Pemberitahuan itu menyebar dari telinga ke telinga bahkan sebelum pengumuman resminya dikeluarkan oleh perusahaan. Aku sendiri mendapat kabar itu dari Pak Zul, karyawan yang sudah hampir delapan tahun mengabdikan hidup dan akhir pekannya untuk perusahaan kami. Katanya perusahaan akan memangkas jumlah karyawan karena dampak pandemi dan krisis keuangan global. Kemarin saat makan siang Pak Zul sempat cerita juga tentang rencana-rencana cadangannya kalau-kalau isu tersebut benar terjadi.
“Pertama-tama, tentu saja aku sama sekali tak ingin menyalahkan perusahaan kalau berita itu benar. Bagaimanapun di sinilah sumur tempat aku menimba setiap hari. Yah, meski airnya tak selalu jernih melimpah, tetap saja tak baik bagiku untuk meludah ke dalamnya,” kata Pak Zul. “Kedua, tentu saja kita harus melakukan runding siapa tahu masih ada kesempatan agar nama kita tak ada dalam daftar PHK. Dan ketiga, kalau memang nasib buruk benar-benar tak mungkin kita hindari, tentu saja kita harus manfaatkan uang pesangon sebaik mungkin. Dalam situasi sulit seperti sekarang, yang terpenting adalah bagaimana caranya menyambung hidup dengan cara apa pun.”
Kunyalakan rokokku. Sambil mendengar rencana-rencana Pak Zul yang sama sekali tak strategis itu, aku sendiri ragu bahwa serikat karyawan mampu meminimalisir jumlah PHK di perusahaan kami. Masalahnya ini bukan urusan personal tentang bos yang benci bawahannya atau sebaliknya, melainkan tentang bagaimana semua orang ingin mempertahankan hidupnya, termasuk juga para petinggi yang pasti ingin mempertahankan kelangsungan perusahaan mereka dengan berbagai cara. Pemutusan hubungan kerja memang jadi cara paling sederhana untuk dilakukan perusahaan. Bagi karyawan rendahan seperti aku dan Pak Zul, kecil juga kemungkinan untuk dipertahankan.
“Ada rencana pulang kampung, Pak?” tanyaku singkat.
Pak Zul menarik napasnya dalam-dalam, sebelum mengembuskan asap rokoknya yang memenuhi seisi warteg tempat kami biasa leha-leha selepas kerja. “Masih belum tahu juga aku,” katanya. Kulihat tumbuh kaca di matanya. Seperti permukaan sumur yang dindingnya usang dimakan usia. “Aku tak ingin pulang dalam keadaan kalah seperti ini.”
“Nah, kau sendiri bagaimana?” kata Pak Zul, sembari cepat-cepat menyapu matanya yang berair dengan tisu gulung yang kusodorkan padanya dari sisi lain meja tempat kami makan.
Aku? Aku sendiri juga belum punya rencana apa-apa. Jauh lebih tidak siap dibanding Pak Zul dengan segala rencana tak strategisnya. Aku belum menikah, belum punya anak, dan tak ada tanggungan lain kecuali biaya hidupku sendiri di pangkuan ibu kota dengan segala keruwetannya. Sementara Ibu Bapak di kampung juga tak pernah tahu apa yang kukerjakan di sini. Mereka hanya tahu bahwa aku bekerja di sebuah perusahaan yang iklannya muncul hampir setiap waktu di televisi. Satu-satunya kabar tentang pekerjaan yang mereka dapat dariku adalah bahwa ketika ada uang kiriman dariku artinya aku baru gajian.
“Aku ingin libur dulu sepertinya, Pak. Rehat sejenak sebelum cari kerja yang lain,” kataku.
Ketika kecil aku kerap membayangkan bahwa kerja dengan kemeja dan dasi di ruangan berpendingin adalah sebuah puncak kebahagiaan dalam hidup. Sebagai petani, Ibu dan Bapak kerap bilang bahwa menjadi petani akan selalu bertemu matahari dan membuat badan jadi hangus terbakar. Tapi tak ada yang pernah mengajarkanku bahwa kerja kantoran juga bukan berarti terbebas dari penderitaan. Saat aku stres dengan pekerjaanku, sesekali aku membayangkan wajah Ibu Bapak ketika mereka melarangku menyentuh cangkul dan traktor mereka. “Jangan jadi petani seperti kami. Hiduplah bahagia di kota sana,” kata Ibu. Dan hanya dengan mengingat ucapan itu aku jadi bertahan sampai dua tahun di perusahaan ini.
Pekerjaanku memang jauh dari sengat matahari, tapi ternyata itu juga menjauhkanku dari rembulan, bintang-bintang, juga orang-orang. Aku akan berangkat sebelum pagi terbit, dan aku akan pulang tertunduk saat malam datang. Tak ada yang benar-benar kukenal di perusahaan, juga di lingkungan tempat kosku. Aku hanya tahu Pak Zul punya dua orang anak dan satu orang istri di kampung. Dia tinggal di rumah sewa dekat dari kantor dan makanan favoritnya adalah apa saja yang disediakan Mbak Ratmi pemilik warteg dekat kantor kami.
Aku kerap membayangkan ketika Ibu dan Bapak lelah di sawah, dan mereka berleha-leha menghabiskan waktu di lingkungan yang udaranya segar, bersama para petani lain yang waktunya bergerak lambat di desa sana. Sesekali aku membayangkan seandainya kehidupan kantor juga bisa sekarib itu. Tapi rasanya hanya orang gila yang mengharapkan ramah tamah di ibu kota.
***
Ketika pulang kantor hari ini aku mampir ke Warung Bang Gondrong di dekat stasiun yang jaraknya tidak jauh dari tempat kosku. Ia masukkan sebotol anggur merah ke dalam plastik asoy hitam sesuai pesanan, dan aku membayarnya dengan uang pas enam puluh ribu rupiah. Bayanganku memanjang di jalan pulang. Kulihat ke atas, bulan bundar bersinar amat terang, amat tenang. Di sisinya ada bintang yang berkedip sama terangnya. Aku berhenti di sebuah halte angkot yang tak lagi terpakai. Kusam, gelap, dan bau karat. Kuambil pil antidepresan di saku kemejaku, dan kutelan bersama anggur merah yang kubeli tadi. Kuminum anggurnya sekali lagi. Dan sekali lagi. Kutenggak tanpa gelas sampai tenggorokanku terasa amat panas.
Malam belum terlalu larut dan aku belum mabuk rasanya, ketika bintang yang kuamati sejak tadi di langit terasa membesar, terasa mendekat. Ia kini berekor dan sepertinya jatuh di dekat lapangan bola di seberang jalan sana beberapa detik kemudian. Tak seorang pun yang melintas di daerah sepi ini. Tempatku mabuk ini memang katanya angker, tetapi aku yakin tak ada jenis hantu yang jatuh dari langit. Neraka kan letaknya di bawah tanah.
Aku masih merasa sehat jiwa raga ketika kulihat asap putih mengepul di bekas tempat benda itu jatuh. Sampai sesosok hitam legam muncul dan mengerang, dan aku lari sembunyi di balik pohon mahoni di belakangku. Aku pernah dengar bahwa orang bisa meminta tiga permintaan kepada bintang jatuh. Namun, makluk hitam itu tampaknya terlalu menderita untuk dimintai permintaan, apalagi tiga jumlahnya. “Tolong…” katanya. Suaranya samar tapi aku mendengarnya dengan jelas. “Hahahaha…” aku juga mendengar itu dengan jelas, sekarang dia sepertinya tertawa. “Saya tahu Anda ada di balik pohon itu. Kemarilah. Bantu saya. Tadi itu seru sekali…” aku juga mendengar itu, tapi aku tak tahu apa maksudnya.
Aku belum pernah tahu ada mitos yang menceritakan bahwa bintang adalah makluk. Tapi yang kulihat tampak nyata adanya. Aku mendekat dan bisa melihatnya dengan jelas. Dia punya dua tangan dan dua kaki, satu kepala dan singkatnya dia seperti manusia yang tubuhnya hitam legam. Kuurai jaring gawang yang menjerat kaki dan tangannya, dan dia kembali tertawa.
“Anda harus tahu betapa membosankan berputar-putar terus di atas sana. Saya sekarang bebas! Terima kasih… terima kasih,” katanya sambil menepuk-nepuk pundakku. “Tadi itu saya terjun seru sekali. Saya bertengkar dengan bulan dan matahari yang menahan saya untuk terjun bebas ke bumi. Tapi saya adalah bintang yang punya kehendak sendiri. Tidak seperti mereka…” katanya, sambil menunjuk ke langit. “Mereka rela menghabiskan hidup berputar-putar meminjam terang, menunggu redup sebelum menjadi debu selamanya.”
Aku tidak tahu dia makhluk apa. Tapi yang jelas dia tampak ramah. Ramah tamah yang asing buatku. Kau tahu, hidup di ibu kota telah membuatku kebal pada hal-hal aneh yang terjadi setiap hari. Bintang jatuh yang bisa bicara akan kumasukkan ke dalam daftar nanti. Sekarang aku agak pusing dan lelah, dan besok aku masih harus berangkat kerja meski aku punya firasat akan masuk daftar PHK.
“Ya… ya… ya. Sama-sama. Aku pamit pulang sekarang,” kataku.
“Tunggu! Anda manusia pertama yang saya temui di bumi. Bisa temani saya sebentar?”
“Aku ada urusan,” kataku. “Aku harus pulang.”
“Tak akan lama. Tolong, sebentar saja. Saya juga ada urusan. Saya akan reda sebentar lagi.”
“Reda?”
“Ya. Reda, seperti hujan. Semua cuaca akan reda, termasuk makhluk yang meminjam terang dari cuaca seperti saya.”
“Maksudmu sekarat?” kataku. Aku yakin dia tampak kesakitan. Aku bisa mendengar itu dari suaranya.
“Apa pun istilahnya di bumi, itu tidak penting juga. Semua makhluk akan reda pada akhirnya.”
“Aku bisa mengantarmu ke rumah sakit kalau kau mau.”
“Rumah sakit?”
“Ya. Tempat untuk orang sakit.”
“Aku tak ingin jadi tambah sakit.”
“Bukan. Mereka menyembuhkan yang sakit,” kataku.
“Oh! Di tempat saya, itu disebut waktu. Hanya waktu yang bisa menyembuhkan rasa sakit. Tapi waktu tak memiliki tempat di langit. Tak ada rumah sakit di langit. Bintang-bintang yang sombong sibuk berusaha menjadi paling terang dan mengadu kecepatan di atas sana. Rasa sakit bagi mereka adalah pengorbanan yang sepadan. Sampai mereka mati dalam rotasi yang sia-sia. Hahaha. Bintang-bintang memang aneh!”
Aku agak bingung dengan perkatannya. Tapi sebagian besar, entah bagaimana, aku bisa memahaminya. Aku putuskan untuk menemani makhluk ini karena dia meminta. Lagipula sebentar saja, katanya tadi.
“Eh. Ngomong-ngomong terima kasih atas tawarannya. Tapi saya baik-baik saja begini. Saya tidak membutuhkan rumah sakit. Saya yang memutuskan jadi begini, setelah bertengkar dengan-”
“Bulan dan matahari?” kataku. Aku yakin tadi dia sudah cerita soal itu.
“Ya… ya! Sudah saya ceritakan tadi. Itu sebetulnya rahasia langit. Tapi saya katakan saja sekarang, karena saya sudah bukan lagi makhluk langit seperti mereka.”
Bintang yang bertengkar dengan bulan dan matahari bagiku lebih terdengar seperti ide cerita sebuah fabel murahan untuk anak-anak. Rahasia apanya!
Kuambil rokok di saku celanaku. Di sudut lapangan bola itu aku dan makhluk ini duduk memandang langit. Entah bagaimana, aku bisa merasakan keceriaan dari kata-katanya. Seperti perasaan yang telah lama terpendam dalam kesepian yang panjang, seperti perasaan yang amat dekat denganku.
“Kenapa bertengkar?” kataku.
“Matahari punya gravitasi dan cahaya yang amat besar,” katanya sembari membuat gestur bulatan besar dengan kedua tangannya. “Itu membuatnya merasa berhak mengatur segala-galanya, termasuk kami. Semua bintang berlomba-lomba dalam rotasi yang memuakkan. Saya akan terpaksa berputar-putar dan berusaha menjadi lebih dari yang lain, dan begitu seterusnya sampai cahaya kami reda atas kuasa matahari. Bulan yang mendapat cahaya paling banyak dari matahari merasa berhak mengawasi kami setiap waktu. Suatu hari saya katakan pada mereka bahwa saya tak ingin menjadi lebih cepat atau lebih terang. Saya hanya akan berputar saat ingin, dan saya akan menjadi terang atas kehendak saya sendiri. Dan itu menjadi awal kemurkaan mereka. Tapi toh saya tetap terjun juga. Seru sekali ternyata!”
“Apanya yang seru?”
“Melakukan sesuatu yang sudah lama hanya bisa saya bayangkan!”
“Terjun?”
Makhluk itu mengangguk-angguk. “Anda sendiri, bagaimana? Apa ada sesuatu seperti itu di bumi? Seperti terjun yang kulakukan. Apa Anda punya sesuatu seperti itu yang ingin Anda lakukan?”
Kuembuskan asap rokokku di udara malam yang pegap. Kuhabiskan anggur di botol dalam tenggakkan terakhir. Kepalaku semakin pusing dan kurebahkan tubuhku di rumput lapangan itu. Kulihat bintang-bintang berkedip, diawasi bulan bundar yang terang sempurna. Tanpa sadar aku tersenyum mendengar pertanyaan makhluk di sampingku ini. Dia aneh sekali.
“Di kantorku, kalau ada yang tiba-tiba ingin berhenti kerja hanya untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan, itu disebut cari mati.”
Dia tertawa mendengar jawabanku. Aku tidak tahu apakah dia mengerti maksudku atau tidak. Aku terlalu malas untuk menanyakannya. Aku ingat besok masih harus berangkat kerja dan menunggu pengumuman penting. Tetapi kepalaku sudah sangat pusing untuk diajak bangun dan pulang. Apa pula yang kuharapkan dari pengumuman itu. Semua yang terjadi ya terjadilah. Aku mungkin butuh waktu merenung untuk memikirkan rencana hidupku setelah PHK. Tapi jangan sekarang. Tiba-tiba saja aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, tapi otakku terlalu malas untuk memberikan perintah pada mulutku. Aku bangkit dengan sedikit sempoyongan, dan kuberikan tanganku pada makhluk asing di sampingku.
“Ayo kita menari saja malam ini!” kataku.
Aku tahu dia tidak paham apa itu menari, jadi kutarik saja tangannya yang legam itu. Kuajarkan dia bagaimana cara paling artistik untuk bersenang-senang. Tak lama dia menunjukkan improvisasi. Gerakkannya lebih lincah dariku yang mabuk tentu saja. Tapi dia katanya sekarat. Ah, apa bedanya. Semua manusia di ibu kota juga merasa sekarat sepanjang waktu. Aku dan makhluk asing ini terus menari sembari sesekali nyala tawanya. Asap putih meluncur bebas dari mulut dan hidungku. Untuk sesaat, aku merasa terbebas dari ruang-ruang yang membatasiku dalam bergerak. Terbebas dari rutinitas, dari predikat-predikat, dari tubuh dan pikiranku sendiri.
***
Gerimis pagi itu membangunkan tidurku. Hanya lapangan kosong dan pakaianku yang terlanjur basah. Sisa mabuk semalam masih membekas di kepalaku. Sebagian hal terasa amat nyata, sementara sisanya sama sekali khayali. Aku sendiri tak bisa membedakan mana yang benar terjadi. Tapi ada hal lain yang membekas di kepalaku. Seperti ada reda yang mengusir kabut-kabut gelap di dalam sana. Harapan, mengetuk pintu kepalaku yang lama membatu.
Aku bergegas ke stasiun setelah kubersihkan tubuhku di kamar kos. Waktu sudah mununjukkan pukul sepuluh pagi. Sudah lewat satu jam dari jadwal masuk kantorku. Ponselku bergetar, Pak Zul mengirim pesan. Sebuah tautan berita yang menyatakan bahwa perusahaan kami memecat lebih dari seribu karyawan hari ini. Di jalanan orang-orang berdemo. Berita pagi penuh dengan kabar perusahaan lain yang juga melakukan pemangkasan jumlah karyawan. Tapi, kata Pak Zul, nama kami tak ada dalam daftar PHK. Pak Zul mengirim juga beberapa pesan suara. Dia terdengar girang bukan main di pesan pertama dan aku tak sempat mendengar pesan lainnya. Pintu kereta sudah terbuka, dan aku bergegas masuk. Hari ini aku akan berangkat ke arah berbeda. Sejujurnya aku tak tahu kereta ini akan membawaku ke mana. Tapi hari ini aku siap ke mana saja, asal bukan kantor.
*****
Editor: Moch Aldy MA
Perumpamaan lingkaran setan yang luar biasa, dan sangat lucu saat ada manusia yang keluar dari lingkaran itu,🤣🤣