Dalam beberapa waktu terakhir, pemberitaan tentang kasus bullying di lembaga pendidikan berbasis pesantren kerap kali mencuat ke permukaan. Reaksi masyarakat pun beragam, dari yang mengecam keras, hingga yang menyayangkan mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi di lembaga yang dianggap sebagai pusat pendidikan moral dan spiritual. Bahkan tidak jarang, masyarakat termasuk sebagian pengelola pesantren sendiri menganggap bahwa adanya kasus bullying adalah sebuah “aib” yang mencoreng nama baik lembaga. Namun dari perspektif psikologi, saya ingin menegaskan: bullying bukan aib pesantren. Yang menjadi masalah bukan keberadaannya, tetapi ketika kita menutup mata terhadapnya.
Sebagai awalan, penting untuk disadari bahwa bullying adalah fenomena psikososial yang dapat muncul dalam semua institusi Pendidikan, mulai dari sekolah umum, sekolah berbasis agama, hingga lingkungan pendidikan tinggi. Ia tumbuh subur dalam situasi di mana ada ketimpangan kekuasaan, kurangnya pengawasan, minimnya edukasi emosi, serta lemahnya budaya dialog.
Baca juga:
Pesantren, dengan segala keunggulan dan keunikannya, bukanlah entitas yang steril dari dinamika sosial. Justru karena ia hidup sebagai sebuah komunitas tertutup dan padat interaksi, potensi munculnya relasi yang timpang dan praktik kekerasan simbolik maupun fisik dapat lebih besar apabila tidak dikelola secara sadar. Dalam psikologi sosial, kita memahami bahwa power dynamics dalam kelompok yang hirarkis seringkali menjadi lahan subur bagi perilaku dominasi yang menyimpang.
Maka dari itu, menyebut adanya bullying sebagai “aib” sejatinya malah menjadi penghalang bagi upaya transformasi. Alih-alih disikapi dengan mekanisme defensif, keberanian mengakui dan membuka ruang dialog justru adalah langkah awal dari kesehatan psikologis lembaga.
Dalam psikologi keluarga, dikenal konsep emotional invalidation, yaitu kondisi di mana pengalaman emosional individu diabaikan atau dianggap tidak sah. Ketika pesantren enggan mengakui adanya bullying, secara tidak langsung mereka melakukan invalidasi terhadap para korban. Ini sangat berbahaya karena akan melanggengkan luka psikologis, menurunkan harga diri korban, bahkan dalam beberapa kasus, berdampak pada trauma jangka panjang.
Pesantren seharusnya menjadi tempat pemulihan, bukan hanya secara spiritual, tetapi juga emosional. Dengan memandang bullying sebagai aib, kita justru membungkam suara korban, menutupi luka, dan mengabaikan kebutuhan psikologis santri yang terluka.
Pandangan bahwa bullying adalah aib kerap melahirkan respons yang bersifat reaktif dan simbolik. Misalnya, ketika kasus mencuat, pesantren buru-buru memberikan sanksi pada pelaku tanpa melihat akar permasalahan yang lebih sistemik: apakah ada budaya senioritas yang berlebihan? Apakah pengasuh memiliki kedekatan yang cukup dengan santri? Apakah ada forum untuk santri menyuarakan kegelisahan mereka?
Dari perspektif psikologi perkembangan, remaja yang menjadi pelaku bullying seringkali juga adalah individu yang memiliki luka, ketakutan, atau ketidakmampuan dalam menyalurkan emosi dengan sehat. Maka pendekatan yang dibutuhkan bukan hanya menghukum, tetapi membina melalui konseling, rekonsiliasi, dan pendidikan emosi.
Membangun mental health awareness di lingkungan pesantren menjadi hal yang sangat penting. Ini mencakup pelatihan guru dan pengasuh dalam emotional literacy, penyediaan layanan konseling, serta pemberdayaan santri dalam komunitas yang suportif dan terbuka.
Saya percaya bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar ilmu agama, tetapi juga ruang pembentukan nilai-nilai kemanusiaan. Maka, ketika terjadi kasus bullying, pesantren memiliki peluang besar untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka adalah tempat yang siap belajar, berbenah, dan memberi keteladanan.
Baca juga:
Mengelola kasus bullying dengan transparansi, empati, dan keberanian menyelesaikan konflik secara sehat justru akan memperkuat kepercayaan masyarakat. Dalam psikologi positif, hal ini disebut sebagai resilience kemampuan untuk bangkit dan tumbuh lebih baik setelah mengalami krisis.
Dengan menghilangkan stigma bahwa bullying adalah aib, pesantren akan lebih siap menjadi resilient institution, yang tidak takut membuka luka untuk kemudian menyembuhkannya bersama.
Akhiron, bullying bukan aib pesantren. Ini merupakan tantangan yang bisa diubah menjadi peluang pendidikan. Justru dengan keberanian untuk mengakui, memahami, dan menangani bullying secara terbuka dan bijak, pesantren akan semakin relevan dalam menjawab kebutuhan zaman.
Pendidikan karakter yang hakiki tidak bisa dibangun dalam bayang-bayang ketakutan dan penyangkalan, tetapi dalam ruang-ruang jujur yang membebaskan. Dan di sinilah pesantren bisa terus menjadi cahaya bukan karena tanpa cela, tetapi karena terus bertumbuh dengan cinta. (*)
Editor: Kukuh Basuki
