Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus
– Amir Hamzah
Ada satu momen ketika hari masih setengah jadi — saat kelelawar malam dan hewan nokturnal memejamkan mata di ambang hari dan mata kecil terbuka dari lelapnya burung-burung pagi. Momen ketika — gerbang menuju hari yang baru dan sebuah cerita dimulai oleh jeda. Dalam film sineas asal Prancis, Eric Rohmer — berjudul 4 aventures de Reinette et Mirabelle, momen ini disebut sebagai ‘blue hour (L’Heure Bleue)’.
Dalam film lain, seingat saya berjudul Distance karya sineas asal Jepang, Hirokazu Koreeda — menyebutnya ‘silent blue’. Secara sederhana – ini adalah momen hening dari pergantian hari. Ketika kehidupan malam mengalami transisi dan cahaya mulai merobek kegelapan dengan nilakandi langit yang serupa gelombang laut. Keheningan menggema di kolong langit.
Momen ini begitu indah dideskripsikan oleh Reinette, tokoh dalam film Rohmer itu – yang berkata: “The day birds aren’t up yet, and the night birds are already asleep. Then… there’s real silence”. Blue hour sejatinya bukanlah waktu hitungan “jam”, ia hanya beberapa menit — sekelebat sebelum akhirnya sinar mentari mulai menyobek-nyobek langit subuh. Ketika malam mulai padam dan berganti hari baru yang lahir — menghasilkan biru langit yang indah – diiringi keheningan sejati.
Keheningan dari alam raya – tidak ada suara-suara bising kendaraan, mesin yang menyala, pekerjaan tukang, atau orang-orang bergosip. Langit di momen itu — setidaknya hanya berisi suara dari hewan malam yang kenyang berburu dan bergegas pulang atau ciak ayam yang terbangun dari mimpi semalam. Sebelum suara adzan subuh berkumandang — keheningan begitu melesak memenuhi awang-awang langit, dan pada momen inilah — kita, manusia dan alam berjeda. Pada momen hening yang singgah sejenak sebelum hari dimulai dengan riuh dan rusuh.
Saya pernah punya pengalaman ketika tidur sama dengan undangan untuk mimpi buruk. Ketika memejamkan mata di malam hari sama sulitnya dengan menerjemahkan puisi Rumi. Saya pernah sering terjaga semalaman – ketika pergi terlelap sama dengan apa yang Baudelaire tuliskan: “Tout plein de vague horreur” – penuh dengan kengerian yang tersembunyi. Namun betapun saya benci terjaga – selalu ada ketenangan pada momen hening ketika jam mulai mengundang subuh. Momen blue hour – yang baru saya ketahui namanya setalah menonton film Rohmer tersebut. Momen yang ternyata pernah saya lewati dengan sepi dan kontemplasi. Tidak hanya alam yang ikut menghening — saya juga menikmatinya, merasa bagian dari kesunyian alam. Ada ketakutan dan resah yang diusir perlahan.
Baca juga: Abbas Kiarostami dan Kemungkinan-Kemungkinan
Keheningan sejatinya begitu agung dan misterius. Saya tentu terpikat ketika Isabel Allende dalam novelnya The House of the Spirits – begitu menjadikan hening sebagai tameng dan kekuatan. Tokoh-tokoh dalam novel tersebut sungguh paham bahwa hening sejatinya adalah laku bagi tubuh dan pikiran menyusun makna. Nama-nama mereka – Claire (cahaya), Blanca (Putih), Alba (Subuh), bagi saya adalah representasi yang dilahirkan oleh kefasihan pada hening. Sebuah energi dari kekuatan yang tak terkata – The Eloquence of Silence. Melalui keheningan yang ditempa – Claire, Blanca, maupun Alba, ketiga tokoh wanita pada novel ini adalah ‘blue hour’ yang melahirkan cahaya pagi dan membangunkan suara kehidupan.
Saya jadi teringat dengan Wittgenstein ketika ia menuliskan pendahuluan pada karya besarnya – Tractatus Logico-Philosophicus, yang mengatakan: “what can be said at all can be said clearly, and what we cannot talk about we must pass over in silence”. Ia memahami bahwa ada kata-kata yang begitu terbatas di lautan semesta, sedangkan makna – begitu banyak tersimpan dari suara-suara dan bahasa yang tak mampu ditangkap indra.
Hening adalah apa yang melampaui batas tersebut – sub specie aeterni: apa-apa yang tak tertulis, tak terkata, tak berbahasa, namun ia Ada. Blue hour’saya yakin adalah momen tersebut – ketika bahasa-bahasa diganti senyap dan kita mulai terhubung dengan apa-apa yang di luar batas lahiriah.
Seperti tokoh biarawan tua Tzinacán pada cerita Borges (La escritura del Dios) yang memilih menelan kekuatan ilahi pada keheningan – agar apa-apa yang tak berbahasa, tak terkata, dan tak termakna, tetap menjadi misteri yang perlu digali bukan sekedar hasrat menggapai kekuatan untuk membangun tirani. Hening yang tepat adalah kesabaran dalam menikmati jeda dan proses transisi. Ketika gelap begitu rela dikelupasi oleh pisau cahaya – di sanalah pelajaran sesungguhnya berada. Seperti kalimat lain dari Reinette dalam film Rohmer, yang mengatakan:
“Whatever happens, you can’t stop the sun from rising. That’s the finest lesson in humility you can get”
Saya mungkin tak mengerti sunyi yang lampus pada sajak Amir Hamzah di awal tulisan – namun pada akhirnya itu bukan lagi masalah. Sunyi atau hening memang selalu menyimpan misteri yang tak selalu bisa terdefinisi kata dan bahasa. Selayaknya blue hour yang menenangkan, ketika hening dan remang tidak lagi kita pandang begitu obskur dan menakutkan – makna terlahir dari langit sunyi dengan cahaya meremang. Memang perlu perlahan, perlu ketenangan, perlu waktu untuk sedikit berdiam dan tak banyak memikirkan labirin konsep kehidupan. Biarkan hening melahirkan sendiri kefasihannya – dan kita mampu tersenyum pada hari yang dimulai oleh nyanyi burung – mewakilkan doa dan harapan di awal hari.