Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jepang Univesitas Brawijaya, Malang | Bukan wibu tapi ambil jurusan Jepang.

Perihal Em Dash (—) dan Keributannya di Dunia Maya

Muhammad Damar Ravisya

3 min read

Pernahkah kamu, ketika sedang asyik berselancar di media sosial, sekonyong-konyong muncul sekumpulan teks panjang—biasanya caption sebuah unggahan—yang ketika melihatnya sekilas—tanpa membacanya—langsung menghakimi, “Buatan AI ini!”? Hal ini lumrah terjadi, bahkan kerap kali diri sendiri—secara autopilot—memfitnah sebuah tulisan adalah karya mesin kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Autopilot ini terjadi karena semakin seringnya kemunculan buah tulisan yang polanya itu-itu saja, sehingga perlu pembacaan yang lebih mendalam sebelum menghakimi sebuah tulisan.

Kenalan dulu sama AI, yuk!

Di hari-hari yang serba terburu-buru ini, dunia mendapat sebuah kemudahan, dan kecepatan—dan mungkin tantangan—berupa kecerdasan buatan, atau yang selanjutnya akan kita panggil “Dik AI”. Kemudahan yang dapat secara luas menjadi ‘rekan’, atau bahkan tidak jarang yang menganggapnya ‘lawan’. Sebuah penemuan ini menandai lompatan luar biasa dalam segala lini kehidupan. Mulai dari mahasiswa yang mengerjakan tugas bebarengan dengan meleknya tokek—yang seharusnya tidur setelah ayam jago berkokok—dapat tidur lebih awal, hingga ibu-ibu muda yang ingin segera menghidangkan masakannya kepada anak-anaknya yang jam tiga sudah sampai rumah. Mulai dari rujukan ekstrem yang menyadur jurnal-jurnal bergengsi, hingga sesederhana ringkasan resep dari berbagai situs, semuanya dapat dihidangkan dengan cepat, hangat—dan lezat—oleh “Dik AI”.

Baca juga:

Lezat rasanya, karena rasa nyaman yang dihasilkan oleh usaha yang tidak banyak dikeluarkan. Oleh karena kelezatan itulah, “Dik AI” menuai pro-kontra. Bagi mahasiswa semester akhir—empat belas—”Dik AI” adalah rekan dalam mengerjakan tugas akhir—yang nggak berakhir-akhir itu. Sebaliknya, bagi pelukis yang hidup-matinya dari menghasilkan karya, “Dik AI” adalah lawan. Tetangga, teman, saudara, hingga pacarnya lebih percaya “Dik AI” untuk membuatkan gambar ber-style anime dari foto yang baru saja dijepret itu.

Fitnah yang datang sebab kehadiran AI

Dari segala pandangan itulah, muncul sebuah tantangan bagi kaum lain. Yap, penulis! Baik dari penulis artikel ringan, penulis jurnal ilmiah, hingga penulis caption unggahan di Instagram, hampir selalu mendapat fitnah. Fitnah ini muncul bukan tanpa sebab, tapi hadir karena produk buatan “Dik AI” yang semakin hari, semakin sering ditemukan. Seorang pengguna X (sebelumnya Twitter) dengan nama pengguna @ha********ng, menulis sebuah cuitan tentang “Dik AI”, yang bunyinya:


“Makin kesini (red: ke sini) jadi makin bisa berasa mana tulisan yang pake ChatGPT.

Ciri-ciri yang lumayan obvious:

  • Penggunaan em dash (—)
  • Emoji sebagai bullet points
  • Pola kalimat “bukan a, bukan b, tapi c”
  • Pola kalimat “ini bukan sekadar x, tapi ini y.””

Cuitan ini pun menerima berbagai jenis dan perspektif komentar. Hingga tulisan ini dibuat (20/10), cuitan tersebut mendapat 203 balasan. Sebagian sepakat dengan cuitannya, sebagian menyampaikan keberatannya atas fitnah yang dilayangkan pada tanda pisah (em dash) yang tidak bersalah. Seperti yang disampaikan pengguna X dengan nama pengguna @ef**********ar, dengan bunyi, “Salahnya em dash dmn (red: di mana) anjir gue sering pake em sama en dash sejak 2016an grgr (red: gara-gara) belajar nulis”.

Dari cuitan utama di atas, dapat dipahami bahwa semakin hari, ‘karya’ “Dik AI” ini semakin terlihat pola dan cirinya. Beberapa poin yang disampaikan dari cuitan tersebut ada benarnya. Sehingga pembaca pada platform media sosial perlu memperhatikan tanda-tanda tersebut sebelum melayangkan fitnah. Namun ingat, tanda-tanda yang dibeberkan pada cuitan tersebut hanya bersifat tanda, tidak serta-merta jika memenuhi sama dengan karya Dik AI.

Pembelaan tidak datang dari satu sisi saja, pengguna X dengan nama pengguna @sh*****na menulis cuitan pembelaan dengan bunyi, “Kecuali point kedua, sebenernya yang disebut di ciri2 itu lumayan ngeselin. Soalnya itu poin2 yang bisa dibilang sebagai penulisan rapi, imo (red: in my opinion). Terutama penggunaan em dash.” Pembelaan yang ini menekankan bahwa tidak semua yang disebutkan oleh cuitan pertama valid adanya, karena poin-poin tersebut menunjukkan ciri penulisan yang rapi. Tetapi bisa dikatakan bahwa poin kedua—bagian “Emoji sebagai bullet points”—dapat diaminkan.

Baca juga:

Dari perdebatan dan adu argumentasi di X tersebut, didapatkan fakta bahwa tanda pisah (em dash) telah eksis jauh sebelum “Dik AI” lahir. 

Emang em dash salah apa?

Tanda pisah (em dash) dapat dengan mudah ditemukan di novel, karya sastra, artikel ilmiah, puisi, bahkan quotes tokoh-tokoh terkenal yang dipampang dengan mudah oleh akun-akun media sosial.

Dalam kepenulisan, tanda baca yang berbentuk garis horizontal, dapat disebut dash. Terdapat tiga jenis dashes, yakni hyphen, en dash, dan em dash. Setiap dash memiliki tugas dan perannya masing-masing. Berdasarkan penjelasan yang didapat dari dua sumber, yakni The Chicago Manual of Style (CMOS) dan Ejaan yang Disempurnakan edisi V (EYD V), berikut penjelasannya:

  1. Hyphen/Tanda Hubung (-)
    Sesuai namanya, tanda baca ini digunakan untuk menghubungkan unsur yang berkaitan, berulang, berhubungan, atau dapat juga menghubungkan dua unsur yang berbeda. Contoh penggunaan: suami-istri; anak-anak; two-thirds; S-1.
  2. En Dash (–)
    Dalam EYD V, tanda baca ini tidak dijelaskan secara eksplisit. Namun, The Chicago Manual of Style (CMOS) memberikan penjelasan bahwa tanda baca en dash digunakan untuk menyatukan unsur yang terpaut oleh jarak. Contoh penggunaan: September–Oktober; 1948–1888.
  3. Em Dash/Tanda Pisah (—)
    Nah, tanda baca yang sedang hangat diperdebatkan ini memiliki banyak sekali fungsi, mulai dari pengganti koma (,), pengganti titik dua (:), pengganti titik koma (;), bahkan pengganti tanda kurung (()). Tanda pisah ini memiliki fungsi sebagai pengapit informasi tambahan, atau interupsi, seperti: “Keberhasilan itu—kita sependapat—dapat dicapai jika kita mau berusaha keras”; dan “Gerakan Pengutamaan Bahasa Indonesia—amanat Sumpah Pemuda—harus terus digelorakan”. Namun, berbeda dengan CMOS. Di samping berfungsi sebagai pengganti beberapa tanda baca dan sebagai ‘pengapit’ informasi tambahan atau interupsi, dalam EYD V, tanda pisah ini juga berfungsi sebagai en dash yang dijelaskan oleh CMOS. Contoh: Jakarta—Bandung; September—Oktober.

Saran untuk semua pihak

Setelah memahami fungsi, waktu muncul, dan peran em dash, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah jam terbang dalam membaca memberi pengaruh pada penghakiman terhadap sebuah tulisan.

“Dik AI” tidak hadir untuk dihindari, tetapi hadir sebagai teman, rekan, hingga kolega kritis. Maka jangan hindari, tapi manfaatkan secukupnya.

Jadi, terakhir, berikut sedikit saran untuk semua pihak;

Untuk penulis, ‘yuk, mulai banyak mengeksplorasi berbagai bentuk tulisan, gaya, dan urutan pola kalimat agar tidak mudah difitnah.

Untuk pengguna Dik AI sebagai rekan menulis, ‘yuk, maksimalkan Dik AI hanya sebagai ‘rekan’, bukan penulis utama. Atau, paling tidak, hiaslah karya “Dik AI” dengan karakter tulisan milik Anda sendiri.

Untuk pembaca umum, ‘yuk, bantu bela penulis dan tanda baca yang lagi sering banget difitnah!

Untuk pemfitnah, ‘yuk, banyak baca! (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Muhammad Damar Ravisya
Muhammad Damar Ravisya Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jepang Univesitas Brawijaya, Malang | Bukan wibu tapi ambil jurusan Jepang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email