Empirical? Nah, vibes only.

Global Citizenship atau Sekadar Rebranding Izin Tinggal?

Adrian Janitra Putra

3 min read

Pemerintah memperkenalkan sebuah kebijakan baru dengan nama yang terdengar megah: Global Citizenship of Indonesia (GCI). Dalam siaran resminya, GCI digambarkan sebagai terobosan untuk menjawab problem lama yang tak kunjung beres: isu kewarganegaraan ganda, mobilitas diaspora, serta ribuan orang Indonesia yang kehilangan status kewarganegaraannya karena aturan yang kaku.

Skema ini menjanjikan izin tinggal tetap tanpa batas waktu bagi eks-WNI, keturunan sampai derajat kedua, dan anak hasil perkawinan campuran—mengizinkan mereka tinggal dan bekerja di Indonesia tanpa harus melepaskan paspor asing.

Pada permukaan, ini kelihatan modern: Indonesia seolah merangkul dinamika global, diaspora, dan identitas transnasional. Namun seperti banyak kebijakan berslogan internasional yang lahir dari birokrasi kita, GCI lebih banyak menjual citra ketimbang menyentuh akar persoalan.

Kebijakan ini disebut citizenship, tetapi tidak memberi kewarganegaraan. Ia dijual sebagai inklusi diaspora, tetapi tidak memberi hak politik. Ia dipromosikan sebagai solusi permanen, padahal baru hadir sebagai kosmetik administratif yang menghindari perdebatan yang sesungguhnya: apakah Indonesia siap mengakui realitas bahwa identitas banyak warganya kini ganda?

Citizenship yang tak menyentuh politik

GCI, jika dilihat dari strukturnya, lebih mirip izin tinggal permanen yang dikemas ulang dengan nama yang ambisius. Pemegang skema ini tetap warga negara asing; mereka hanya mendapat akses tinggal dan bekerja tanpa batas waktu. Tidak ada hak pilih, tidak ada pengakuan formal sebagai bagian dari demos. Negara tetap nyaman memegang prinsip kewarganegaraan tunggal—prinsip yang sudah lama dikritik tetapi terus dipertahankan sebagai pilar nasionalisme legalistik.

Baca juga:

Dari sinilah tampak paradoks GCI: pemerintah ingin memetik manfaat diaspora—jejaring global, keahlian, modal—tanpa harus berhadapan dengan konsekuensi politik dari pengakuan yang lebih penuh. Hasilnya adalah negara menciptakan kategori warga setengah matang: cukup dekat untuk dimintai kontribusi, tetapi tetap ditempatkan di luar ruang politik.

Penghindaran politik yang dibungkus inovasi

Pemerintah menempatkan GCI sebagai jawaban atas problem kewarganegaraan ganda. Namun, jika pemerintah sungguh-sungguh ingin menyelesaikan persoalan ini, yang dibutuhkan bukanlah koreografi administratif, melainkan revisi Undang-Undang Kewarganegaraan—sebuah langkah yang terus dihindari.

Setiap kali usulan dual citizenship muncul, kita menyaksikan reaksi refleks dari dalam negara: kekhawatiran soal loyalitas, keamanan nasional, infiltrasi asing. Narasi ini kian kuat pada masa ketika politik identitas dan sentimen nasionalisme dangkal cenderung dipakai sebagai alat mobilisasi. GCI pun akhirnya menjadi jalan tengah yang aman bagi pemerintah—jalan yang terlihat progresif, tetapi tidak menyentuh substansi.

Diaspora dan kapital sosial yang disederhanakan

Dalam pidato dan pemberitaan, GCI dikaitkan dengan kebutuhan membalikkan arus brain drain. Pemerintah membayangkan diaspora sebagai sumber daya ekonomi dan intelektual yang belum diakses sepenuhnya. Namun, diaspora Indonesia bukanlah satu kelompok homogen. Ada profesional teknologi di Silicon Valley; ada perawat yang bekerja di Eropa; ada anak-anak buruh migran yang lahir di Timur Tengah; ada generasi kedua pekerja migran Indonesia di Asia Tenggara yang hidup tanpa dokumen.

Pertanyaan pentingnya: GCI dirancang untuk kelompok yang mana? Dari kriteria dan proses yang ditawarkan, skema ini tampak lebih mudah diakses oleh kelompok diaspora yang relatif mapan—mereka yang punya akses dokumen, modal, dan koneksi hukum—ketimbang kelompok diaspora marjinal, terutama eks-buruh migran yang selama ini paling rentan secara struktural.

Dengan demikian, GCI berpotensi membentuk kembali peta diaspora dalam imajinasi negara: bukan sebagai komunitas kompleks dengan spektrum pengalaman yang luas, melainkan sebagai “aset” ekonomi dengan nilai yang bisa diukur.

Transparansi yang belum hadir

Kritik berikutnya menyentuh aspek yang lebih teknis, tetapi tidak kalah penting. Hingga beberapa hari setelah peluncuran, belum ada informasi resmi yang mengatur soal biaya permohonan GCI, dokumen yang dibutuhkan, mekanisme verifikasi, atau timeline implementasi. Sementara itu, situs resmi e-visa belum menampilkan formulir GCI sebagai opsi.

Ketiadaan rincian ini menciptakan ruang abu-abu yang mudah dimanfaatkan oleh agen visa, konsultan imigrasi, dan semua yang bergerak di wilayah semi-formal. Kita tahu pola semacam ini di Indonesia: ketika regulasi sengaja dibiarkan longgar, yang lahir bukan kemudahan, melainkan komersialisasi akses—dengan biaya yang ditentukan bukan oleh negara, melainkan oleh pasar perantara.

Baca juga:

Jika GCI terus bergerak dalam ketidakjelasan biaya dan prosedur, ia akan meluncur perlahan menjadi versi halus dari “golden visa”—bukan untuk investor, tetapi tetap hanya terjangkau oleh mereka yang punya kemampuan finansial.

Mencontek India, tanpa mengakui batasnya

Tak bisa diabaikan bahwa GCI mengambil inspirasi dari Overseas Citizenship of India (OCI), sebuah skema yang memang sukses menciptakan koneksi institusional dengan diaspora. Namun OCI pun tidak luput dari kritik: banyak pemegang OCI merasa diundang untuk berinvestasi, tetapi tidak dianggap setara ketika menyangkut hak politik atau kebebasan sipil. Indonesia tampak menyalin model ini tanpa mengajukan pertanyaan kritis: apakah skema yang sama tepat untuk kondisi sosial-politik Indonesia yang sangat berbeda?

Yang luput dari diskusi publik adalah bahwa kebijakan diaspora yang sehat tidak mungkin dibangun hanya dari perspektif ekonomi. Ia harus berangkat dari kesadaran bahwa relasi negara–diaspora adalah relasi emosional, historis, dan politis—bukan hanya soal potensi kontribusi.

Solusi yang lebih jernih

Jika pemerintah serius ingin membangun hubungan baru antara negara dan diaspora, langkah yang dibutuhkan jauh lebih struktural dan jujur daripada sekadar GCI.

Pertama, pemerintah perlu membuka kembali debat kewarganegaraan ganda. Tidak perlu seluruhnya sekaligus; bisa dimulai dari kelompok yang paling masuk akal secara politik:

  • anak hasil perkawinan campuran,
  • eks-WNI yang kehilangan status karena aturan usia,
  • diaspora profesional yang sudah lama tinggal di luar negeri tetapi tetap terhubung dengan Indonesia.

Membuka ruang untuk bentuk-bentuk kewarganegaraan yang lebih cair bukan hanya menguntungkan diaspora, tetapi juga menguatkan kapasitas negara dalam ekonomi pengetahuan.

Kedua, jika GCI mau dipertahankan, jelas perlu diperkuat lewat transparansi prosedur, biaya yang wajar, verifikasi yang adil, serta jaminan hak-hak sosial dan ekonomi. Tanpa itu, GCI hanya menjadi fasilitas eksklusif yang memperdalam ketimpangan antar-diaspora.

Ketiga, kebijakan diaspora harus mengingat buruh migran dan generasi yang lahir dari mereka. Selama negara hanya terpesona pada diaspora profesional, kebijakan diaspora Indonesia akan selalu timpang dan tidak menyentuh realitas jutaan warganya di luar negeri.

GCI mungkin akan dicatat sebagai langkah pertama Indonesia menuju kebijakan diaspora yang lebih modern. Tetapi jika kita jujur, ia lebih menyerupai kewarganegaraan tanpa warga: sebuah status yang memberi akses administratif tanpa keanggotaan politik, sebuah gestur global yang dibangun di atas kerentanan lokal.

Agar GCI tidak berhenti sebagai slogan, Indonesia perlu berani bertanya ulang: siapa yang kita sebut warga? Siapa yang diakui sebagai bagian dari komunitas politik kita? Dan apakah negara siap menyambut warganya yang lintas-identitas, bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi sebagai manusia yang utuh?

Pertanyaan-pertanyaan itu jauh lebih menentukan masa depan kebijakan diaspora Indonesia daripada sekadar istilah “global citizenship” yang sekarang terpampang di siaran pers pemerintah.

 

 

Editor: Prihandini N

Adrian Janitra Putra
Adrian Janitra Putra Empirical? Nah, vibes only.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email