Pengajar di Kota Madiun Jawa Timur

Natal Pertama Ayah

Kristophorus Divinanto

5 min read

Setelah pintu rumah dibuka Ibu, Ayah langsung menerobos masuk ke dalam tanpa meletakkan sepatunya di rak sepatu terlebih dahulu. Kakinya masih terbungkus kaus kaki cokelat. Ayah langsung duduk di sofa, mengeluarkan handphone dari saku celana jins dan membuka kunci layar handphone dengan buru-buru. Raut wajah Ayah kembali menunjukkan kecewa dengan decak lirih, decak yang berusaha ia samarkan tapi masih tetap terdengar jelas, ketika belum ada notifikasi pesan masuk atau telepon yang sedari tadi ia tunggu. Ibu dan Kris saling bertukar pandang sembari menahan rasa geli melihat tingkah gelisah Sang Kepala Keluarga. Mereka berdua sepakat tidak menunjukkan kekehan masing-masing di depan Ayah untuk menjaga perasaannya.

Kris mengambil sepatu kulit milik Ayah dan meletakkannya di rak sepatu yang berada di teras rumah. Rak sepatu berbahan kayu hasil karya Ayah berbahan kayu dan triplek sisa renovasi rumah yang tercipta karena Ayah tidak suka ketika melihat sandal dan sepatu berserakan di area teras hingga tak jarang membuatnya tersandung. Saat rak sepatu itu sudah diletakkan di teras, Ayah akan memarahi siapapun anggota keluarganya yang tidak meletakkan sepatu atau sandal ke rak. Tanpa pandang bulu, mulai dari Ibu hingga anak, tanpa peduli hubungan darah semua kena marah jika sepatu atau sandal tidak pada tempatnya. Namun, bagaimana Ayah hari ini? Tentu ia tidak begitu sadar dan peduli bahwa kini pelanggar aturan menempatkan-sepatu-dan-sandal-di-rak-sepatu ini tidak lain adalah dirinya sendiri. Saat ini tidak ada yang lebih penting dari handphone-nya, dari orang yang Ayah harapkan kabarnya sedari tadi ketika masih ekaristi di gereja.

“Ayah, ayo kaus kakinya dilepas dulu! Cuci kaki dan tangannya dulu, ganti pakaian, makan malam, baru pegang handphone. Sampai rumah jangan langsung pegang handphone,” ujar Ibu dari kamar sembari berganti pakaian.

Decak kesal Ayah kembali terdengar. Ia bangkit dari sofa dan melangkah menuju kamar ganti. Sembari berjalan, Ayah masih mengamati layar handphone sembari sesekali mengecek notifikasi. Tentu Ayah jengkel karena kata-kata itu adalah kata-kata yang sering ia gunakan untuk menegur orang-orang di rumah, menegur istri dan anak-anaknya. Ayah tidak suka melihat anggota keluarganya yang langsung memegang handphone ketika baru masuk rumah apalagi ketika baru melewati pintu masuk rumah.

“Dari tadi ngapain aja? Pulang ke rumah kok masih pegang handphone? Ganti baju dulu! Cuci kaki dan tangan dulu! Makan dulu! Baru pegang handphone. Lagian belum selesai kerja kok udah pulang? Kalau sampai rumah langsung cek handpnone, berarti kerjaannya yang belum selesai dong!” begitu cecar Ayah.

Ayah keluar dari kamar ganti dengan kaus dan kolor. Ia kembali duduk di sofa dan masih dengan handphone di tangan kanannya. Kini di layar handphone Ayah, terlihat ia sedang berusaha menghubungi sebuah kontak melalui panggilan video. Sembari menunggu panggilan videonya terjawab, Ayah meletakkan handphone-nya pada hiasan kado yang terdapat di bawah pohon Natal. Bola-bola yang tergantung sebagai hiasan pohon Natal berbinar silih berganti memantulkan kerlip lampu hias warna kuning. Sembari menunggu panggilan telepon dijawab, Ayah memasang beberapa dahan hiasan pohon Natal yang terjatuh karena sudah rapuh termakan usia. Beberapa dahan masih dapat menempel pada lubang tempatnya. Beberapa dahan hanya disangkutkan pada dahan lain karena lubang tempatnya sudah terkikis.

Hiasan pohon Natal di ruang tamu itu juga baru terpasang siang tadi setelah sesi adu mulut antara Ayah dan Kris. Jika tidak ada Ibu yang lekas menengahi, mungkin tidak ada hiasan pohon Natal yang terpasang di ruang tamu malam ini. Kris hanya ingin membelikan hiasan pohon Natal baru karena hiasan pohon Natal yang ada sudah rapuh termakan usia. Warna pohon-pohonnya tidak lagi hijau melainkan putih kusam dengan sisa-sisa warna hijau yang tinggal menanti gliran untuk luntur. Hiasan-hiasan yang bergelantung di pohonnya pun sudah sangat ketinggalan zaman. Ketika di masa kini banyak hiasan pohon Natal yang dibuat sesuai dengan tema tertentu, sedang Ayah bersikeras tetap memasang pohon Natal miliknya dengan hiasan warna-warni tanpa tema. Ketika semua pohon Natal sudah memiliki lampu hiasan yang bisa berkelip dengan tempo cepat atau lambat, lampu hias di pohon Natal rumah masih berkelip tiap lima detik sekali tanpa bisa diubah temponya.

Ayah tidak ingin menggantikan pohon Natal miliknya dengan yang baru sekalipun penggantinya lebih besar, lebih mewah dan gratis sekalipun. Kata Ayah pohon Natal itu adalah hadiah ulang tahun untuk Ayu ketika berusia 4 tahun. Saat itu Ayu ingin hadiah pohon Natal untuk dipajang di ruang tamu. Akhir dari perdebatan itu tentu Kris, Ibu, dan Ayah akhirnya harus bekerja sama memasang hiasan pohon Natal tua tersebut agar terpasang baik, meski harus berulang kali memasang ulang bagian-bagian yang telah rapuh dengan lem.

Bunyi tut-tut berulang tanda panggilan berdering namun belum diangkat masih terdengar berulang kali seolah tidak mau absen menemani ketidaksabaran Ayah.

“Ayah makan dulu saja. Sejak siang Ayah belum makan. Katanya tadi perutnya bunyi ketika khotbah,” kata Kris dari ruang makan sembari membantu Ibu menempatkan lauk-lauk yang dibelinya dalam perjalanan sepulang gereja ke mangkuk dan piring.

Ayah tidak menjawab. Ia terus mengetuk logo memanggil ulang ketika bunyi tut -tut berulang panggilannya berakhir tanda panggilan tidak terjawab. Sementara itu Ibu hanya menggelengkan kepala sembari menatap Kris yang berdecak melihat perilaku Ayahnya, meminta agar putranya memaklumi tingkah Ayahnya. Ibu kembali menata semua piring yang telah berisi menu-menu makan malam agar lebih enak dilihat. Setelah meja makan dirasa rapi, Ibu mengambil album piringan hitam lagu-lagu Natal yang dinyanyikan Nat King Cole dan memutarnya dengan pemutar piringan hitam. Ibu sengaja mengatur suara dengan volume selirih mungkin agar Ayah tetap bisa mendengar kalau-kalau ada pesan atau panggilan.

Ayah beranjak dari sofa, melangkah gontai menuju lantai dua. Ketika berada di ruang makan, tepatnya sebelum tanda naik ke lantai dua, Ayah berhenti sembari menatap Ibu dan Kris yang sedang menyantap makan malam. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Hujan di luar masih saja deras dan angin dingin tetap berhasil menyusup lewat celah-celah kecil rumah.

Harusnya di sana sudah pagi. Apakah di sana juga hujan? Atau sedang badai salju? batin Ayah sembari terus menatap kata Berdering pada panggilan teleponnya yang sedari tadi belum lekas berubah dan masih terus saja berganti Panggilan Tak Terjawab.

“Ayah tenang saja. Sembari menunggu, ayo makan dulu! Mumpung sup bibir ikan kesukaan Ayah masih hangat,” ujar Ibu sembari menggeser kursi di dekatnya, mempersilakan Ayah untuk bergabung di meja makan.

Ayah menghela napas panjang. Sementara itu Kris mengunyah potongan gurami saus lemon kesukaannya sembari sesekali cekikikan melihat layar televisi yang tengah menayangkan film Home Alone 2: Lost In New York.

“Kalian makan dulu saja. Kris, jangan ketawa sambil makan,” ujar Ayah masih dengan nada sewot.

Kris hanya mengangguk pelan tanpa menjawab. Ibu hanya tersenyum melihat suaminya berjalan perlahan menuju lantai atas.

“Maklumi sikap Ayahmu ya, Kris. Terutama kerewelannya hari ini. Rewel itu bahasa kangennya Ayahmu,” kata Ibu sembari menyodorkan kulit tahu berbalut saus asam manis ke arah Kris. Beberapa potong tahu kulit diambil oleh Kris dengan sumpit dan langsung dilahapnya bersama nasi putih.

“Aku cuma nggak nyangka aja, Buk, Ayah akan seperti itu responnya. Ternyata nggak cuma kaum jomlo aja yang kesepian ketika Natal, tapi kaum Bapak-bapak yang merayakan Natal tanpa anak perempuannya,” kata Kris sembari terkekeh geli dengan kata-katanya sendiri.

Ibu ikut terkekeh geli mendengar ujaran anak laki-lakinya.

“Lagian Ayah kok masih tetep bisa kesepian ya? Padahal masih ada aku, ada Ibu di sini. Kadang kalau lagi sensi jadi agak tersinggung gitu. Seolah-olah kita nggak berharga buat Ayah,”

“Peran seseorang di keluarga itu nggak akan tergantikan, Kris. Keluarga ada untuk saling melengkapi, bukan saling menggantikan. Kita nggak akan bisa mengganti posisi Mbak-mu di hati Ayah, sama seperti Mbak-mu juga nggak akan bisa mengganti posisimu di hati Ayah dan Ibu. Kamu dan Mbak-mu juga nggak akan bisa menggantikan posisi Ibu di hati Ayah. Setiap dari kita punya posisi di hati Ayah. Setiap dari kalian punya posisi di hati Ibu dan Ayah,”

Kris hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban Ibunya.

Drrrrrttttt….. Drrrrrttttt…..

Handphone Kris di atas meja makan bergetar. Di layar handphone tertera pemberitahuan bahwa Ayu melakukan panggilan video. Ibu dan Kris sama-sama tersenyum melihat panggilan tersebut. Kris segera mengangkat panggilan dari Kakaknya. Ibu bergegas melangkah ke atas untuk memanggil Ayah.

“Halo! Selamat Natal semuanya!” kata Ayu dari panggilan video.

Kris menyandarkan handphone-nya pada kotak tisu agar ia tetap bisa melihat wajah Kakaknya sembari melanjutkan makan malam.

“Selamat Natal, Mbak,” jawab Kris.

“Eh, Ayah sama Ibu mana?”

“Sebentar. Ibu lagi ke atas manggil Ayah. Mbak dari tadi ditelepon Ayah tahu.”

“Iya nih. Baru bangun. Semalem capek banget keliling-keliling. Eh, gimana Natal pertama tanpa aku di rumah? Rumah pasti sepi ya?” kata Ayu sembari terkekeh.

“Malah enak. Semua makanan jadi aku yang makan,” sahut Kris yang disambut tawa oleh Ayu di seberang telepon.

“Gimana keadaan suamimu, Mbak? New York badai salju, nggak?”

Ketika Si Kakak Beradik asyik mengobrol melalui panggilan video, Ibu tidak mendapati Ayah di kamar tidurnya. Ia justru mendapati suaminya tertidur mengorok di kamar Ayu, putri sulungnya yang kini berada di New York. Ayah tertidur dengan handphone masih di tangan dan pigura foto Ayu yang sepertinya sengaja digeser menghadap kasur. Ibu tersenyum membaca kerinduan suaminya. Natal kali ini adalah Natal pertama tanpa Ayu di rumah. Setelah Ayu menikah, Ayu langsung mengikuti suaminya yang bekerja di New York, Amerika Serikat. Meski masih rutin dibersihkan Ayah, kamar Ayu kini hanya menyisakan kasur dan lemari pakaian yang menyimpan pakaian-pakaian bekas Ayu. Kamar Ayu tetap menjadi kamar, bukan dijadikan gudang atau tempat lain. Ibu tahu bahwa sesekali Ayah sengaja tidur di kamar Ayu.

Ibu mengambil handphone Ayah. Sebuah notifikasi pesan masuk dari kontak bernama Ayu Anakku tertera pada layar. Ibu tersenyum membaca pesan dari anak perempuannya. Ayu mengirim foto dirinya sedang berfoto di depan pohon Natal besar yang berada di Rockefeller Center, New York. Pada obrolan melalui panggilan video sebelumnya, Ayu memang bercerita hendak pergi ke sana bersama suaminya dalam rangka tur tapak tilas berkeliling lokasi syuting Home Alone 2: Lost In New York, film Natal kesukaan Ayu. Di bawah foto tersebut, terdapat pesan:

Ayah, aku ada di sini! Tapi ternyata pohon Natal di ruang tamu kita lebih indah! Hehehe…

*****

Editor: Moch Aldy MA

Kristophorus Divinanto
Kristophorus Divinanto Pengajar di Kota Madiun Jawa Timur

Orang Tua

Yoga Mestika Putra Yoga Mestika Putra
3 min read

Api Kecil

Pitrus Puspito Pitrus Puspito
2 min read

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email