Pengangguran terselubung, pembangkang terbuka

Cendekiawan dan Pasar Ide: Memahami Pertanyaan Hairus Salim

Dendy Wahyu Anugrah

7 min read

“Ke mana para cendekiawan Muslim hari ini? Pasar ide senyap. Padahal Doktor dan Guru Besar makin banyak”.

Pertanyaan di atas disampaikan oleh seorang penulis dari Jogja, Hairus Salim HS, di akun medsos-nya dan juga ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam acara diskusi yang digelar oleh JAB Fest 2025 pada Selasa (20/5) lalu. Dari pertanyaan itu, nampak sekali Pak Hairus Salim menyoroti fenomena “kemerosotan” intelektual yang ada di Tanah Air. Sebuah pertengkaran ide, gagasan, dan wacana mulai redup seiring bergulirnya waktu. Pasar ide senyap. Tidak ada lagi “perang wacana”. Dan saat ini sedikit sekali—untuk tidak mengatakan tidak ada—mereka yang kita sebut “kaum intelek” mampu melahirkan gagasan-gagasan baru.

Justru, kita dipertontonkan dengan berjibun kaum intelektual yang merasa nyaman berada di “menara gading” intelektual. Bahkan mereka terlalu sibuk dengan karir akademik dan capaian-capaian politis. Tentu hal ini merupakan masalah serius yang harus kita atasi bersama. Karena, bagaimanapun, tradisi intelektual yang “hidup” dapat mendorong kemajuan bangsa kita—seperti dulu pernah melahirkan Reformasi. Fenomena ini menuntut kita untuk berani melakukan “pemberontakan” intelektual, baik secara internal maupun eksternal, dalam rangka menghidupkan kembali perang gagasan (ghazwu al-fikr) di Indonesia.

Baca juga:

Memang tidak mudah untuk melakukan pemberontakan intelektual semacam itu. Apalagi melahirkan gagasan-gagasan baru. Butuh konsistensi yang cukup, dan kerja-kerja intelektual yang memadai. Namun, sebagai langkah awal, kita perlu membangkitkan kesadaran secara kolektif, yakni dengan memahami tanggung jawab kita sebagai seorang cendekia. Oleh karena itu, penting untuk menengok kembali makna “cendekiawan” dan bagaimana seharusnya kita meramaikan pasar ide (marketplace of ideas) yang selama ini membuat kita, meminjam kata-kata Rendra, “merasa asing dan sepi”.

Cendekiawan: Subjek yang Bergerak

Istilah “cendekiawan” sering kali disamakan dengan “intelektual” dan “inteligensia”. Ketiga nomenklatur itu selama ini banyak digunakan secara tumpang tindih. Padahal, ketiganya memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Yudi Latif (2012), intelektual memiliki karakteristik personal yang berkaitan dengan struktur dan fungsi sosial tertentu. Sedangkan inteligensia merujuk pada kelompok intelektual. Maksudnya, inteligensia itu merupakan istilah untuk menyebut “komunitas” (group) kaum intelektual. Adapun yang disebut cendekiawan, menurut Yudi Latif, sebenarnya mempunyai akar kata yang berarti “licik” atau “penipu” (dengan merujuk berbagai sumber). Jadi, melihat arti kata ini, maka cendekiawan adalah orang yang cerdik atau licik.

Namun, ulasan ini tidak akan berlarut dalam perdebatan semantik itu. Hanya saja, apa yang dimaksud dalam pernyataan Pak Hairus Salim dengan “cendekiawan Muslim” itu sebenarnya merujuk pada tokoh-tokoh intelektual di tahun 1980-an dan 1990-an. Secara historis, istilah cendekiawan Muslim dipergunakan secara luas dalam wacana publik kala itu. Demikian ditandai oleh semakin berkembangnya pengaruh para tokoh intelektual Islam dalam ruang-ruang diskursif, seperti politik, pendidikan, agama, dan kebudayaan di masa Orde Baru. Dalam konteks ini, istilah “cendekiawan” dikaitkan dengan identitas-identitas kolektif yang berasal dari habitus, sistem nilai, struktur kognitif, dan ingatan kolektif yang sama (Latif, 2012: 37).

Oleh karena itu, jika kita mengelaborasi definisi yang diuraikan oleh Yudi Latif dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa (2012) di atas, maka apa yang dimaksud sebagai “cendekiawan” adalah mereka yang memiliki kualitas intelektual yang memadai dan berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat. Terlepas mereka dari kalangan Muslim atau bukan. Namun, dalam konteks pembahasan ini, ialah cendekiawan Muslim. Lalu, bagaimana tanggung jawab seorang cendekiawan Muslim itu?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita dapat memebaca Muslim Tanpa Masjid (2018) karya Kuntowijoyo, seorang cendekiawan Muslim kondang Indonesia. Menurut Kuntowijoyo, tanggung jawab cendekiawan Muslim ada dua: manajemen yang rasional dan membantu umat dalam inttelectual war (perang gagasan).

Pertama, seorang cendekiawan harus mempunyai kesadaran teologis berupa niat, kesadaran strategis secara konsisten, dan kesadaran operasional berupa ikhlas. Kemudian, sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan umat, seorang cendekia memerlukan majanemen yang rasional. Artinya, umat perlu disadarkan bahwa tujuan kolektif hanya bisa dilakukan melalui kesadaran rasional.

Kedua, membantu umat dalam “perang gagasan”. Menurut Kuntowijoyo, kedudukan agama dalam sektor publik, seperti ekonomi, politik, atau hukum, memerlukan peran cendekiawan untuk menjelaskan. Sebagai contoh: bagaimana cendekiawan Muslim dapat menjelaskan ilmu ekonomi syariah atau psikologi Islam secara ilmiah mengenai pentingnya ilmu-ilmu itu dalam kehidupan modern. Selain itu, cendekiawan Muslim juga berperan sebagai “tameng” dari serangan ideologi politik yang dapat memecah belah umat (Kuntowijoyo, 2018: 39-41). Tentu, perspektif yang digunakan menggunakan pendekatan eklektik-integratif.

Pendapat Kuntowijoyo di atas bisa kita lengkapi dengan apa yang ditulis Noam Chomsky dalam The Responsibility of Intellectuals (1967). Bagi Chomsky, tanggung jawab seorang intelektual “berani” mengatakan kebenaran (to speak the truth) dan membongkar kebohongan (to expose lies) kekuasaan (Chomsky, 1967: 1). Seorang cendekiawan harus senantiasa berada di posisi itu. Mereka memiliki tanggung jawab untuk mengatakan kebenaran kepada masyarakat, dan membongkar motif-motif terselubung kekuasaan. Karena kaum cendekiawan mempunyai peranti ilmu pengetahuan (teori dan metode) yang memadai untuk melakukan dua hal itu.

Dengan demikian, kita dapat memahami hakikat dari cendekiawan dan tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Lebih jauh, cendekiawan sesungguhnya adalah mereka yang senantiasa bergerak untuk kebaikan umat, dan tidak pernah berhenti menciptakan inovasi-inovasi baru demi kesejahteraan sosial. Itulah “cendekiawan” sejati. Seluruh pemikiran dan gerakan yang mereka lakukan, semata hanya untuk masyarakat luas, bukan untuk kepentingan pribadi.

Pasar Ide: Sebuah Medan “Perang Wacana”

Sebelum memahami apa itu “pasar ide” (the marketplace of ideas), kita perlu melacak dari mana istilah itu berasal. Sejauh ini, kata itu selalu dikaitkan dengan Oliver Wendell Holmes Jr., seorang hakim Amerika Serikat. Ia pertama kali memperkenalkan konsep ini dalam Abrams Et Al v. United States (1919) sebagai berikut:

“..When men have realized that time has upset many fighting faiths, they may come to believe even more than they believe the very foundations of their own conduct that the ultimate good desired is better reached by free trade in ideas-that the best test of truth is the power of the thought to get itself accepted in the competition of the market, and that truth is the only ground upon which their wishes safely can be carried out” (Holmes, 1919: 630).

Dari tulisan Holmes di atas, kita dapat melihat bagaimana ia memiliki asumsi dasar bahwa proses perdebatan yang kuat, dengan tidak ada campur tangan kekuasaan (pemerintah), akan mengarah pada penemuan kebenaran, perspektif, atau solusi bagi masalah masyarakat. Kemdian, Stanley Ingber (1984) menyebut jika perspektif Holmes itu menandaskan: jika pasar ide berjalan dengan baik, pada akhirnya ia akan menjamin evolusi masyarakat yang tepat (Ingber, 1984: 3). Lebih jauh, doktrin “pasar” yang berakar dalam yurisprudensi Amerika itu, lambat laun dianggap oleh pengadilan dan kaum intelektual sebagai hal yang penting bagi partisipasi rakyat dalam pemerintahan.

Oleh karena itu, pasar ide dapat kita pahami sebagai suatu konsep yang memiliki prinsip dasar bahwa kebenaran akan muncul melalui pertengkaran ide-gagasan dalam wacana publik yang bebas dan terbuka. Sebagaimana yang telah disinggung Kuntowijoyo di atas, seorang cendekiawan harus berperan aktif dalam perang gagasan (intellectual war). Dan medan laga perang gagasan itu ialah apa yang disebut “pasar ide”—dengan nilai dan prinsip demokratis. Keberadaan dan keberlangsungan pasar ide ini sangat tergantung pada gagasan-gagasan yang muncul dari kalangan cendekia. Setiap gagasan adalah tesis, dan kemunculan tesis niscaya akan dihadapkan pada anti-tesis. Kemudian, pertengkaran dialektis di medan pasar ide itu, akan melahirkan sintesis-sintesis baru untuk kepentingan masyarakat luas.

Berkenaan dengan sejarah perang gagasan yang pernah terjadi di kalangan Muslim Indonesia (era Reformasi) dapat kita telisik dalam buku Carol Kersten yang bertajuk: Islam in Indonesia; The Contest for Society Ideas and Values (2015). Dalam penelitian yang dilakukan Kersten ini, kita akan disuguhkan penggal sejarah “perebutan wacana” para cendekiawan Muslim dari beragam latar belakang komunitas dan mazhab pemikiran keagamaan. Isu yang menjadi perdebatan kala itu seputar sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Berbagai kelompok Islam Indonesia yang meramaikan pasar ide kala itu, antara lain: Mazhab Ciputat (anak ideologi Nurcholis Madjid), Mazhab Jogja (anak ideologis Mukti Ali), Jaringan Islam Liberal (JIL), Post-Tradisionalisme Islam (Postra), Jaringan Intelektual Muhammadiyah Muda (JIMM), dan lain sebagainya.

Sebuah pertarungan wacana juga pernah terjadi pada tahun 2000-an, ketika Ulil Abshar-Abdalla mendapatkan fatwa hukuman mati dari Forum Ulama Umat Islam (FUUI) karena tulisannya di Kompas yang berjudul: Menyegarkan kembali Pemahaman Islam (2002). Pemberian fatwa mati kepada Ulil itu kemudian mengundang berbagai respon (pro-kontra) dari kalangan Islam di Indonesia. Mengenai bagaimana pertarungan wacana yang sempat menghebohkan publik Indonesia itu dapat ditelusuri dalam buku Islam Liberal & Fundamental: Sebuah Pertarungan Wacana (2007).

Dari dua fakta sejarah yang telah disebutkan di atas, kita dapat melihat bahwa memang secara historis bangsa kita menjadi “pasar ide” yang memuat pertengkaran gagasan, wacana, dan solusi bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia, terutama umat Islam. Oleh karena itu, jika menelaah pasar ide dalam konteks saat ini, kita justru tidak menemukan gagasan-gagasan ciamik di dalam pasar ide. Tentu apa yang dimaksud Pak Hairus Salim sebagai “kesenyapan” pasar ide itu demikian: tidak ada lagi pertarungan wacana yang mampu membawa perubahan di berbagai level kehidupan.

Menggugat Kemapanan: Apa yang Harus Kita Lakukan?

Sebagai generasi muda, kita perlu melakukan “pemberontakan” intelektual yang dapat melahirkan perubahan positif, terutama dalam level gagasan. Sikap taken for granted dan penerimaan pasif terhadap gagasan para pemikir, intelektual, atau cendekiawan Muslim “generasi tua”—demikian saya menyebutnya—justru akan memukul mundur kemajuan tradisi intelektual kita. Hanya dengan mengutip teori, gagasan, dan pembacaan yang dilakukan generasi tua di masa lalu, tidak akan pernah mampu melahirkan gagasan baru dan “meramaikan” pasar ide.

Selama ini, kita melihat begitu banyak “generasi muda” yang bangga dengan nyomot gagasan dan gerakan yang dilakukan generasi tua di masa lalu. Kita lebih suka mengutip, meniru, dan mengulang gagasan generasi tua yang seharusnya kita pertanyakan relevansinya. Jika sikap dan cara berpikir generasi muda kita tetap taklid terhadap segala sesuatu yang pernah dilahirkan generasi tua, maka meramaikan pasar ide di Indonesia adalah omong kosong belaka. Karena, sekali lagi, mereka hanya sibuk mengutip gagasan generasi tua tanpa mempertanyakan, menggugat, dan memberikan catatan kritis terhadap gagasan yang sudah berusia senja itu.

Baca juga:

Oleh sebab itu, kita perlu membaca pemikiran mereka secara kritis-dekonstruktif. Bagaimanapun, pemikiran lahir tidak dari ruang hampa. Ia merupakan “anak kandung” realitas sosial yang saat itu terjadi. Tentu konteks yang kita temui dengan mereka jauh berbeda, sehingga menuntut kita untuk menggugat kembali pemikiran yang selama ini telah menjadi “rezim pengetahuan” (istilah Foucault) dan menghegemoni kita semua sebagai generasi muda. Adalah hal yang wajar, dalam tradisi intelektual, memiliki sikap kritis dan meninjau kembali gagasan yang pernah ditorehkan generasi tua.

Maka, hal yang paling penting dalam melahirkan gagasan baru dalam konteks saat ini ialah “keharusan generasi muda berpikir bebas”. Sangat menggelikan sekali kalau generasi muda justru menjadi agen pembatasan berpikir, tidak berdaya kritis, dan telah puas dengan mengutip teks teoritik maupun teks keagamaan tanpa ditinjau secara kritis. Padahal, mereka memiliki spirit dan kekuatan yang masih “segar” sehingga sangat mampu melakukan “pemberontakan intelektual”.

Untuk melakukan pemberontakan dan melahirkan sebuah gagasan, terdapat beberapa langkah, antara lain: Pertama, generasi muda harus melepaskan batasan-batasan, dogma, dan tipu daya dengan mengatasnamakan “agama” yang dilakukan oleh generasi tua. Kawula muda harus berani mendobrak pembatasan itu dengan kebebasan berpikir, dengan peranti keilmuan yang matang, dan keberanian mental yang memadai.

Kedua, mendekonstruksi pemahaman yang mapan. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa sekarang kita melihat banyak sekali pemaknaan atas teks, realitas, dan bangunan teori yang telah menjelma menjadi “fosil” sehingga generasi muda terjerembab ke dalam fanatisme akut. Seperti menggembar-gemborkan paham Sukarnoisme, Marxisme, Islamisme, atau yang belakangan menyeruak, Nenengisme. Mereka tampak “bangga diri” dengan menyebut isme-isme yang sesungguhnya menghegemoni pemikiran dan gerakan mereka, padahal mereka seharusnya menciptakan pemikiran dan gerakan sendiri.

Ketiga, generasi muda harus menjadi “nabi-nabi kecil” yang senantiasa berpikir tanpa harus merasa takut dicap “sesat”, dan terus melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan, baik penindasan yang dilakukan melalui gagasan maupun tindakan-tindakan subtil. Sebab, dalam pasar ide, tidak ada istilah benar atau salah, melainkan relevan atau tidak gagasan yang kita keluarkan. Kalau generasi muda justru membatasi berpikir, mempunyai rasa takut, dan tidak mau keluar dari zona nyaman yang selama ini mengikis daya kritis mereka, maka sampai kapan pun bangsa kita tidak akan pernah bisa melahirkan mujadid (pembaharu) baru.

Sebagai generasi muda, kita perlu merenungi apa yang ditulis Nur Khalik Ridwan dalam Santri Baru: Pemetaan, Wacana Ideologi, dan Kritik (2004) di bawah ini:

“Kita butuh anak-anak muda yang energik, berefleksi cerdas, bergelora dalam merefleksi pahitnya peluh di jalanan, serius dalam membaca tumpukan-tumpukan buku, rajin dalam mensistematisasikan gagasan, dan seterusnya. Kita justru menyaksikan anak-anak muda kita, telah mengganti ini semua dengan jalan-jalan santai ke mall, dan ingin cepat kaya dengan cara-cara Machiavellian yang sangat hedonis: absurd!” (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Dendy Wahyu Anugrah
Dendy Wahyu Anugrah Pengangguran terselubung, pembangkang terbuka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email