Usai mengikuti diskusi sastra bertajuk “Sastra & Gen Z: Apakah Sastra Berjarak 1000 Tahun Cahaya?” yang digagas oleh Kutub Sastra—komunita sastra di Sumatra Barat—masih tersisa pertanyaan di benak saya: berapa sebetulnya jarak antara dua hal itu? Yang sepertinya sejauh bintang-bintang itu?
Akhir diskusi itu menerangkan bahwa sastra pada masa Gen Z ini telah beralih “bentuk baru” dalam format digital. Dan “sastra” yang diakrabi dan digemari oleh Gen Z itu adalah platfrom seperti Wattpad, Fizzo Novel, dan kawan-kawannya. Ini sebenarnya bentuk salah tanggap yang kemudian menghasilkan kesimpulan yang lebih melenceng lagi: sastra hidup di dunia yang berbeda.
Sebelum sampai pada kesimpulan yang melenceng itu, pada artikel yang ditulis oleh salah seorang narasumber, yang kemudian diterbitkan oleh Expos Sumbar dengan judul Sastra Digital dan Gen Z: Antara Pengakuan dan Penolakan, dijelaskan pula posisi sastra digital dalam “ilmu sastra” di universitas. Bahwasannya segelinter dosen ilmu sastra “enggan menerima eksistensi sastra digital karena mengandung bahasa yang dianggap tidak senonoh, alur cerita yang terlalu vulgar, dan kualitas estetika yang dinilai rendah”. Seharusnya, sebelum penulis berpendapat demikian, penulis harus terlebih dahulu paham apa itu sebenarnya sastra. Apa makna “sastra” dan apa yang dijelaskan dalam “sastra” sebagai ilmu.
Baca juga:
Kita ambil contoh paling mudah untuk dipahami saja. KBBI menjelaskan sastra dalam beberapa definisi dan dua di antaranya adalah: (1) tulisan, huruf, dan (2) kesusastraan (https://kbbi.web.id/sastra). Kesusastraan kemudian didefinisikan sebagai: ilmu atau pengetahuan tentang segala hal yang berkaitan dengan susastra. Dan susastra bermakna: karya sastra yang isi dan bentuknya sangat serius, berupa ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba dari kehidupan kemudian direka dan disusun dengan bahasa yang indah sebagai saranya sehingga mencapai syarat estetika yang tinggi (https://kbbi.web.id/susastra).
Berkaca dari pengertian beruntun yang dijelaskan di atas, sepertinya kita bisa sama-sama paham dengan alasan dosen sastra untuk tidak menerima sastra digital sebagai bahan kajian dalam ilmu sastra. Artikel itu sebenarnya menjawab sendiri alasan mengapa sastra digitalnya tersisihkan dalam ilmu sastra. Tidak usah jauh-jauh membandingkan kesukaan pembaca Gen Z dengan sastra digital untuk kemudian menyimpulkan secara sembrono bahwa ia merupakan bentuk baru bagi dunia sastra, sebab sastra digital sendiri sama sekali bukan bentuk baru!
Sastra digital sendiri sudah eksis sejak dekade 90-an dan lebih dikenal khalayak sejak diterbitkannya antologi puisi Graffiti Gratitude pada 9 Mei 2002 yang digawangi oleh Sutan Ikwan Soekri Munaf, dkk (Erliyawati, kompasiana: 2022). Sastra digital juga eksis pada tahun-tahun tersebut dengan menjamurnya mailing-list seperti: apaKabar, SiaR, Kabar dari Pijar, dll (Situmorang: 2009). Lantas sudah tepatkah jika artikel itu menyebutkan sastra punya bentuk baru dengan eksisnya Wattpad atau Fizzo Novel di tengah-tengah Gen Z? Wattpad sendiri saja sudah punya nama di kalangan Gen Milenial sejak dirilis pertama tahun 2006.
Ciri-ciri sastra digital seperti yang tercantum pada paragraf ketiga sebagai alasan mengapa ia tidak diterima dalam ilmu sastra—bahasa yang dianggap tidak senonoh, alur cerita yang terlalu vulgar, dan kualitas estetika yang dinilai rendah—adalah bentuk generalisasi sastra digital sebagai Wattpad atau Fizzo Novel saja. Tulisan-tulisan dalam platfrom tersebut tidak diterima dalam perkuliahan sastra karena mereka tak punya kualitas yang mencukupi sebagai karya sastra yang dapat dikaji isinya. Oke, kita bisa mengkaji satu aspek saja misalnya strukturnya, tapi apakah strukturnya cukup sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam ilmu sastra? Sastra sebagai ilmu tak berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang punya teori-teorinya sendiri.
Generalisasi sastra digital seperti disebutkan di atas adalah argumen yang salah sebab sastra digital sendiri punya cakupan yang lebih luas. Seluruh sastra yang diproduksi, didistribusi, dan dinikmati secara digital adalah sastra digital. Media-media digital yang menampung kiriman karya sastra seperti kurungbuka.com, langgampustaka.com, basabasi.co, dan lain-lainnya juga termasuk sastra digital. Video-video pembacaan puisi atau cerpen yang tersebar di youtube, instagram, atau spotify itu juga sastra digital. Dan penikmat media-media digital itu juga tak kalah banyak dengan media-media generalisasi sastra yang dielu-elukan sebagai identitas Gen Z itu (padahal tidak).
Seberapa Jauhkah Sastra dan Gen Z?
Dewasa ini, konten-konten perbukuan di Instagram dan Tiktok lumayan menjamur. Pada Instagram bahkan muncul istilah baru “bookstagram” yang merujuk pada akun-akun yang berisi unggahan-unggahan foto buku yang estetik dengan review yang disematkan di takarir. Pengikut akun-akun bookstagram ini tak berbeda jauh dengan akun-akun influencer bidang lain.
Baca juga:
Buku-buku lama atau buku-buku baru, buku-buku lokal atau terjemahan, tak lepas jadi bahan konten. Selain itu ada pula klub buku digital yang sering mengadakan kegiatan baca bersama. Kegiatan kolektif yang digagas dari media daring dan diwujudkan dalam pertemuan luring juga tak kalah ramai seperti yang digagas oleh Indonesia Book Party di Jakarta yang kemudian menyebar di kota-kota lain seperti Bandung, Malang, Padang, dan lain-lain.
Platform jual beli digital seperti shopee, tokopedia, tiktokshop juga tak luput dari perdagangan buku-buku. Bahkan, pembeli buku dari toko-toko daring ini bisa dibilang menyaingi toko-toko luring. Platform digital ini memberikan kesempatan bagi penerbit-penerbit indie—yang sekarang juga tampaknya menjamur lebih banyak—untuk menjangkau lebih banyak pembeli dan pembaca dari seluruh pelosok Indonesia.
Atas alasan-alasan yang telah diuraikan di atas, dengan mantap saya mengatakan bahwa jarak sastra itu dekat sekali dengan Gen Z. Gen Z dan gawainya yang tak pernah terlepas dari genggaman setiap hari mampu dengan mudah menggapainya. Jaraknya tidak sejauh bintang-bintang, tidak sampai satu tahun cahaya. Ia sedekat urat nadi di bawah tangan yang menggenggam. Namun, dengan minat baca yang menurut data UNESCO hanya 0.001% atau satu dari seribu, bukan tak mungkin Gen Z sendiri yang membuat jarak dengan sastra sejauh ratusan tahun cahaya. Atau lebih tepatnya sejauh seribu tahun cahaya!
Lantas kalau sudah tersedia banyak ruang, bagaimana lagi caranya merengkuh jarak itu? (*)
Editor: Kukuh Basuki