Menuju 80 tahun kemerdekaan, masyarakat Indonesia mengawali bulan Juni dengan berita memilukan tentang konsesi pertambangan di surga dunia Indonesia, Raja Ampat, dalam rangka penyuksesan ambisi hilirisasi nikel yang disahkan oleh rezim pemerintahan rezim hari ini.
Mengutip dari tempo.co, penambangan nikel di kepulauan Raja Ampat terjadi di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Padahal menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil, ketiga pulau kecil tersebut tidak boleh ditambang. Greenpeace juga mencatat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami dibabat di tiga pulau tersebut.
Pemerintah secara kontradiktif menciptakan peraturan pelarangan penambangan di beberapa kawasan, namun juga menjadi pelaku yang melenggangkan pelanggar. Bukan hal yang berlebihan ketika masyarakat mulai geram dan menuntut negara untuk berhenti menyokong perusakan alam. Selain atas dasar rasa cinta terhadap alam di negeri ini, hal ini juga menjadi indikasi kontrol sosial terhadap langkah yang diterapkan pemerintah dalam mengatur kebijakan. Hal ini juga sudah sejalan dengan prinsip negara demokrasi. Tentu saja keresahan ini tidak hanya berlaku untuk konsesi tambang di Raja Ampat, namun juga seluruh alam Indonesia.
Namun, ketika kita memutar kilas balik bagaimana konsesi bisa berlaku seiring hak kepemilikan dan pengolahan lahan, hingga bagaimana mulai berlakunya istilah “tanah negara” atau “hutan negara” dan lainnya, kita bisa mendapati bagaimana kolonialisme yang menjadi antitesa demokrasi masih turut diterapkan bahkan setelah hampir seratus tahun merdeka dari penjajah.
Papua Bukan Tanah Kosong
Saya sangat sepakat dengan kalimat “Papua bukan tanah kosong”. Tentu bukan hanya untuk Papua, melainkan semua wilayah di negeri ini, karena sejatinya semua tanah di Nusantara sejak awal adalah milik masyarakat adat. Lalu ketika domein verklaring berlaku pada era kolonial Belanda, bukti historis pendudukan lahan yang sudah turun menurun dan pembuktian secara adat sudah tidak lagi berlaku. Selembar kertas yang disebut sertifikat menjadi kunci penanda hak kepemilikan. Lalu bagi masyarakat yang tidak menunjukkan bukti kepemilikan, lahan mereka menjadi milik negara. Ironisnya sistem domein verklaring masih terus dipraktikkan oleh pemerintah hingga saat ini.
Baca juga:
Pada era pemerintahan Order Baru, peraturan yang semakin meminggirkan masyarakat adat diberlakukan dengan narasi ‘pembangunan’. Segala upaya dilakukan untuk mengeluarkan masyarakat adat dari ruang hidup mereka dengan tujuan pengambilalihan hutan yang kemudian diserahkan dengan cara penyewaan atau penggadaian oleh pemerintah kepada swasta. Bahkan untuk memuluskan bisnis kerusakan alam ini, pemerintah Orde Baru mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang kehutanan.
Ketika itu pemerintahan Orde Baru berdalih demi melancarkan investasi asing masuk ke Indonesia, membotaki hutan Kalimantan adalah jalan menyelamatkan ekonomi negara, walaupun dengan menabrak hak-hak rakyatnya sendiri.
Lalu apakah dengan mengklaim kepemilikan lahan dan hutan, lantas menjadikan negara juga berhak untuk merusak alam? Baru sekitar setengah abad sejak pertama kali berlakunya investasi asing masuk dan mengeruk sumber daya alam Indonesia, namun perubahan dramatis sudah banyak terjadi dan nyaris sulit untuk pulih kembali. Eksploitasi besar-besaran tahun 60an telah berujung pada hilangnya hutan hujan Kalimantan.
Demi memenuhi permintaan pasar ekspor dan kemarukan atas kemajuan perekonomian, hutan dipangkas secara membabi buta, kebakaran hutan besar-besaran terjadi karena dikeringkannya lahan gambut dan dikonversi menjadi lahan sawit, hingga konsesi di dekat areal konservasi biota laut Raja Ampat terus dicanangkan pemerintah tanpa memperhatikan dampak ekologis yang akan terjadi di masa mendatang.
Berdasarkan informasi yang dilansir dari Greenpeace Indonesia, setidaknya terdapat 11 poin yang menjadi imbas konsesi pertambangan di Raja Ampat baik, kerugian dari segi lingkungan, ekonomi, sosial, politik, hingga kesehatan. Lagi-lagi masyarakat yang menjadi korban utama dari eksploitasi alam yang dilakukan oleh para borjuasi.
Pihak perusahaan tentu bisa berdalih bahwa mereka sudah mengikuti prosedur pertambangan yang berlaku seperti mengolah limbah dan tidak membuangnya ke laut, melakukan penghijauan kembali, hingga melaksanakan CSR demi membayar kerugian kegiatan bisnis mereka kepada masyarakat sekitar. Namun, hal ini tidak akan bisa menutupi daya rusak yang jauh lebih besar daripada manfaat yang dihasilkan.
Kembalikan Tanah Milik Rakyat
Eksploitasi dan perusakan lingkungan secara masif saya rasa tidak akan terjadi ketika perizinan dan hak guna lahan tidak lebih banyak dipegang oleh segelintir taipan yang disokong oleh pembuat kebijakan. Hal ini juga yang menjadi indikator banyaknya konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan, karena hak-hak mereka (masyarakat) sebagai ‘pemilik asli’ lahan tidak diperhatikan bahkan justru cenderung diabaikan. Bahkan berdasarkan data tahun 2022, terdapat sekitar 2,701 konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Konflik ini juga tidak jarang justru mencengkram masyarakat yang tidak lebih banyak akses untuk melawan korporasi yang tentu saja akrab dengan birokrasi.
Klaim tanah atau hutan negara tidak akan pernah menjadi pembenar perusakan alam. Ketika negara tidak bisa hadir untuk menjaga lahan yang diklaimnya, bukankah lebih baik mengembalikannya kepada masyarakat adat sebagai pemilik asli yang secara turun temurun sudah hidup berdampingan dan menjaga kelestarian alam sejak ribuan tahun lalu.
Sudah semestinya negara mulai memaknai dan mengimplementasikan tobat ekologis demi keberlanjutan generasi mendatang. Bukan hanya sebagai upaya menjaga kelestarian alam, namun juga dalam upaya menekan dampak berupa kerugian lain yang menimpa masyarakat.
Baca juga:
Begitu juga seharusnya umat manusia turut mengindahkan seruan mendiang Paus Fransiskus pada ensiklik yang terbit tahun 2015 silam bertajuk ‘Laudato Si’ (Puji Bagi-Mu). “Pertobatan ekologis” adalah sabda yang beliau gaungkan sebagai refleksi dari perilaku manusia yang mengeksploitasi alam secara berlebihan, juga menjadi ajakan upaya kolektif karena manusia tidak bisa secara individu memperbaiki alam ini.
Tentu saja seruan ini tidak hanya berlaku untuk penganut agama abrahamik, namun untuk semua manusia. Terlebih karena tulisan ini ditulis dalam suasana hari Iduladha, pemaknaan terhadap keikhlasan yang menjadi inti dari hari raya ini tidak akan pernah diselaraskan dengan hal-hal yang batil, terutama pembiaran perusakan alam dan perampasan hak.
Sudah saatnya manusia kembali merefleksikan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi yang bertugas memanfaatkan sembari menjaga keberlangsungan alam. Menjadi pemimpin dari semua makhluk ciptaan Tuhan yang ada di bumi, membawa alam menuju ke arah keberlanjutan bukan pemusnahan.
Editor: Prihandini N
