Dalam tatanan masyarakat berkelas seperti saat ini, eksistensi sebuah negara pada akhirnya akan mendorong pembentukan institusi bersenjata. Militer dan polisi dihadirkan sebagai aktor keamanan negara guna mempertahankan kepentingan suatu negara. Secara umum, kedua aktor keamanan ini memiliki peran yang berbeda. Militer memiliki peran untuk mempertahankan negara dari ancaman militer dari negara lain, sedangkan polisi memiliki peran untuk menjaga keamanan di dalam negeri.
Namun begitu, peran militer tampaknya tidak bisa hanya dipahami dari fungsi umumnya saja–sebagai alat pertahanan dari ancaman luar negeri. Dalam konteks negara di era kapitalisme, penguasa seringkali melibatkan militer dalam ranah internal guna mengamankan kepentingan ekonomi-politik milik kelas kapitalis. Celakanya, hal ini mereka lakukan dalam situasi negara yang sedang damai. Menariknya, pelibatan militer dalam ranah internal pada dewasa kini telah dibungkus dengan dalih tugas perbantuan militer atau Military Operation Other Than War (MOOTW)/Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Baca juga:
Ihwal Hubungan Militer dan Kapitalisme
Militer sudah eksis jauh sebelum kapitalisme menjadi virus yang menginfeksi dunia. Belum ada catatan resmi yang menjelaskan bagaimana manusia membentuk institusi kemiliteran sebagai respon dari bagaimana manusia menganggap manusia lain sebagai ancaman. Namun, kita dapat melacak bagaimana manusia membentuk institusi militer secara profesional. Catatan kuno telah menjelaskan bahwa Sargon yang Agung—penguasa Kekaisaran Akkadia antara tahun 2334 SM-2279 SM—adalah penguasa dunia pertama yang menciptakan konsep tentara profesional pertama.
Eksistensi militer pada akhirnya memiliki peran penting untuk mempertahankan suatu negara dari segala bentuk ancaman yang bersumber dari negara lain. Atas dasar itu, hubungan antara negara dan militer adalah hubungan yang saling berkaitan erat. Eksistensi suatu negara, pada akhirnya akan mendorong pula eksistensi militer di negara tersebut.
Kondisi seperti ini sejalan dengan apa yang dicatatkan oleh sahabat karib Marx—Engels—dalam karya terkenalnya yang berjudul The Origin of the Family, Private Property and the State (1884). Ia menjelaskan bahwa sebuah negara muncul sebagai bentuk dari bagaimana kelas penguasa mempertahankan kekuasaan mereka (Engels, 1884). Maka dari itu, dalam upaya mempertahankan atau bahkan meraih kekuasaan, negara membentuk militer sebagai alat mereka untuk mencapai tujuan tersebut.
Sejalan dengan apa yang ditulis oleh Engels, Karl Liebknecht dalam magnum opus-nya yang berjudul Militarismus und Antimilitarismus (1907), menyebut bahwa eksistensi militer didasari oleh konflik antar bangsa dan negara yang didasari oleh persaingan dalam meraih keunggulan kekuatan sosial, politik, dan ekonomi. Maka dari itu, menjadi penting bagi kita untuk memahami bahwa militer tidaklah bersifat netral—di mana militer dianggap sebagai pelindung dari masyarakat di suatu negara. Sejarah telah mencatat bagaimana eksistensi militer memiliki hubungan yang mesra dengan kelas dominan pada tatanan masyarakat berkelas.
Lantas, bagaimana hubungan militer dan kapitalisme? Bagi pemikir Marxis seperti Karl Liebknecht, relasi keduanya adalah relasi tuan dan pelayan—militer adalah pelayan bagi kapitalisme. Lebih dari itu, saya cukup sepakat dengan argumen Sangaji dalam tulisannya. Ia menyebut bahwa demokrasi liberal—sebagai sistem yang menyokong kapitalisme—pada praktiknya akan memaksa militer untuk tunduk kepada penguasa sipil atas dalih kontrol sipil objektif dan membuat militer menjadi pelayan bagi kapitalisme dengan menggunakan narasi prajurit profesional—prajurit yang tidak boleh berpolitik praktis.
Meskipun relasi keduanya terlihat mesra, Liebknecht menyebut bahwa militer dapat menjadi masalah bagi kapitalisme itu sendiri. Dalam hal ini, beban anggaran militer yang sangat besar telah menjadikan masalah bagi para kapitalis. Namun, sebagai sebuah sistem yang perlu stabilitas, kapitalisme tetap membutuhkan militer untuk mencapai tujuan ekspansi kapital. Sejarah telah mencatat bagaimana imperialisme sebagai tahap tertinggi dari kapitalisme telah memantik peperangan di wilayah bumi Selatan. Militer yang merupakan pelayan bagi kapitalisme diperintahkan untuk melakukan ekspansi dan mempertahankan kekuasaan para imperialis pada masa damai—kala imperialis telah memenangkan perang yang mereka pantik.
Peran Militer dalam Masa “Damai”
Masa damai bagi para kapitalis adalah masa di mana kapitalisme dapat melakukan akumulasi kapitalnya di situasi dunia yang stabil—tanpa peperangan. Namun, bagi kelas proletar kedamaian ini berarti sebaliknya. Ketika kapitalisme dapat bernapas lega, para proletar di saat yang bersamaan dicekik oleh para borjuis. Mereka dirampas nilai lebihnya untuk menghasilkan surplus kapital.
Kapitalisme senantiasa membutuhkan aparatus seperti militer untuk dapat bernapas lega. Maka dari itu, Ia memerintahkan militer untuk dapat mengawal mereka dalam situasi perang maupun damai. Hal ini dapat terjadi karena militer sejatinya memiliki dua peran dalam sebuah tatanan masyarakat, yaitu sebagai alat bertahan juga menyerang musuh dari luar negara dan melindungi kapitalisme dari kekuatan revolusioner (Liebknecht, 2004).
Pelibatan militer dalam masa damai dapat dilihat dari banyak hal. Para kapitalis melalui elite politik yang dikuasainya telah memerintahkan militer untuk menjadi alat pukul guna menghadapi kekuatan revolusioner di suatu negara yang sedang mengupayakan perlawanan terhadap kapitalisme. Selain itu, militer juga aktif dalam penjagaan objek vital milik kapitalis, seperti apa yang terjadi di beberapa kasus penggusuran yang melibatkan militer sebagai alat pukulnya dan dari kasus di mana militer terlibat dalam menjaga tambang-tambang milik para kapitalis. Bahkan, dalam beberapa kasus, militer dilibatkan pula dalam proses produksi. Hal ini baru saja menjadi wacana di negara ini, kala pemerintah mencanangkan akan merekrut 24 ribu tamtama untuk mewujudkan agenda ketahanan pangan ala Prabowo.
Baca juga:
- Dari Dwifungsi ke Multifungsi: Melihat TNI Menari di Atas Kuburan Reformasi
- Perluasan Cakupan Militer Dalam RUU TNI: Dilema Perwira Nonjob?
Pada masa damai, militer juga berperan dalam hal-hal yang bersifat penjagaan ideologi yang menyokong kapitalisme. Di beberapa negara seperti Indonesia, militer memiliki peran penting dalam pemberangusan kekuatan revolusioner di masa lalu. Terpatri dalam memori kita bagaimana militer menjadi aktor utama dalam pemberangusan kelompok revolusioner pada 1965. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan G30/S (Gerakan 30 September) menandai fase penting dalam sejarah Indonesia, di mana bibit kapitalisme yang sudah ditanam sebelumnya mulai tumbuh subur di negeri ini.
Guna mempertahankan ideologi yang menjaga kapitalisme untuk tetap hidup, militer berperan dalam menjaga ideologi revolusioner agar tetap padam. Risiko akan menanti jika terdapat pihak yang dengan lantang mengemukakan ide revolusionernya. Menjadi hal yang tidak asing di benak kita bahwa militer cukup aktif dalam membatasi segala hal yang berkaitan dengan ideologi revolusioner, seperti pelarangan buku, pembubaran diskusi, hingga rutin membangkitkan hantu komunis yang terus menggentayangi rakyat setiap akhir September.
Pada akhirnya, narasi kaum liberal yang menyatakan bahwa keterlibatan militer dalam masa damai dalam kerangka tugas perbantuan atas sipil perlu kita lihat dalam kacamata kritis. (*)
Editor: Kukuh Basuki