Membongkar Alibi “Cuaca Ekstrem” di Balik Kejahatan Industri Ekstraktif Sumatra Utara

Mariano Ombo

2 min read

Sembilan ratus dua puluh satu nyawa melayang di peristiwa banjir Sumatra (Kompas.com, 7 Desember 2025). Di balik angka statistik ini, tersimpan realitas yang mengerikan: warga negara mati tertimbun tanah airnya sendiri. Namun, respons yang muncul dari corong-corong kekuasaan selalu seragam dan basi: menyalahkan curah hujan tinggi dan cuaca ekstrem. Hujan dijadikan kambing hitam, seolah-olah air dari langit adalah pembunuh berdarah dingin.

Padahal, jika kita berani jujur, peristiwa di Tapanuli Selatan hingga Sibolangit bukanlah “bencana alam” murni. Ini adalah bencana ekologis buatan negara. Hujan hanyalah pemicu (trigger), namun pelurunya telah lama disiapkan oleh negara melalui perselingkuhannya dengan industri ekstraktif.

Keamanan Semu dan Kemunafikan Negara

Dalam diskursus keamanan tradisional, negara selalu berbusa-busa bicara soal kedaulatan dan perlindungan dari musuh asing. Peter Hough (2015) menelanjangi kemunafikan ini. Ia menegaskan bahwa obsesi negara pada keamanan militer sering kali menutupi fakta bahwa ancaman lingkungan membunuh jauh lebih banyak orang daripada perang.

Baca juga:

Bagi Hough, ketika negara gagal melindungi warganya dari ancaman ekologis, yang notabene disebabkan oleh kebijakan negara itu sendiri, maka konsep “keamanan nasional” menjadi omong kosong belaka. Negara yang membiarkan industri mengeruk perut bumi hingga tanah di atasnya runtuh menimpa pemukiman warga, pada hakikatnya, sedang melancarkan agresi terhadap rakyatnya sendiri. Tidak ada bedanya antara dibunuh oleh rudal musuh atau dibunuh oleh longsor akibat izin tambang yang ugal-ugalan. Keduanya adalah bentuk kegagalan negara menjamin hak hidup (Hough, 2015).

Industri Ekstraktif dan Pemiskinan Struktural

Menggunakan pisau analisis Lorraine Elliott (2012), kita melihat bahwa tragedi di Sumatra Utara adalah manifestasi brutal dari apa yang disebutnya sebagai kegagalan institusi (institutional failure). Elliott menolak narasi bahwa kelangkaan atau bencana adalah takdir alam. Sebaliknya, ia menekankan pada struktur politik yang menciptakan kerentanan.

Di Sumatra Utara, kerentanan ini diciptakan secara sistematis. Negara, demi mengejar pertumbuhan ekonomi, memberikan karpet merah bagi industri ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan sawit, dan pembalakan untuk memperkosa lingkungan. Hutan yang berfungsi sebagai penyangga ekosistem ragam makhluk hidup dibabat habis, tanah dikeruk isinya, dan struktur geologis dirusak. Ketika hujan turun, tanah yang telah kehilangan daya ikatnya itu longsor dan menghantam mereka yang paling miskin.

Elliott (2012) menyebut ini sebagai “environmental poverty” (hlm. 8). Rakyat kecil didorong ke pinggiran, dipaksa tinggal di zona bahaya karena ruang hidup yang aman telah dikapling oleh korporasi. Kematian 921 orang ini adalah konsekuensi logis dari kebijakan negara yang lebih mencintai investor daripada nyawa warganya. Negara tidak hanya absen, tetapi hadir sebagai aktor yang memperparah risiko melalui perizinan yang eksploitatif.

Lebih menyayat hati lagi, di tengah ancaman kematian yang nyata ini, muncul kabar mengenai pemangkasan anggaran penanggulangan bencana atas nama efisiensi. Ini adalah ironi yang mematikan. Di satu sisi, negara memacu mesin-mesin perusak lingkungan (industri ekstraktif) yang meningkatkan risiko bencana, di sisi lain, negara melucuti kemampuan dirinya sendiri untuk menolong korban. Ini seakan menegaskan posisi negara yang “sengaja” membiarkan warganya mati tanpa perlindungan memadai. Anggaran dipangkas, sementara izin tambang terus diobral. Prioritasnya jelas: profit di atas nyawa.

Kejahatan Terencana: Sebuah Refleksi

Melihat foto-foto evakuasi jenazah dan lumpur yang menelan rumah, kita harus berhenti menyebut ini musibah. Ini adalah kejahatan.

Baca juga:

Negara sering kali melakukan “sekuritisasi” lingkungan dengan cara yang salah kaprah. Mengutip Hough (2015), negara cenderung reaktif: mengirim tentara, polisi, dan tim SAR setelah mayat bergelimpangan, hanya untuk terlihat bekerja dan heroik di mata media. Padahal, pengerahan pasukan di atas kuburan massal bukanlah keamanan. Itu adalah manajemen pasca-pembunuhan.

Keamanan sejati, dalam perspektif kritis, menuntut penghentian total terhadap aktivitas industri yang merusak daya dukung lingkungan. Selama negara masih menjadikan hujan sebagai kambing hitam atas dosa-dosa ekologisnya, dan selama anggaran mitigasi dipangkas demi efisiensi yang salah sasaran, maka setiap kematian akibat longsor dan banjir di negeri ini harus dicatat sebagai “pembunuhan oleh negara” (state-sanctioned killing).

Rakyat Sumatra Utara tidak butuh ucapan belasungkawa dari pejabat yang tangannya berlumuran stempel izin tambang. Mereka butuh negara yang berhenti menjual tanah air mereka kepada penjahat lingkungan. Jika tidak, kita semua hanya sedang mengantre giliran untuk menjadi korban selanjutnya dalam daftar panjang tumbal pembangunan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Mariano Ombo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email