Redaksi Omong-Omong

Arpeggi

Moch Aldy MA

5 min read

Ah, shit. Here we go again…

***

Namaku Arpeggi. Dan beginilah kehidupanku sekarang. Hidup sebagai ikan Angler dengan ingatan dan kesadaran layaknya manusia. Ironis, memang.

Barangkali inilah yang disebut reinkarnasi. Untuk yang kesekian. Dilahirkan kembali. Betapa aduh sekali. Aku sudah muak sebenarnya. Seingatku, dulu, aku pernah hidup sebagai fungi di atas tinja sapi, sebagai kapibara yang dimukbang koloni piranha, sebagai bunga daisy yang dipetik anak TK lalu dibuang ke selokan, sebagai pohon kamboja yang tertimpa keranda dengan suara tulang patah yang masih bisa kuingat, sebagai perempuan kelas menengah pada abad pertengahan yang dibakar sebab dianggap tukang sihir hanya karena terlalu pintar membaca, dan sebagai prajurit berpangkat rendah yang dibunuh granat tangan sebelum sempat tahu untuk apa ia ikut perang.

Kini, aku sejenis ikan paling buruk rupa yang hidup di zona abisal. Aku lupa siapa ilmuwan kelautan yang dengan semena-mena memberi predikat demikian. Mungkin seseorang yang terlalu lama tidak disentuh pasangannya, lalu menumpahkan frustrasinya pada spesies tak berdosa.

Tapi tak apa. Lagi pula, di sini, tak ada yang peduli pada jelek atau rupawan. Tak ada kontes kecantikan di antara organisme bercahaya. Tak ada kamera. Tak ada standar. Yang terpenting bisa tetap makan dan bertahan dari kepunahan.

Di laut dalam, tak ada beda antara pagi dan malam. Semua sama. Pagi gelap, malam gulita. Tak ada sinar mentari yang sanggup menembus seribu meter di bawah permukaan laut. Bahkan matahari pun tampaknya enggan berurusan dengan kami. Bagi makhluk abisal, satu-satunya cahaya hanyalah bioluminesensi. Emisi cahaya buatan yang dimungkinkan oleh reaksi-reaksi kimia. Semacam sulap yang diciptakan tanpa keajaiban. Suatu fitur alam dengan kegunaan yang beragam. Entah untuk pertahanan diri, seperti yang dilakukan kelompok dinoflagelata, ubur-ubur, dan beberapa jenis cumi-cumi. Demi kebutuhan predasi seperti ikan angel dan hiu-hiu tertentu yang terlalu malas berburu. Atau sebagai sinyal kawin seperti odontosyllis enopla alias cacing bermuda.

Sebagai yang pernah manusia, kurasa, spesies menyedihkan itu pun melakukan hal yang serupa. Atau minimal mirip-mirip. Mencipta cahaya buatan dari reaksi-reaksi semantik agar dapat punya alasan untuk bertahan. Reaksi kimia mereka berupa kata-kata, doktrin, cita-cita, slogan, dan sebagainya. Menurutku, mereka mengembangkan makna dan harapan di dunia nirmakna serta nirharapan, seperti anak kecil yang menggambar pelangi di tembok penampungan pengungsi. Beberapa dari mereka menyebutnya negara, beberapa yang lain masyarakat, dan sebagian besar menyebutnya tuhan.

Kupikir, begitulah evolusi bekerja. Selalu spesies yang mengalah pada keadaan dan lingkungan. Bukan sebaliknya. Apalah arti kehendak bebas di hadapan kenyataan? Hanya mantra filosofis yang tak sanggup menyulap nasi basi menjadi sesuatu yang siap santap. Itulah yang kupelajari saat masih hidup sebagai makhluk yang katanya paling sempurna. Manusia. Homo sapiens. Binatang cerewet dengan obsesi eksistensial.

Selain gelita, di sini, sangatlah dingin. Suhunya hanya sekitar dua derajat celsius. Suhu yang membikin kewarasanmu mengerut. Selain dingin, juga penuh tekanan. Tekanan hidrostatis, tepatnya. Sependek pemahamanku, di bawah tekanan, semua yang bernyawa dipaksa beradaptasi. Berevolusi sedemikian rupa dan cara. Tidak ada ruang untuk angan-angan atau prokrastinasi. Hanya ketepatan dan seleksi.

Sesekali, naikilah kapal selam, kunjungilah laut dalam, niscaya kau tahu, setiap spesies akan mampus bila tidak melakukan hal demikian. Sependek pengetahuanku, tekanan hidrostastis ini akan meningkat sekitar satu ATM untuk setiap sepuluh meter kedalaman air. Jika kau punya jam tangan dengan keterangan tiga ATM, itu berarti ia hanya tahan dibawa menyelam hingga kedalaman tiga puluh meter. Di tempatku sekarang? Tekanan mencapai ratusan kali itu. Tapi aku bertahan. Dengan tubuh yang aneh dan struktur molekul yang lentur.

Bagi hewan-hewan selain manusia, tekanan biasanya mengubah bentuk morfologis mereka. Memberi mereka sirip tambahan, mata yang menyala, atau tubuh transparan. Bagi manusia, tekanan mengubah seluruh aspek dalam dirinya. Menjadi suatu spesies yang berbeda dan benar-benar baru. Kadang hanya dari tekanan sosial ringan saja, manusia bisa mengganti sapaan menjadi he/they atau she/they, membotaki atau membondoli rambutnya, hingga mewarnainya dengan warna-warna terang dan menamainya “healing“. Semacam mekanisme pertahanan diri. Mungkin juga mekanisme koping.

Tapi yang jelas, alam mengajarkan bahwa hewan berwarna mencolok menandai ketoksikan. Bahasa ribetnya, aposematisme. Sederhananya, agar hewan lain, khususnya predator, tak berani macam-macam. Tapi manusia tidak cukup puas menjadi beracun. Mereka ingin diakui sebagai unik. Sering kali, mereka malah menyuntikkan bisa ke dirinya sendiri demi terlihat relevan.

Biologi tak pernah gagal membuatku terkesan. Tidak seperti manusia, yang berkali-kali membikinku ingin meludahi wajah mereka.

***

Aku belajar cukup banyak dari kehidupanku sebelumnya. Waktu itu, aku budak korporat perlente. Bekerja dari pukul sembilan pagi sampai lima sore. Lima kali dalam satu minggu. Begitu, secara redundan. Sering lembur. Kadang masuk di hari Sabtu. Kadang rapat tanpa jeda makan siang. Aku bangun, mandi, naik transportasi umum, duduk di depan layar, mengetik angka atau kata-kata yang tak pernah kupedulikan maknanya, lalu pulang dalam keadaan setengah sadar.

Seolah-olah hidupku adalah templat default yang dipasang pabrik pada manusia urban sebelum mereka menemukan cara untuk mengkustomisasi dirinya sendiri.

Sebagai seorang komuter, waktuku habis dengan menontoni punggung orang-orang asing berwajah kusut masai yang tak akan pernah kutahu apa cita-cita mereka, siapa nama mereka, atau bagaimana hari mereka. Di jalan raya, di kursi tunggu peron, di dalam gerbong kereta. Semuanya seperti klip video yang diputar ulang setiap hari, hanya beda baju dan cuaca.

Alih-alih spektator, sebenarnya, aku lebih mau jadi aktor. Tapi panggung hidup rupanya tak sudi memberiku skrip. Tak heran bila pada gilirannya, aku dilanda kebosanan luar biasa kala mengamati para NPC. Tapi walau bagaimanapun, aku cuma pekerja teks komersial. Bukan etnograf. Mereka bukan subjek penelitianku. Dan aku tak pernah berhasrat membuat jurnal akademik dengan bahasa rigid tentang bagaimana kelas pekerja di wilayah perkotaan saling mengimroatuskan diri.

Kalau boleh jujur, jenis kehidupanku yang sebelumnya itu, ketimbang kehidupan, lebih terdengar seperti kutukan paling menyedihkan yang bisa dicetuskan dewa-dewi di Gunung Olimpus. Tak ada kebahagiaan imajinatif dari kerepetitifan yang menjemukan. Setiap hari serupa pengulangan buruk dari skrip yang tak pernah kutulis. Aku bahkan merasa, tubuhku bukan lagi tubuhku, diriku bukan lagi diriku. Aku bagai kapal Theseus yang setiap kerangkanya telah diganti dan diperbaharui sepanjang waktu. Tapi bukan oleh filsuf, melainkan oleh HRD dan sistem absensi sidik jari yang kadang gagal membaca tanganku sendiri.

Tapi yang paling banter kulakukan saat itu hanyalah memenuhi kedua telingaku dengan How to Disappear Completely. Lagu yang kuputar berulang kali, seperti mantra, seperti doa, seperti teriakan lirih yang dikemas dalam suara melodius. Dan, merobotkan diri. Memekaniskan hari-hari. Aku berevolusi menjadi robot tak berperasaan yang bisa menyelesaikan soal CAPTCHA.

Barangkali, lelah akan kegagalan bertubi-tubi membikinku menjadi sosok yang mudah menyerah. Tapi, siapa yang bisa menyalahkan makhluk rapuh yang terlalu sering dipukul realita? Lelah adalah lelah. Menyerah tetaplah menyerah. Aku tahu itu. Aku tidak membenarkan. Tapi aku juga tidak peduli. Maka, pada suatu minggu malam, kujadwalkan untuk mengakhiri hidupku. Tidak dramatis. Tidak heroik. Tidak diiringi puisi.

Tiga hari sebelum memutuskan meregang nyawa, kukuras tabunganku yang tak seberapa. Kualihfungsikan jadi dana kepuasan instan. Melampiaskan kehampaan. Mengunjungi sebuah kasino. Bermain judi. Mengisap sabu. Dan, menyewa PSK. Bukan sebab nafsu, tapi sebab kesepian dan ingin merasakan sesuatu. Setelahnya, aku melompat dengan posisi kepala terlebih dahulu dari apartemenku yang berada di lantai tiga belas.

Sebelum melompat, aku sempat menulis surat wasiat. Dalam testamenku itu, kutekskan bahwa aku ingin pulang. Sebenar-benarnya pulang. Bukan ke rumah. Bukan ke kampung halaman. Tapi ke nihil. Ke ketiadaan. Ke tempat di mana tidak ada aku, dan tidak ada hal untuk dipikirkan.

Semesta yang mahabercanda, sialnya, menerjemahkan kalimat itu dengan melahirkanku kembali sebagai ikan laut dalam. Ayolah. Aku pun tahu kalau laut adalah tempat berpulang yang paling purwa. Bahwa semua air mata manusia akan kembali ke sini. Bahwa segala kesedihan akan bermuara di kedalaman asin yang nyaris tanpa dasar. Tapi itu bukan berarti aku ingin pulang ke sana dan dilahirkan sebagai ikan Angler. Aku ingin pulang pada ketiadaan. Pada ruang kosong yang hening. Bukan pada tubuh berlendir yang bercahaya palsu di ujung kepala.

Aku mengerti, nenek moyang manusia mungkin adalah ikan atau makhluk laut mikroskopis yang hidup sekitar lima ratus empat puluh juta tahun yang lalu. Aku paham, secara filogenetik, aku hanya kembali ke titik awal. Kembali ke pangkal pohon kehidupan. Dan, kehidupan itu sendiri muncul dari lautan. Yang luasnya mencapai seratus empat puluh juta mil persegi, atau sekitar tujuh puluh dua persen dari luas permukaan bumi. Aku sadar, iklim dan cuaca, bahkan kualitas udara yang dihirup manusia, begitu bergantung pada interaksi antara laut dan atmosfer, yang masih belum sepenuhnya dipahami. Aku tahu, lautan tidak hanya menjadi sumber makanan utama bagi kehidupan yang dihasilkannya, tetapi sejak catatan sejarah paling awal, laut telah memungkinkan perdagangan dan perniagaan, petualangan dan penemuan. Aku mafhum, ketika benua-benua telah dipetakan dan setiap penjuru hampir dapat diakses melalui jalur darat atau udara, sebagian besar penduduk dunia tinggal tidak lebih dari dua ratus mil dari laut dan mempunyai hubungan personal dengannya.

Tapi, aku tetap benci laut. Sebab laut tidak bisa memeluk. Tidak bisa menjawab. Tidak bisa berkata, “Semua akan baik-baik saja.” Laut hanya menenggelamkan.

Aku bahkan tak bisa berenang saat masih jadi manusia dan mengidap talasofobia. Takut laut. Takut ruang gelap yang dalam dan tak terbatas. Maka, salah satu penyesalan dalam kehidupanku sebelumnya, tentu saja adalah tak menulis surat wasiat dengan spesifik dan benar. Semestinya kutulis, “Aku ingin pulang ke ketiadaan, bukan ke laut.”

Penyesalanku yang paling mungkin kedua adalah tak kuliah fisika nuklir. Mempelajari inti atom dan perubahannya. Memahami bagaimana menciptakan senjata pemusnah massal. Demi mempercepat berlangsungnya hari kiamat. Bukan sebab aku ingin membunuh semua orang. Tapi sebab aku ingin semua orang berhenti pura-pura baik-baik saja.

Kau mesti tahu, pikiranku memanglah penjahat paling bangsat yang berkeliaran bebas, yang sepertinya lebih baik dipenjara di tempat terpencil semacam Pulau Alcatraz.

Mungkin aku hanya membutuhkan seseorang yang mendekapku dengan erat, hangat, dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Entahlah, aku hanya Arpeggi. Ikan laut dalam yang jelek dan jangan-jangan jadi aneh sebab tak punya kawan untuk bercerita.

Maaf, kalau ceritaku berantakan. Aku bahkan tak tahu akan memulai dan mengakhiri cerita ini dengan seperti apa dan bagaimana.

(Jakarta, 2023)

*****

Editor: Ghufroni An’ars

Moch Aldy MA
Moch Aldy MA Redaksi Omong-Omong

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email