Bahlil Lahadalia, Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri ESDM, beberapa waktu lalu mengeluarkan pernyataan bahwa partainya akan memberikan dukungan agar Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Dukungan yang dilakukan Bahlil melalui partainya terdengar sangat menjengkelkan di telinga penulis, terlebih ia sering mengeklaim dirinya sebagai mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Padahal jika kita melihat sejarah, Soeharto selama orde baru melakukan intervensi yang begitu dalam hingga menciptakan dualisme di tubuh HMI.
Dukungan Bahlil untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto tentu bertolak belakang dengan realita bahwa HMI pada masa orde baru menjadi salah satu poros perlawanan atas kekuasaan otoriter yang dilakukan Soeharto.
Jika Bahlil masih mengklaim dirinya sebagai mantan aktivis HMI, sudah seharusnya ia belajar dari sejarah panjang bagaimana HMI melancarkan perlawanan atas kekuasaan Soeharto. Maka, masih relevankah penganugerahan gelar pahlawan nasional hari ini?
Sarat Kepentingan Politik
Gelar pahlawan nasional awal mulanya digagas oleh Bung Karno dengan tujuan mulia, yakni untuk menghormati jasa para pahlawan yang telah mendedikasikan dirinya untuk kemerdekaan Indonesia.
Berawal dari Keppres pada masa Soekarno, kini gelar pahlawan telah mengacu kepada UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan sehingga memiliki landasan hukum yang jelas. Namun, gelar pahlawan saat ini tidak lagi sebatas menghormati jasa para pahlawan kemerdekaan, lebih dari itu gelar pahlawan telah berubah menjadi agenda kepentingan politik.
Subjektivitas dalam penganugerahan gelar pahlawan lebih banyak ditonjolkan ketimbang sisi objektifnya. Seperti yang kita ketahui bersama, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan tengah melakukan proyek penulisan ulang sejarah yang sarat akan kepentingan politik. Ini adalah upaya pemerintah untuk menghapus dosa-dosa pemerintah di masa lalu dengan membuat sejarah versi resmi.
Baca juga:
Dalam versi baru ini, banyak peristiwa sejarah pada masa orde baru lenyap begitu saja. Hal ini dapat dibaca sebagai langkah untuk memperbaiki citra keluarga Cendana yang juga bagian dari keluarga presiden Indonesia saat ini, Prabowo Subianto.
Maka, wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto adalah bagian dari agenda untuk membersihkan dosa-dosa Soeharto di masa lampau sehingga generasi berikutnya tidak lagi mengenal Soeharto sebagai presiden bertangan besi, melainkan sebagai sosok pahlawan nasional. Celaka sekali bukan?
Pesan Bung Hatta
Bahlil ataupun pihak lain yang berusaha memberikan dukungan kepada pejabat korup untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional, kiranya harus banyak belajar dari sosok Bung Hatta. Tentu kita ingat betul pesan Bung Hatta ketika menolak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Padahal tokoh sekaliber dirinya sudah tentu layak disebut pahlawan jika mengacu kepada kontribusinya bagi kemerdekaan Indonesia.
Alasan Bung Hatta menolak dimakamkan di Taman Makan Pahlawan tentu bukan tanpa alasan. Pesan Bung Hatta amat jelas, ia hanya mau dimakamkan di pemakaman rakyat biasa yang nasibnya ia perjuangkan seumur hidupnya. Sikap Bung Hatta juga dapat dibaca sebagai penolakannya atas kebijakan pemerintah orde baru pada masa itu yang memberikan gelar pahlawan nasional berdasar pada kepentingan politik, bukan kepada kemurnian perjuangannya.
Di saat kebanyakan orang mencari validasi atas perjuangan yang telah dilakukan, Bung Hatta malah bersikap sebaliknya. Ia telah menunjukkan sikap kenegarawanan dengan menolak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Sikap rendah hati yang dicontohkan Bung Hatta seharusnya diteladani oleh para pejabat di tanah air, apalagi saat ini mulai bermunculan pejabat bak pahlawan kesiangan yang muncul di hadapan rakyat, seolah-olah sudah berjuang padahal berjuang untuk rakyat pun enggan!
Pahlawan Tidak Perlu Pengakuan
Melihat penganugerahan gelar pahlawan nasional saat ini sudah melampaui tujuan awalnya, sudah sepatutnya pemerintah mengkaji ulang penganugerahan gelar pahlawan nasional. Atau, gelar pahlawan nasional lebih baik dihapus saja. Objektivitas sudah hilang. Orientasinya sudah berubah, dari penghormatan untuk mengenang jasa atas kemerdekaan menjadi obral gelar untuk kepentingan politik semata.
Baca juga:
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun tidak menafsirkan pahlawan sebagai seorang yang berjuang untuk negara. KBBI menyebut pahlawan sebagai seorang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Artinya, gelar pahlawan nasional seharusnya tidak melulu diisi oleh eks pejabat negara atau tokoh berpengaruh. Sebaliknya tukang becak, pedagang asongan, hingga buruh pabrik sekalipun layak untuk disebut sebagai pahlawan.
Namun, saat ini penganugerahan pahlawan nasional sering kali hanya disematkan kepada eks pejabat negara dan tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh. Telah bergesernya tujuan penganugerahan gelar pahlawan nasional membuat penulis semakin yakin bahwa pemberian gelar ini sudah sepantasnya dihapus. Penghormatan kepada tokoh-tokoh bangsa yang telah berjasa bisa dilakukan tak hanya sebatas menyematkan gelar pahlawan nasional.
Jika memang bangsa ini menghormati tokoh-tokoh yang berjasa, sudah seharusnya kita meneladani sikap dan tindakannya, bukan hanya memberi gelar simbolis.
Di satu sisi pemerintah menghormati tokoh-tokoh bangsa, tapi di sisi lain para pejabat di pemerintahan tetap melakukan praktik korupsi, hidup bermewah-mewahan, hingga merampas hak-hak rakyat. Aneh sekali bukan?
Editor: Prihandini N
