Menyambut 2025 dengan Literasi Digital

Adekamwa n/a

2 min read

Perubahan teknologi ibarat gelombang pasang yang tak terbendung. Sama seperti kita perlu belajar berenang untuk menghadapi ombak, kita juga perlu mengasah kemampuan literasi digital untuk berselancar di lautan informasi yang tak berujung. Seiring dengan laju inovasi yang tak terhentikan, perubahan teknologi kini berlangsung dengan sangat cepat.

Penulis membayangkan, hanya dalam satu dekade terakhir, ponsel pintar telah berubah dari sekadar alat komunikasi menjadi asisten pribadi berbasis AI. Lalu, bagaimana kita mempersiapkan diri menghadapi percepatan yang jauh lebih masif? Perubahan teknologi yang begitu cepat membawa serta berbagai peluang dan tantangan baru.

Laporan Digital News Report 2023 yang disusun oleh Nic Newman mengungkapkan bahwa pola konsumsi berita telah bergeser, di mana hanya 22% responden yang mengakses berita melalui situs web atau aplikasi media. Sebagian besar pengguna lebih memilih jalur “pintu samping” melalui media sosial, mesin pencari, dan agregator berita (Newman, 2023). Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi bergantung pada media arus utama, melainkan lebih terpapar pada konten-konten yang disesuaikan dengan preferensi pribadi mereka.

Kondisi ini berpotensi meningkatkan paparan terhadap disinformasi. Oleh karena itu, literasi digital bukan sekadar kemampuan membaca dan memahami berita, tetapi juga mencakup kecakapan mengevaluasi sumber informasi serta memanfaatkan teknologi secara bijak agar tidak terjebak dalam bias informasi.

Fenomena penghindaran berita (news avoidance) turut mempertegas perlunya peningkatan literasi digital. Laporan yang sama mengungkapkan bahwa 36% responden sengaja menghindari berita, terutama karena dianggap terlalu negatif dan memengaruhi kesehatan mental (Newman, 2023).

Baca juga:

Kondisi ini mencerminkan tantangan baru dalam ekosistem digital, di mana banjir informasi dapat memicu kelelahan informasi (information fatigue). Literasi digital yang efektif tidak hanya mengajarkan cara memilih informasi kredibel, tetapi juga membantu publik mengelola pola konsumsi berita yang sehat.

Melalui tulisan ini, penulis ingin menggarisbawahi pentingnya literasi digital sebagai bekal kita untuk menyaring informasi, berpikir kritis, dan menjadi warga digital yang bertanggung jawab.

Literasi Digital: Keharusan, Bukan Pilihan

Literasi digital kini menjadi keharusan, bukan lagi opsi. Tanpa keterampilan ini, kita berisiko tertinggal dalam perubahan global yang begitu cepat. Oleh karena itu, penulis percaya penting bagi masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendidikan untuk bersama-sama mendorong penguatan literasi digital. Otomatisasi dan AI telah menggantikan banyak pekerjaan manual, sementara pekerjaan yang membutuhkan kreativitas dan pemikiran kritis semakin banyak dicari. Literasi digital memungkinkan kita untuk terus mengasah keterampilan dan tetap relevan di pasar tenaga kerja, seperti halnya seorang akuntan yang kini harus menguasai software berbasis AI.

Selain itu, dengan data pribadi yang semakin bernilai di dunia digital, kita perlu menyadari pentingnya melindungi informasi pribadi kita. Masyarakat harus terlibat aktif dalam meningkatkan literasi digital, terutama dengan menyasar kelompok rentan seperti lansia atau mereka yang baru mengenal teknologi. Kampanye penyuluhan melalui tokoh masyarakat atau influencer bisa menjadi cara efektif untuk mencegah kita terjebak dalam disinformasi.

Tentu saja, ada yang berpendapat bahwa tidak semua orang memiliki akses ke perangkat teknologi dan internet. Ini adalah tantangan nyata, terutama di daerah pedesaan dan wilayah terpencil. Namun, upaya pemerintah dalam memperluas akses internet dan menciptakan “desa digital” perlu diapresiasi. Solusi kolaboratif antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan swasta perlu dirumuskan. Pendekatan ini memungkinkan masyarakat dari berbagai latar belakang dapat mengakses pembelajaran literasi digital yang inklusif.

Tahun 2025 semakin dekat, dan literasi digital tidak bisa lagi ditunda. Sebagai masyarakat, kita perlu bersiap menghadapi tantangan baru ini dengan langkah-langkah konkret. Pertama, penulis meyakini bahwa pemerintah harus segera memasukkan literasi digital ke dalam kurikulum pendidikan formal dan memberikan pelatihan kepada masyarakat di wilayah terpencil agar tidak tertinggal. Selain itu, lembaga pendidikan juga harus mengintegrasikan pelatihan literasi digital dalam program pembelajaran siswa dan mahasiswa, sehingga mereka siap menghadapi dunia digital yang terus berkembang.

Baca juga:

Tak kalah penting, setiap individu juga harus proaktif mempelajari cara melindungi data pribadi, memverifikasi informasi yang diterima, dan terus mengasah keterampilan digital mereka. Dengan begitu, kita tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga bisa berkompetisi di dunia yang semakin digital ini. Pada akhirnya, literasi digital menjadi fondasi utama yang menopang kita dalam menghadapi gelombang disrupsi teknologi yang semakin tak terbendung.

Menciptakan Perubahan

Bagi penulis, literasi digital bukan hanya sekadar alat bertahan hidup, tetapi juga kunci untuk membuka peluang dan memimpin di panggung dunia yang serba cepat berubah ini. Dengan kemampuan digital yang kuat, kita bisa menjadi pemain utama, yang bukan hanya mengikuti, tetapi juga menciptakan perubahan di tengah revolusi teknologi yang tengah berlangsung.

“Sipaccinikang lomo’ lomo’ tasipaccinikang sukkarak,” penulis mengutip pepatah Makassar yang artinya saling memperlihatkan kemudahan dan tidak saling membawa kesulitan, mencerminkan esensi literasi digital yang bukan hanya soal teknologi, tetapi juga kesiapan kita untuk beradaptasi dan berkembang. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki 

 

Adekamwa n/a

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email