Pasung Jiwa dan Euforia Kebebasan

Mina Megawati

4 min read

Pasung Jiwa (2013), sebuah novel yang membuat saya mempertanyakan banyak hal setelah membacanya.

Ungkapan perasaan sang tokoh utama, Sasana (Sasa) dan Cak Jek (Jaka Wani) membuat saya bertanya apakah saya sudah cukup mengenal diri saya sendiri? Apakah tubuh dan jiwa saya sudah sinkron? Dan apakah jiwa saya sudah betul-betul bebas tanpa kungkungan apa pun?

Seperti yang pernah disebut filsuf Alan Watts sebagai “hukum kebalikan” yang dikutip dalam buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat (2016) milik Mark Manson:

“Menginginkan pengalaman positif adalah sebuah pengalaman negatif; menerima pengalaman negatif adalah sebuah pengalaman positif.”

Intinya semakin kuat kita berusaha merasa baik setiap saat, kita akan semakin tidak puas, karena mengejar sesuatu hanya akan meneguhkan fakta bahwa kita tidak baik-baik saja. Semakin mati-matian ingin bahagia dan dicintai, kita akan menjadi semakin kesepian karena merasa ketakutan, terlepas dari banyaknya orang yang berada di sekitar kita. Itu terjadi pada Sasana, tokoh utama dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari.

Sasana menemukan sisi lain dirinya yang menyukai musik dangdut daripada piano, menyadari kalau dia lebih nyaman memakai rok daripada celana panjang, suka memakai bedak dan gincu—meskipun dia adalah seorang laki-laki. Bahkan sampai saat dia memilih meniti karir sebagai penyanyi dangdut keliling daripada kuliah sesuai pilihan orangtuanya. Dari sanalah saya mencoba memahami arti menerima dan mendengarkan apa yang dimaui diri sendiri.

Sasana Sang Biduan Feminin

Saat menjejaki kota Malang dengan tujuan berkuliah, Sasana justru memilih jadi pengamen. Dia merasa kuliah bukan tujuan yang dicarinya. Sebuah pilihan yang mempertemukannya dengan Cak Jek di sebuah warung kopi milik Cak Man. Dari situlah awal mula kolaborasi musik di antara mereka, Cak Jek sebagai pemain musik dan Sasana yang kemudian mengganti nama panggilan menjadi Sasa sebagai penyanyinya. Tak disangka, pengunjung warung makin ramai karena pertunjukan dangdut dari Sasa dan Cak Jek, pundi-pundi pun mulai mereka kantongi yang kemudian menjadi sumber nafkah keduanya.

Realitanya adalah Sasa tak lagi disibukkan tentang bagaimana sebaiknya orang memandang dirinya sebagai mahasiswa berprestasi, tetapi bagaimana dia merasa nyaman menjadi Sasa yang seorang biduan dangdut.

Sasa yang hadir dalam bentuk lain itu tidak tiba-tiba timbul begitu saja. Kerap dirundung, dipukuli, dianiaya saat duduk di bangku SMA membuat Sasana membenci dunia laki-laki yang penuh kekerasan dan pembullyan.

Baginya, di sana hanya ada adu kekuatan dan adu jotos. Siapa yang lemah bersiap ditindas sepanjang masa tanpa bisa menagih keadilan pada siapa pun.

Meski ayahnya sudah menempuh jalur hukum, namun ujung-ujungnya Sasana tetap merana.

“Aku benci perkelahian, aku tak mau ada darah. Aku benci dunia laki-laki. Aku ingin tenggelam dalam dunia Melati,” kutipan dari halaman 39.

Bagi Sasana, dunia Melati (adik perempuannya) adalah representasi dari sebuah kedamaian, ketenangan, dan kecantikan hakiki yang ingin Sasana miliki.

Di fase ini terlihat keberanian Sasana mengambil keputusan untuk menjadi Sasa dan melakoni hidup yang diinginkannya—meski bohemian.

Tidak lagi disibukkan dengan sekat mana hal positif dan negatif. Seperti kata Mark Manson masih dari buku yang sama menyebut bahwa,

“Hasrat untuk mengejar semakin banyak pengalaman positif sesungguhnya adalah sebuah pengalaman negatif. Sebaliknya, secara paradoksal, penerimaan seseorang terhadap pengalaman negatif justru merupakan sebuah pengalaman positif.”

Sasa: Penjara, Kekerasan Seksual, dan Kembali pada Ibu

Saat merasa telah menemukan dunianya, Sasa kembali dihadapkan pada suatu kejadian yang mengubah jalan hidupnya.

Malam itu, ketika mendapati kabar dari Cak Man (pemilik warung kopi) tempatnya mengamen bahwa anak perempuannya yang bernama Marsini hilang.

Dia sudah beberapa hari tidak pulang ke kosan, tidak nampak pula di pabrik tempatnya bekerja membuat Cak Man merasa ada hal ganjil yang terjadi pada anaknya. Marsini, dan beberapa buruh lain dinyatakan hilang setelah beberapa hari sebelumnya melakukan demo meminta kenaikan upah.

Mendapati hal itu Sasa dan Cak Jek tidak tinggal diam. Mereka mendatangi pabrik yang berlokasi di Sidoarjo untuk menggelar konser mini di depan gerbang pabrik dan menyuarakan apa yang mereka sebuat ‘aspirasi’.

Sayangnya, bukan jawaban tentang hilangnya Marsini yang didapat, melainkan mereka diboyong masuk ke hotel prodeo. Sialnya, Sasa dan Cak Jek ditempatkan di sel yang berbeda.

Pelecehan seksual jadi sesuatu yang didapat atas niat baik Sasa yang ingin membantu Cak Man. Mereka yang disebut aparat penegak hukum justru jadi keparat yang memperlakukan Sasa laiknya ‘barang’ pemuas berahi binatang berwujud para tentara itu.

Sasa dibebaskan tepat di hari keempat belas, dia berlari sekencangnya dan tidak mau menoleh ke belakang, lalu lompat ke dalam bus yang dijumpainya. Bukan untuk duduk, tetapi berjalan dari satu bangku ke bangku lain, menyanyi untuk mendapatkan uang agar bisa sampai ke Stasiun Pasar Turi, Surabaya.

Mencari kereta dengan harapan bisa ke Jakarta kembali pada orangtuanya yang dia rindukan.

Kejadian yang dialami Sasa menyadarkan kita bahwa hidup itu sendiri adalah sebentuk penderitaan tidak terelakkan dari sesuatu yang tidak pernah kita duga sebelumnya.

“Alasan sederhana mengapa kita mengalami penderitaan adalah bahwa secara biologis penderitaan itu bermanfaat. Ini adalah agen alami yang diperlukan untuk perubahan yang menginspirasi. Kita telah berevolusi untuk selalu hidup dengan derajat ketidakpuasan dan kegelisahan tertentu, karena hanya makhluk hidup yang kurang puas dan tak terlalu amanlah yang mampu berinovasi dan bertahan hidup,” kutipan Mark dalam bukunya.

Di sini tampak saat seorang ‘Sasa’ gagap dengan segenap ketidakenakan yang dialami di kantor Koramil setidaknya membuat Sasa pulang pada orangtua.

Tempat yang pertama terpikir ketika kondisi tidak lagi bersahabat, meski masih ada lubang di hatinya yang masih menganga.

Rumah Sakit Jiwa: Solusi ataukah Masalah?

Pulang ke rumah ternyata membenturkan Sasana pada kondisi baru. Terpaksa meletakkan sosok ‘Sasa’ agar tidak menyakiti hati orangtuanya terutama ibu. Dia kembali laiknya anak yang rindu ibu sebagai tempat mengadu.

Meskipun kenyataan yang ditunggunya dari hari ke hari hanya cahaya matahari pagi. Sasana takut dengan gelap malam yang datang membawa segenap kenangan tentang Cak Jek, Cak Man, Marsini, dan sekumpulan tentara keparat.

“Aku butuh mengempaskan semua yang berkecamuk dalam pikiranku ini. Tapi bagaimana caranya? Semakin aku tak ingin mengingat itu semua, semakin kuat ingatan-ingatan itu melekat. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah berharap cahaya segera datang. Karena itu artinya malam telah pergi, dan aku tak lagi tersiksa seperti ini. Pagi adalah awal kehidupan,” gumam Sasana di Pasung Jiwa halaman 103.

Terpuruknya kondisi membuat Sasana dikirim ke rumah sakit jiwa dengan harapan supaya jiwanya bisa kembali sehat.

Di dalam sana, Sasana menjumpai teman baru, seorang perawat yang membuatnya nyaman bernama Masita.

Belakangan baru diketahui bahwa Masita adalah seorang dokter yang sedang mengambil spesialis jurusan Psikatri.

Ada ucapan menarik dan filosofis dari Masita saat mengungkapkan hasil penelitiannya.

“Tak ada jiwa yang bermasalah. Yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda.” Hal 146

Dari perkataan Masita tampak bahwa di satu kondisi RSJ bukan obat, tetapi sekat yang bisa saja memperburuk kesehatan mental mereka.

Apalagi kalau kondisinya seperti Sasana, dia tidak mengamuk, memukul, atau melukai orang. Mereka hanya butuh telinga, hanya ingin dianggap, dan diterima meski berbeda.

Sebuah Pilihan & Euforia Kebebasan

Hidup kita adalah tentang apa yang kita pilih. Suka atau tidak, kita selalu berperan aktif dalam apa yang sedang terjadi terhadap realitas dan diri kita.

Kita selalu memilih nilai-nilai yang kita hidupi dan ukuran yang kita gunakan untuk menilai setiap hal yang terjadi pada diri kita.

Satu peristiwa yang sama bahkan bisa menjadi baik atau buruk, bergantung pada satuan yang kita pilih.

Menjelang bab akhir novel Pasung Jiwa, saya mulai menerka apa dan bagaimana hidup Sasana (Sasa), Cak Jek (Jaka Wani) ke depannya?

Di luar dugaan, penulis menutup carut-marut perjalanan dua insan dengan sebuah pilihan berani. Jaka Wani meninggalkan fanatisme yang belakangan membuatnya jadi berbeda dan arogan.

Pada akhirnya, keduanya lalu memilih jalan hidup yang mereka inginkan. Memilih untuk mereguk euforia kebebasan seutuhnya menurut versi mereka sendiri.

Editor: Moch Aldy MA

Mina Megawati

One Reply to “Pasung Jiwa dan Euforia Kebebasan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email