Idul Adha: Refleksi sebuah Pengorbanan dan Kemanusiaan

Abdur Rahmad

4 min read

Idul Adha selalu datang dengan gegap gempita. Gema takbir bersahutan dari masjid ke masjid, langit seakan bergetar oleh lantunan yang tak hanya merdu, tapi juga sakral. Aroma daging kurban menguar dari tiap sudut kampung dan kota, membawa nuansa kebersamaan yang sulit tergantikan. Tapi jauh lebih dalam dari sekadar ritual penyembelihan hewan, Idul Adha adalah tentang hati. Ia adalah panggung besar tempat manusia diuji bukan hanya oleh pisau dan darah, melainkan oleh keikhlasan dan kepercayaan yang sering kali tak terlihat namun begitu berat dirasakan.

Setiap tahun, jutaan Muslim di seluruh dunia menyembelih kambing, sapi, atau domba sebagai bentuk kepatuhan pada perintah Tuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS. Tapi pertanyaannya: apakah hanya itu inti dari Idul Adha? Apakah pengorbanan hanya soal hewan yang disembelih? Atau ada pelajaran besar yang selama ini mungkin kita abaikan karena sibuk pada kulit luar seremoni?

Seorang penulis pernah menuliskan, “Setiap kita adalah Ibrahim. Ibrahim punya ‘Ismail!’ Ismailmu mungkin hartamu. Ismailmu mungkin jabatanmu. Ismailmu mungkin gelarmu. Ismailmu mungkin egomu. Ismailmu adalah sesuatu yang kau sayangi dan kau pertahankan di dunia ini. Ibrahim tidak diperintah Allah untuk membunuh Ismail. Ibrahim hanya diminta Allah untuk membunuh rasa ‘kepemilikan’ terhadap Ismail karena hakikatnya semua adalah milik Allah. Idul Adha adalah tentang percaya dan ikhlas, dua hal yang sungguh berat.”

Kutipan ini menggedor batin kita. Sering kali kita mengira bahwa Ismail hanya berarti anak, atau semata objek fisik yang terlihat. Padahal “Ismail” bisa saja berbentuk ambisi karier yang kita pertahankan mati-matian, pasangan yang kita genggam erat meski seringkali membuat lelah, nama baik yang kita perjuangkan seolah hidup mati kita tergantung padanya, atau bahkan status sosial yang membuat kita sulit bersikap jujur dan rendah hati. Kita semua memiliki “Ismail” kita masing-masing—sesuatu yang sangat kita cintai, yang kita anggap milik kita sepenuhnya, padahal sejatinya hanyalah titipan.

Baca juga: 

Idul Adha bukan sekadar memperingati pengorbanan Nabi Ibrahim yang bersedia menyembelih anaknya karena perintah Allah. Hari itu adalah pelajaran luar biasa tentang apa arti melepaskan. Satu hari yang bukan hanya diwarnai oleh gema takbir dan aroma daging kurban, tapi juga oleh gema pelajaran yang nyaris tak terjamah jika hanya dilihat dari permukaannya. Hari ini bukan hanya tentang menyembelih hewan ternak, melainkan tentang menyembelih rasa memiliki yang begitu kita genggam erat. Karena pada hakikatnya, bukan Ismail yang diminta oleh Tuhan untuk dikorbankan, melainkan perasaan “ini milikku” yang tumbuh subur dalam hati seorang ayah bernama Ibrahim.

Tuhan tidak sedang meminta darah. Dia sedang menguji cinta. Sejauh mana kita mencintai sesuatu, dan apakah kita siap untuk melepaskannya jika ternyata Tuhan meminta. Apakah kita masih bisa berkata, “Ya Tuhan, jika ini bukan untukku, ajarkan aku ikhlas.” Karena sejatinya, true love to God doesn’t shout, it surrenders. Cinta sejati kepada Tuhan tidak berteriak lantang; ia diam dalam kepasrahan. Seperti Ibrahim, yang tanpa banyak tanya, bersedia menyerahkan segalanya. Ia tidak bertanya “kenapa harus anakku?”, karena ia tahu bahwa cinta sejati adalah tunduk dan percaya, bahkan ketika logika manusia tidak mampu memahami.

Di sinilah letak keindahan yang sering kali luput kita sadari. Bahwa Idul Adha adalah tentang keikhlasan yang tidak berbunyi, tentang ketundukan yang tidak menuntut penjelasan, tentang iman yang tidak butuh pemahaman rasional. Ketika Ibrahim mengangkat pisau untuk menyembelih anaknya, ia tidak sedang membunuh darah dagingnya sendiri, tetapi sedang membunuh egonya, kepemilikannya, keterikatan pada dunia yang sementara.

Baca juga:

Dan Tuhan? Tuhan menggantinya dengan domba. Bukan karena Tuhan ingin dagingnya, tetapi karena Tuhan ingin melihat seberapa jauh hati kita mampu percaya. Bahwa Ia tidak akan mengambil sesuatu tanpa alasan. Sometimes God delays, sometimes He replaces, but He never takes without purpose.

Idul Adha mengajarkan bahwa letting go bukanlah kelemahan. Justru dalam kelegaan melepaskan itulah, kita menemukan Tuhan hadir lebih dekat dari sebelumnya. Dalam keikhlasan, kita tidak kehilangan, kita justru kembali pada sumber segalanya. Karena milik siapa pun tidak ada, kecuali milik-Nya.

Dan jika saat ini kamu sedang diuji dengan sesuatu yang kamu cintai—pekerjaan, hubungan, keluarga, bahkan hidupmu sendiri—maka tenanglah. Tuhan tidak sedang menjauh. Ia sedang mendekat. Ia tidak sedang menghukum. Ia sedang mengajarkan. Bahwa bahagia bukanlah tentang memiliki segalanya, tetapi tentang tahu apa yang memang harus dilepaskan. And in the letting go, we find Him closer than ever.

Idul Adha juga memberi kita ruang untuk bertanya lebih dalam: sudahkah kita belajar untuk memanusiakan manusia? Dalam masyarakat yang makin individualis, kadang-kadang kita lebih mudah berkurban kambing daripada mengulurkan tangan kepada sesama. Lebih ringan membeli seekor sapi daripada memaafkan orang yang menyakiti kita. Padahal kurban bukan hanya tentang binatang ternak, tapi juga tentang hati yang rela menolong, memahami, memaafkan, dan memanusiakan manusia lain.

Qurban sejati bukan hanya tentang daging. Ia tentang empati. Tentang memberi tanpa berharap kembali. Tentang melihat orang lain dengan mata kasih, bukan dengan penilaian. Karena sejatinya manusia tidak hanya membutuhkan makanan, tapi juga kehangatan jiwa, pengertian, dan perlakuan yang manusiawi. Maka Idul Adha bisa menjadi momen untuk merefleksikan diri: sudahkah kita memperlakukan orang di sekitar kita sebagai manusia seutuhnya?

Sungguh menyedihkan ketika Idul Adha hanya menjadi ajang berlomba menyembelih hewan, sementara hubungan antar manusia hancur karena ego dan amarah. Betapa sia-sianya darah yang mengalir jika tidak dibarengi dengan hati yang lembut. Maka mari kita bertanya pada diri sendiri: sudahkah kita berkurban dengan hati? Sudahkah kita mengikhlaskan luka masa lalu? Sudahkah kita belajar melihat saudara kita bukan sebagai saingan, tapi sebagai bagian dari diri kita sendiri?

Kurban juga bisa berarti menahan diri untuk tidak membalas dendam. Menahan lisan dari kata-kata tajam. Melepas rasa benci yang sudah lama bersarang. Menyisihkan waktu untuk hadir bagi mereka yang terpinggirkan. Mendoakan mereka yang bahkan tidak mendoakan kita. Itu semua adalah bentuk kurban yang tak kalah mulia dari menyembelih hewan ternak.

Terkadang, kita lupa bahwa pengorbanan bukan hanya untuk Allah, tetapi juga untuk sesama manusia. Bahkan, salah satu bentuk tertinggi dari cinta kepada Tuhan adalah bagaimana kita memperlakukan ciptaan-Nya. Maka, jika kita ingin benar-benar menjalankan makna Idul Adha, kita tidak bisa hanya berhenti pada ritual. Kita harus melangkah lebih jauh, menyentuh hati, menyembelih ego, dan menyiram kasih sayang pada mereka yang membutuhkan.

Pertanyaannya kini adalah: Apa yang sedang kamu genggam hari ini? Yang kamu peluk erat karena kamu pikir itu milikmu sepenuhnya? Mungkin itu ambisi, mungkin itu pasangan, mungkin itu kehormatan, atau mungkin itu rasa sakit yang tidak ingin kamu lepaskan. Tapi semua itu, jika bukan karena Tuhan, tidak akan pernah jadi milikmu. Maka jika suatu hari Tuhan memintamu untuk melepaskannya, percayalah bahwa Dia sedang menyiapkan yang lebih baik. Atau sedang mengajarkan hatimu untuk percaya lebih dalam.

“If God asked you to give up what you love the most, would you trust that He has something better waiting?” Pertanyaan ini tidak dijawab oleh mulut, tapi oleh keikhlasan dalam hati. Oleh keputusan untuk tetap bersujud, bahkan ketika dunia terasa gelap. Oleh kemampuan untuk berkata, “Ya Tuhan, aku tidak mengerti, tapi aku percaya.”

Pada akhirnya, Idul Adha adalah momen untuk mendekat. Bukan pada dunia, tapi pada Tuhan. Bukan pada keinginan, tapi pada keikhlasan. Bukan pada ego, tapi pada makna. Ia adalah titik balik untuk melihat ulang apa yang kita cintai, dan menguji apakah cinta itu membawa kita lebih dekat atau justru menjauh dari-Nya.

Maka mari kita rayakan Idul Adha bukan hanya dengan daging dan pesta. Tapi dengan hati yang jernih, jiwa yang tenang, dan tindakan yang penuh cinta. Mari kita belajar dari Ibrahim—bukan hanya tentang keberanian, tetapi tentang cinta yang tidak menuntut balasan. Cinta yang siap melepaskan demi kedekatan dengan Tuhan.

Karena pada akhirnya, Idul Adha bukan tentang apa yang kita korbankan, tapi tentang siapa kita setelah pengorbanan itu. Manusia yang lebih rendah hati, lebih memahami sesama, dan lebih siap untuk berkata, “Ya Tuhan, semua ini milik-Mu. Maka ajarkan aku untuk tidak terlalu menggenggam apa pun selain Engkau.” (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Abdur Rahmad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email