Peace and Conflict Resolution Studies

Ekoteologi di Tengah Bencana: Refleksi Keamanan Manusia

Fajriatun Nisa

3 min read

Bencana, hari ini bukan soal takdir. Hujan, hari ini bukan lagi berkah. Melainkan alarm keras bahwa konsep “keamanan manusia” sudah runtuh.

Krisis ekologi adalah persoalan terbesar yang dihadapi zaman kita. Seperti telah ditegaskan media umum, Bumi tengah terancam bahaya saat ini dan menimbulkan problem gawat yang tidak lagi bisa diabaikan, atau tidak cukup direspons hanya dengan lip-service. Banyak persoalan lingkungan bersifat lokal dan spesifik. Persoalan ini tidak terlihat dianggap serius karena sedikit kekuasaan yang dimiliki rakyat telah tercerabut yang diakibatkan oleh sistem negara yang terlalu tersentralisasi dan lembamnya birokrasi pemerintahan. 

Dalam banyak tradisi agama, misalnya Islam, manusia diajarkan untuk menjaga hubungan baik dengan Tuhan (hablum min Allah) dan sesama manusia (hablum minannas). Quraish Shihab memperluas konsep itu dengan menegaskan bahwa krisis terbesar manusia hari ini adalah buruknya hubungan manusia dengan alam, menjaga hubungan baik itu juga termasuk hubungan dengan hewan, tumbuhan, dan hubungan dengan diri sendiri (Hisyam, 2023). 

Dewasa ini, muncul wacana ‘ekoteologi’ yang diangkat sebagai gagasan Kementerian Agama oleh Nasaruddin Umar. Ia menekankan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah, amanah, dan sifat Tuhan yang rahman rahim. Narasi ini tampak positif. Bahkan ia  menyebut ekoteologi sebagai cara beragama secara “ekofeminin” artinya menghidupkan sifat mengasuh, menyayangi, dan merawat alam layaknya sifat Tuhan (Beritasatu, 2025). Namun narasi ini menjadi paradoks karena negara tetap mempertahankan kebijakan ekstraktif yang merusak lingkungan. Ekoteologi akhirnya lebih berfungsi sebagai branding religius ketimbang mekanisme penyembuhan ekologis.

Baca juga:

Akar ekoteologi modern sejatinya bersifat radikal. Lynn White Jr. dalam esainya “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”, yang menegaskan bahwa krisis ekologi tidak akan terselesaikan hanya dengan tindakan reaktif atau program permukaan tanpa mengubah fondasi cara pikir kita, kembali pada hal-hal yang paling mendasar. Berbagai langkah yang kita ambil justru dapat menimbulkan dampak balik yang lebih serius daripada masalah yang ingin kita selesaikan (White, 1967). Analisis White memperingatkan bahwa tanpa perubahan mendasar, kebijakan lingkungan yang lemah justru mempertinggi risiko terhadap kehidupan masyarakat, sebuah inti dari isu keamanan manusia. 

Pemikiran White selaras dengan peringatan Paus Fransiskus melalui Laudato Si’ memulai penegasan sikap Gereja yang lahir dari refleksi keimanan atas realitas dunia hari ini. Dua ratus empat puluh enam paragraf ensiklik ini, Paus Fransiskus menekankan perlunya dialog global tentang masa depan bumi, karena krisis ekologi yang kita hadapi beserta akar manusiawinya menjadi keprihatinan seluruh umat manusia (Francis, 2016). Ia mengingatkan bahwa kegagalan mencari solusi lingkungan bukan hanya disebabkan oleh perlawanan kelompok-kelompok kuat, tetapi juga oleh ketidakpedulian, penyangkalan, dan sikap pasrah yang bahkan muncul di antara orang beriman. Karena itu, Paus menyerukan pentingnya pertobatan ekologis global, yang tidak akan pernah teratasi tanpa pemulihan kesadaran moral bahwa manusia saling membutuhkan dan memiliki tanggung jawab terhadap satu sama lain serta terhadap bumi (Francis, 2016).

Perspektif UNDP (1994) semakin menguatkan bahwa krisis ekologi adalah ancaman langsung terhadap keamanan manusia. Human security menurut UNDP bertumpu pada tiga asas: freedom from fear, freedom from want, dan freedom to live in dignity. Kerusakan lingkungan secara langsung meruntuhkan ketiga asas tersebut, masyarakat hidup dalam ketakutan akan bencana yang terus berulang (freedom from fear), kehilangan akses terhadap kebutuhan dasar seperti air bersih, pangan, dan lingkungan sehat (freedom from want), dan kehilangan martabat ketika ruang hidup mereka hancur atau tergusur akibat kebijakan negara yang salah arah (freedom to live in dignity)  (United Nations Development Programme, 1994).

Bencana alam yang melanda di berbagai wilayah terutama di Sumatra menjadi bukti konkret antara kerusakan ekologi dan kegagalan struktural negara.  Sembilan ratusan korban meninggal, tiga ratusan orang hilang dan ratusan ribu warga harus mengungsi, hal ini disebabkan oleh deforestasi masif di Batang Toru yang mengakibatkan sekeliling wilayah terdampak banjir bandang yang sangat tinggi (BBC, 2025). Peristiwa ini menunjukan betapa lemahnya pengelolaan lingkungan yang berujung pada hilangnya keamanan masyarakat. Kerusakan di hulu menjadi ancaman langsung bagi kehidupan di hilir. Akibatnya, ekoteologi negara berubah menjadi greenwashing spiritual–suatu fenomena semacam ”pura-pura hijau”, religiusitas hijau yang memperhalus wajah pembangunan eksploitatif (Suartana, 2025). 

Untuk memahami lebih dalam, teori human security dari Elliott (2012) sangat relevan. Elliott mengkritik pendekatan state-centric security yang menempatkan negara dan stabilitas politik sebagai pusat perhatian, sementara mengabaikan kelompok yang paling terdampak oleh krisis lingkungan. Baginya, keamanan lingkungan harus dipahami bukan dari sisi risiko abstrak, tetapi dari kerentanan nyata yang dialami masyarakat. Termasuk kerentanan pangan, air, kesehatan, cuaca ekstrem, dan hilangnya ruang hidup.

Elliott menyebut bahwa negara sering melakukan misrecognition of vulnerability, yaitu kegagalan negara mengenali siapa yang sebenarnya membutuhkan perlindungan di masyarakat. Retorika ekoteologi yang tidak menyentuh akar masalah dianggapnya sebagai pseudo-securitisation seolah-olah mengamankan lingkungan hanya lewat wacana moral tanpa mengubah struktur yang menghasilkan krisis.

Baca juga: 

Kita seringkali mengamini bahwa hujan adalah berkah Tuhan, tetapi hari ini hujan berubah menjadi bencana bukan karena salah hujan, melainkan karena ketamakan manusia yang merusak ekosistem. Pohon-pohon ditebang, tanah kehilangan daya serap, dan keselamatan manusia dikorbankan demi keuntungan segelintir pihak.

Bencana alam dalam konteks ini bukanlah takdir, tetapi akumulasi kebijakan yang buruk dan struktur ekonomi-ekstraktif yang dibiarkan berjalan tanpa kendali, sehingga wajar jika kita marah dan berduka bersama para korban. Dan karena ini, ekoteologi tidak boleh berhenti pada seruan spiritual yang menenangkan, tetapi harus menjadi kerangka pembebasan yang menuntut penghentian eksploitasi, reformasi tata kelola sumber daya alam, serta pendanaan iklim yang adil.

Tanpa keberanian untuk menyentuh akar kerusakan, maka regulasi dan bahasa keagamaan hanya menjadi ornamen indah yang menutupi luka ekologis, sementara krisis terus berulang dan kerentanan masyarakat semakin melebar. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Fajriatun Nisa
Fajriatun Nisa Peace and Conflict Resolution Studies

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email