Pertengkaran itu, rupanya, adalah warisan sejarah yang tak kunjung lunas.
Aku sering merenung, barangkali sambil menatap layar ponsel yang menyala garang, mengenang masa-masa ketika lini masa Twitter (sekarang X) masih riuh oleh kawan-kawanku yang saling “tikam” argumen. Di satu kubu, ada barisan fisikawan yang memegang teguh data, tensor, dan persamaan medan; di kubu lain, para peminat filsafat yang sibuk membongkar asumsi epistemologis di balik data itu.
Ini bukan sekadar twitwar kosong, atau setidaknya, dulu begitu. Jujur saja, aku kangen twitwar akademis macam itu. Di tengah lini masa yang kini disesaki perdebatan receh soal tumbler Tuku atau drama selebriti yang tak ada habisnya, keributan soal filsafat dan fisika terasa seperti kemewahan yang hilang.
Namun, residu dari perdebatan panjang itu masih tersisa di kepalaku. Perdebatan yang sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum kita mengenal internet.
Contoh terdekatnya ada di depan mata: aku dan kawanku. Kami sering terjebak dalam debat kusir yang melelahkan namun candu. Ia dengan pisau bedah filosofisnya yang tajam dan kadang menyebalkan, sementara aku bertahan dengan benteng kerangka berpikir fisika teori yang ketat. Ketegangan-ketegangan kecil di antara kami, dan juga di antara kawan-kawanku yang lain di media sosial dulu, pada akhirnya melahirkan sesuatu yang produktif: sebuah komunitas fisika teori bernama Ruang Postulat.
Baca juga:
Aku meminjam salinan fisik dua magnum opus dari Hans Reichenbach: The Philosophy of Space and Time (1928) dan karya yang lebih awal, The Theory of Relativity and A Priori Knowledge (1920) dari perpustakaan filsafat di Universitas Padua. Kertasnya mungkin sudah tak lagi berbau baru, tapi gagasan di dalamnya masih menyengat, menantang aku—seorang penekun fisika—untuk mengakui bahwa fisikawan tidak bisa berjalan sendirian tanpa filsafat.
Ketika Einstein Mengguncang Sintetik A Priori Kant
Membaca Reichenbach adalah seperti melihat seseorang yang berusaha mati-matian mendamaikan dua raksasa yang sedang bersitegang. Reichenbach, seorang eksponen empirisme logis, berdiri di antara tradisi filsafat Kantian yang kaku dan revolusi fisika Einstein yang liar.
Konfliknya bermula dari sini: Immanuel Kant, dalam Critique of Pure Reason, meletakkan ruang dan waktu sebagai intuisi a priori—sesuatu yang “terberi” dalam benak kita, mutlak, Euclidean, dan tak terbantahkan. Bagi Kant, kita tidak bisa membayangkan dunia tanpa geometri Euclidean; itu adalah kacamata permanen yang kita pakai untuk melihat realitas.
Lalu Einstein datang dengan Relativitas Umum (General Relativity) dan meruntuhkan meja makan itu. Einstein menunjukkan bahwa ruang-waktu itu melengkung (non-Euclidean), dinamis, dan bergantung pada distribusi materi-energi.
Dalam The Theory of Relativity and A Priori Knowledge, Reichenbach tidak membuang Kant begitu saja. Ia melakukan pembedahan konseptual yang bisa dibilang brilian. Ia berargumen bahwa konsep a priori Kant sebenarnya memiliki dua arti yang tercampur aduk:
- Apodiktis: Sesuatu yang pasti benar, niscaya, dan berlaku selamanya.
- Konstitutif: Sesuatu yang menjadi prasyarat agar pengalaman (pengukuran) menjadi mungkin.
Reichenbach, dengan merujuk pada kesuksesan Relativitas Umum, menolak arti pertama. Fisika membuktikan bahwa geometri ruang tidak pasti benar secara a priori; ia bisa berubah. Namun, Reichenbach mempertahankan arti kedua. Agar kita bisa melakukan fisika, kita butuh “prasyarat konsep” tertentu yang kita tetapkan sebelum pengalaman itu sendiri.
Relativitas Umum dan Aturan Main yang Tak Terlihat
Bagian ini sering luput dari perhatian fisikawan praktis, namun menjadi titik temu paling sederhana antara filsafat dan fisika. Mari kita bicara tentang Relativitas Umum tanpa pusing dengan istilah teknis yang rumit.
Bayangkan kita sedang bermain sepak bola. Sebelum peluit berbunyi, kita harus sepakat dulu: garis putih ini batas lapangan, dan bola bundar itu yang ditendang. Itu adalah “definisi awal” atau aturan main. Tanpa kesepakatan itu, lari-lari di lapangan hanyalah kegiatan fisik tanpa makna. Begitu juga dengan Relativitas Umum. Saat Einstein mengatakan bahwa gravitasi adalah kelengkungan ruang-waktu, ia membutuhkan “aturan main” agar konsep itu bisa diukur. Kita tidak bisa melihat ruang melengkung secara langsung. Kita butuh alat ukur.
Aku sendiri, yang kini sedang bergulat mempelajari General Relativity, mulai merasakan posisi dilematis itu secara personal. Mempelajari Relativitas Umum bukan sekadar menghafal tensor Riemann, simbol Christoffel, atau persamaan medan Einstein. Ia menuntut imajinasi yang radikal. Dan di titik itulah aku sadar: kawanku benar. Filsafat itu penting untuk menjaga kewarasan kita saat logika common sense diruntuhkan oleh fisika.
Filsafat membantu kita bertanya “apa status ontologis dari persamaan ini?” ketika matematika hanya memberi tahu “bagaimana menghitung prediksi selanjutnya.”
Baca juga:
Namun, aku juga harus menegaskan pada kawanku: fisika itu mutlak penting. Tanpa fisika, filsafat tentang alam semesta hanya akan menjadi spekulasi di menara gading, sebuah puisi metafisika yang indah tapi tak membumi. Reichenbach mengajarkan padaku bahwa filsafat sains yang baik haruslah filsafat yang mendengarkan sains, bukan yang mendiktenya dari kursi goyang. Filsuf yang menolak belajar fisika teori hari ini sama naifnya dengan fisikawan yang menolak belajar epistemologi.
Sintesis itu Belum Selesai
Jadi, biarlah kami, fisikawan dan filsuf itu diberi ruang untuk terus berantem. Karena dari gesekan itulah—seperti Reichenbach yang dengan cermat menggesekkan Kant pada Einstein—percikan api pengetahuan yang sesungguhnya akan menyala.
Kita butuh keduanya. Aku butuh ketepatan yang dingin dari fisika untuk memetakan semesta, dan aku butuh kehangatan reflektif dari filsafat untuk memahami peta macam apa yang sedang aku gambar.
Dan aku, memilih untuk menikmati keributan ini. Karena dalam keributan itulah, nalar kita dipaksa untuk bangun dan tidak tidur dalam dogmatisme. (*)
Editor: Kukuh Basuki
