Pekerja media yang gemar isu-isu kebudayaan dan humaniora. Kadang-kadang menulis, seringnya membaca.

Abbas Kiarostami dan Kemungkinan-Kemungkinan

Mochammad Fajar Nur

2 min read

Pada suatu titik kehidupan — hidup akan menolak untuk kompromi. Ketika eksistensi terpaksa berdiri di jurang keberadaannya dan kita gamang ke mana harus melangkah. Jalan yang sering kali terpikirkan adalah bahwa penderitaan selesai ketika sumber rasa sakit itu kita cabut; kehidupan. Begitu mungkin yang ada dalam pikiran Mr. Badi dalam film Taste of Cherry. ⠀

Ia pun mengatakan: “Bukankah hidup yang penuh penderitaan dan menyusahkan banyak orang juga sebuah dosa?” Walau kita tahu pernyataan itu bukan sesuatu yang jernih dan mendalam — suara itu lahir dari rasa sakit dan kekecewaan.

Sejenak saya jadi teringat Schopenhauer pernah berbacara soal bunuh diri dalam The World as Will and Idea. Ia berpendapat penderitaan manusia lahir sebab kita memiliki banyak kehendak. Ketika kehendak ini menumpuk dan tak terwujud, di situ kita bertemu derita.⠀

Baca juga: Kehendak adalah Derita

Menariknya — Schopenhauer menganggap mengakhiri kehidupan dengan paksa adalah suatu jebakan kehendak lain. Saat manusia berpikir dengan mengakhiri hidupnya ia lepas dari derita — sesungguhnya ia sedang mengejar derita yang lainnya. Suatu lubang hasrat yang lain.⠀

Maka Schopenhauer menyatakan betapa tidak solutifnya bunuh diri. Ia membunuh moral tertinggi manusia — membunuh kesempatan manusia untuk mencapai skenario lain dari hidupnya. Kematian normal adalah yang terbaik menurutnya — ia bebas dari kehendak dan kita tak perlu berhasrat, sebab cepat atau lambat ia datang menghampiri kita semua.⠀

Kembali ke Mr. Badi, kita tak pernah tau kehendak dan hasrat apa yang membuatnya berakhir menderita. Satu hal yang pasti adalah ia tak percaya kehidupan — dan hal ini terkadang membutuhkan orang lain untuk mengarahkan derita ke arah yang berbeda — pengertian dan penerimaan.⠀

Di situlah ia bertemu seorang pria tua yang bercerita pernah ada dalam fase yang sama dengan hidupnya. Ia pernah terjebak kehendak dan hasrat untuk mengakhiri hidup — namun kehendak lain muncul. Lebih jernih dan meredam penderitaan. Kehendak yang justru datang ketika ia memutuskan mengakhiri hidup — yakni kehendak menerima ketidaksempurnaan hidup.⠀

Kehendak itu adalah harapan untuk terus menikmati hidup — bahkan ketika hidup tidak pernah sempurna dan sesuai hasrat. Pak Tua itu menyadari ketika akhirnya — matahari terbit atau sekadar sebuah ceri yang manis perlu kita nikmati dan syukuri. Hidup memang penuh derita namun hal manis dan indah juga ada di dalamnya. Keindahan itu yang perlu kita hasrati dan temukan. Belajar menerima ketidaksempurnaan hidup adalah langkah awal menemukan keindahannya.⠀

Baca juga: Kita Semua Gila dengan Cara Masing-Masing

Begitu pun Schopenhauer; ia tak menolak kehendak. Ia menyarankan meredamnya dengan mengontrol egoisme. Mencoba melihat eksistensi lain bahwa kita tak pernah tunggal di alam raya — ada yang lain dan terkadang terlewat indahnya. Kehendak bisa diredam dengan menekan sikap individuasi — atau diarahkan menuju sikap menerima yang lain, yang tak sempurna — kehidupan itu sendiri.

Abbas Kiarostami lewat Taste of Cherry ingin mengajak kita merenungi dan menikmati dunia sebagai sesuatu yang ‘mungkin’ — bukan kaku dan cuma berisi yang pasti. Kemungkinan dalam hidup menjadi seperti harapan untuk melihat hidup dengan dua sisi. Bahwa kehidupan tak selalu gelap dan kemungkinan terang bisa terjadi kapan saja. Begitu pun ia tak mesti terang setiap waktu, akan ada gelap tempat manusia untuk berjuang dan menunggu cahaya baru.

Soal yang ‘mungkin’ dalam hidup, saya jadi teringat perkataan Mr. Ernest, tokoh dalam cerpen William Faulkner berjudul Race at Morning: “the best word in our language, the best of all. That’s what mandkind keeps going on: maybe.”

Baca juga: Kebenaran dan Keraguan dalam Fiksi Jepang

Pada akhirnya kita tahu Mr. Badi tergerak dengan cerita Pak Tua tersebut. Ia memandang burung terbang petang itu dan menikmati matahari terbenam dengan tenang. Di akhir film kita tak pernah tau apakah ia tetap berakhir mewujudkan kehendaknya untuk mengakhiri hidup atau justru berubah menuju hasrat yang lain — menerimanya walaupun penuh cacat dan tak sempurna.⠀

Di ujung film, Ia tetap berakhir berbaring di lubang yang ia persiapkan untuk mengakhiri hidup. Memandang langit dan hembusan angin malam di tengah kesunyian — namun kita tau satu hal yang pasti, ia memandang hidup dan penderitaan dengan cara yang berbeda.⠀

Mungkin lebih murni — atau mulai mendalam. Mungkin.

Mochammad Fajar Nur
Mochammad Fajar Nur Pekerja media yang gemar isu-isu kebudayaan dan humaniora. Kadang-kadang menulis, seringnya membaca.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email