. Izin hukum bukan jaminan bahwa tindakan tersebut etis. Ketika izin diberikan tanpa pengawasan teknis yang memadai—tanpa memastikan lebar jalan yang tersisa, jalur alternatif, atau dampak terhadap ekonomi sekitar—maka izin itu kehilangan maknanya. Ia berubah menjadi sekadar cap legalitas yang melegitimasi egoisme sosial. Di sinilah seharusnya masyarakat dan aparat belajar membedakan antara “boleh secara hukum” dan “layak secara moral.”

Refleksi: Menata Bahagia dan Menjaga Ruang Bersama

Solusi dari persoalan ini bukan pelarangan total, melainkan penataan yang tegas dan beradab. Pemerintah daerah bisa membuat aturan turunan yang mengatur batas penggunaan jalan untuk acara pribadi. Misalnya, hanya separuh badan jalan yang boleh digunakan, dengan memastikan akses kendaraan darurat tetap terbuka.

Selain itu, aparat kelurahan dan kepolisian tidak boleh sekadar menjadi “pemberi stempel” dalam proses perizinan. Izin bukan hanya tanda tangan administratif, melainkan bentuk tanggung jawab hukum dan sosial. Karena itu, verifikasi lapangan sebelum izin diterbitkan menjadi hal wajib. Petugas harus memastikan kondisi lingkungan, lebar jalan, jalur alternatif, hingga dampak terhadap aktivitas ekonomi di sekitar lokasi.

Di sisi lain, pemerintah kota dan desa perlu menghidupkan kembali fungsi ruang publik seperti balai warga, aula RW, atau GOR sebagai tempat yang layak dan terjangkau untuk pesta masyarakat. Sayangnya, di banyak daerah, ruang-ruang ini justru terbengkalai atau tidak lagi dianggap “prestisius”. Di sinilah muncul persoalan baru: gengsi. Karena bagi sebagian orang, tenda megah di pinggir jalan dianggap simbol keberhasilan dan eksistensi sosial, sebuah panggung mini untuk menunjukkan diri kepada lingkungan. Padahal, kebahagiaan sejati tidak pernah bergantung pada seberapa megah pesta atau di mana ia digelar. Gengsi hanyalah bayangan semu yang kerap membuat seseorang rela mengorbankan kenyamanan orang lain demi pengakuan sesaat.

Karena sejatinya, kebahagiaan yang sejati tidak lahir dari menguasai ruang publik, tetapi dari menghormati hak bersama. Jalan adalah milik semua orang, merayakan kebahagiaan adalah milik masing-masing. Yang satu butuh aturan, yang lain butuh kesadaran. Dan ketika keduanya bertemu, kita bisa punya masyarakat yang bukan hanya bahagia, tapi juga beradab. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Aditya Rekhi Salim
Aditya Rekhi Salim Manusia yang kadang lupa bahwa dia adalah manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email