Pembaca Situasi

Memaknai Ulang Pendidikan Lingkungan

Ahmad Septian

2 min read

Dua hari sebelum bencana banjir dan longsor di beberapa daerah Pulau Sumatra, tepatnya pada perayaan Hari Guru Nasional 2025 di Indonesia Arena, kawasan GBK, Jakarta, ribuan guru menyaksikan Presiden Prabowo Subianto menghendaki adanya integrasi pendidikan lingkungan hidup ke dalam kurikulum.

Entah isyarat apa yang sedang ditunjukkan oleh alam, yang jelas alam seolah membantah dengan realita yang sebaliknya. Ada semacam hubungan kosmologis yang muncul antara pernyataan Presiden Prabowo dengan yang sebetulnya terjadi di negeri ini. Pembalakan liar terhadap pohon-pohon di Pulau Sumatra, menjadi saksi betapa orasi-orasi politik tak selalu sejalan dengan kebijakan yang ada. Nampaknya, sekarang rakyatlah yang menanggung deritanya.

Keinginan Prabowo untuk mengintegrasi pendidikan lingkungan hidup ke dalam kurikulum memang sangat mulia. Namun, pendidikan bukanlah proses cetak biru yang instan. Anak-anak generasi hari ini jauh lebih logis dari pandangan konservatif para pemangku kebijakan. Selama yang diinstruksikan bertolak belakang dengan kenyataan kebijakan pemerintah, maka pendidikan lingkungan hanya sebatas perintah mulia dari lisan.

Kesadaran dan Tindakan Nyata

Integrasi konten pendidikan lingkungan hidup dalam kurikulum nasional Indonesia bukannya tidak ada. Pada aspek intrakurikuler, materi dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan tersedia dalam mata pelajaran IPA, dalam mata pelajaran Geografi juga terdapat materi perubahan iklim, pola penggunaan lahan, dan pelestarian alam.

Baca juga:

Pada aspek kokurikuler, salah satu tema kegiatan untuk mengasah empati murid terhadap lingkungan yakni melalui kegiatan dengan tema gaya hidup berkelanjutan. Pada aspek ekstrakurikuler, sekolah-sekolah juga dituntut untuk memiliki program sekolah hijau, penanaman pohon, dan pengolahan sampah plastik yang melibatkan siswa.

Jadi, pendidikan lingkungan hidup pada dasarnya sudah ada di dalam kurikulum kita. Lalu, pertanyaannya, sejauh mana konten materi tersebut berdampak pada perilaku peserta didik?

Dalam orientasi pendidikan lingkungan yang dimiliki Finlandia, misalnya, tujuan utama yang diharapkan dari pendidikan lingkungan bukan hanya mengarah pada pembentukan kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman. Lebih jauh lagi, harapan yang ingin dicapai adalah partisipasi aktif warga negara Finlandia terhadap lingkungan. Ada variabel locus of control dan niat dalam bertindak untuk lingkungan.

Sementara di Cina, pendidikan lingkungan telah melalui fase yang panjang. Pada fase kedua tahun 1983 hingga 1992, pendidikan lingkungan di Cina, seperti yang dijelaskan oleh Tian & Wang (2016), adalah periode pembentukan dan pengembangan pendidikan lingkungan. Selama fase ini, proteksi lingkungan sedang dilembagakan, dan penekanannya terletak pada peningkatan kesadaran lingkungan dari pejabat pemerintah dan masyarakat.

Artinya, ada garis persamaan yang mendasari Finlandia dan Cina dalam mengembangkan pendidikan lingkungan dalam kurikulum mereka, yaitu menginsersi nilai pendidikan itu ke tubuh birokrasi dan budaya masyarakat. Dan benar, tak ada kontradiksi antara kebijakan pemerintah terkait proteksi lingkungan, partisipasi warga, dan konten materi di kelas.

Keteladanan Pemerintah

Perlu ada keseriusan jika ingin ada integrasi pendidikan lingkungan dalam kurikulum. Selama realitas politik selalu bersebrangan dari nilai mulia kepedulian alam yang diajarkan kepada anak-anak, pendidikan itu tidak berguna sama sekali, dan alam kita akan tetap rusak.

Gagasan Outdoor Education sebagaimana yang diterapkan Finlandia yang mempersilakan siswa belajar dari alam langsung perlu didukung penuh oleh pemerintah sebagai penyedia sarana pembelajaran. Bagaimana mungkin siswa dapat belajar dari alam sementara alamnya sudah rusak?

Jika berbicara pendidikan lingkungan, pembelajaran yang ideal adalah ketika siswa dapat secara langsung bertemu dan melihat alam dan entitas yang berada di dalamnya hidup. Jika alam itu tersedia dalam bentuk potongan video dan gambar melalui layar pintar, maka tak ubahnya siswa seperti bermain gadget di kamarnya. Mereka tidak akan memiliki sense of belonging terhadap alam.

Baca juga:

Sekarang, di tengah perubahan iklim dan maraknya deforestasi yang terjadi di Indonesia, apa yang bisa tetap dipelajari dari alam Indonesia untuk siswa-siswa di sekolah selain dari dampak krisis yang terjadi?

Hendaknya, pemerintah memikirkan kerangka pendidikan lingkungan ini secara komprehensif, bukan hanya mengumpulkan para ahli pendidikan dan ahli lingkungan dalam sebuah seminar dan workshop penyusunan silabus. Pemerintah perlu berkomitmen untuk memproteksi lingkungan dari pembalakan liar dan industri ekstraktif.

Ketiadaan komitmen dan keteladanan dari pejabat publik untuk menjaga lingkungan hidup, dari pembalakan liar, praktik pertambangan ugal-ugalan, deforestasi, tercerabutnya keanekaragaman hayati hanya akan menyisakan derita di punggung rakyat yang secara langsung bersinggungan dengan alam, sebagaimana yang terjadi di Sumatera.

Pendidikan lingkungan hidup yang sejati tidak cukup berbicara tentang teori dampak buruk deforestasi di ruang kelas. Ia harus menyentuh akar budaya kosmologis yang menjadikan masyarakat memiliki interdependensi dengan alam. Tanpa adanya pendefinisian ulang terhadap hal ini, seluruh harapan dan cita-cita terhadap kelestarian alam dan hutan-hutan Indonesia hanya akan menjadi hiasan pidato semata.

 

 

Editor: Prihandini N

Ahmad Septian
Ahmad Septian Pembaca Situasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email