“Adanya kejahatan seksual di pondok pesantren yang dibesar-besarkan oleh media, padahal itu hanya sedikit jumlahnya.” Kalimat tersebut dikeluarkan oleh Menteri Agama Republik Inondesia, Nasaruddin Umar pada 14 Oktober 2025, saat menanggapi kasus pelecehan seksual yang akhir-akhir ini marak terjadi di pelbagai pondok pesantren. Menurutnya, fenomena kekerasan seksual di pondok pesantren dilebih-lebihkan oleh media massa sehingga membuat stigma pondok pesantren adalah sarang untuk melakukan kekerasan seksual.
Pernyataan Menag seolah ingin mengaburkan fakta yang ada di lapangan. Sebab ia seolah mengatakan bahwa kekerasan seksual yang ada di pondok pesantren tidaklah valid. Faktanya, kekerasan seksual di pondok pesantren menduduki peringkat kedua. Mengutip Databoks, dalam rentang 2015 hingga Agustus 2020 sudah terjadi 10 kasus kekerasan seksual, berbeda 4 kasus dibandingkan perguruan tinggi yang menduduki peringkat pertama. Berarti, dalam setahun setidaknya terjadi 2 kasus pertahunnya untuk kekerasan seksual di lingkup pondok pesantren. Fenomena semacam ini bukanlah hal yang sepele, sebab banyak santri masih dibawah umur harus menghadapi hal yang tidak pernah ia pikirkan sebelum masuk ke dalam pondok pesantren. Hal ini menyebabkan kerugian terhadap masa depan korban karena efek trauma.
Kasus kekerasan sudah banyak terjadi, bahkan yang menghebohkan saat itu melanda di wilayah Bandung. Herry Irawan, salah satu pengasuh pondok pesantren di Bandung menjadi pelaku kekerasan seksual, yang mana korabnnya mencapai hingga 13 santirwati. Parahnya, korban Herry adalah santriwati dengan rentang usia 14-20 tahun dan korban terakhir adalah santriwati berusia 14 tahun dalam kondisi hamil, berdasarkan kesaksian Ketua P2TP2A Garut, Diah Kurniasari Gunawan. Aksinya bisa berhasil karena iming-iming Herry terhadap korbannya sangatlah menggiurkan, seperti dibiayai kuliah hingga lulus, dibiayai untuk menjadi polwan, hingga maslah pekerjaan, mengingat stigma mengenai anak pesantren seringkali sulit mendapatkan pekerjaan menjadi alasan terkuat mengapa banyak santriwati mengikutinya dan pasrah.
Baca juga:
Tidak hanya berhenti pada Herry Irawan, di wilayah Sumenep, Jawa timur juga terjadi hal mirip yang dilakukan oleh Herry. Terdapat 9 santri yang menjadi korban dengan dalih mengambilkan minum air dingin dan membawanya ke kamar pengasuh pondok pesantren. Setelah itu, pengasuh inisial S melancarkan askinya dengan melakukan pencabulan di kamrnya dan mengatakan untuk tidak menceritakan kepada siapa pun. Sehingga aksinya terus berjalan hingga akhirnya ada yang melaporkan karena salah satu orang tua mengetahui aksi keji tersebut.
Apakah kasus pelecehan seksual hanya menimpa santriwati atau santri putri? Sayangnya, Kasus pelecehan seksual terhadap lelaki juga banyak terjadi di lingkup pondok pesantren. Mengutip Detik, seorang pria usia 60 tahun selaku pimpinan pondok pesantren melakukan aksi bejatnya terhadap santri putra yang masih anak-anak. Modus yang dialkukan adalah mendatangi kamar sang korban dengan mengatakan bahwa sang korban malas mengaji dan langsung menindihi korban, serta selalu mendapat ancaman sehingga korban tidak berani melawan.
Kenapa Kasus-Kasus itu Bisa Terjadi?
Jika ditinjau dengan teori konflik ala Dahrendorf, kekerasan itu terjadi karena adanya ketimpangan relasi kuasa dalam struktur pesantren, yakni antara kiai dan santri. Secara tidak langsung, oknum-oknum nakal ini bertinda seenaknyha demi kepentingannya sendiri. Berangkat dari situ, para oknum akan memanfaatkan momentum semacam itu untuk mendoktrin santrinya supaya selalu tunduk kepada sang kiai.
Lantas pertanyaan adalah, apakah agama membenarkan hal tersebut, bahkan dalam kitab kunig rujukan para santri salaf, yakni ta’lim muta’alim karya Syekh Az Zarnuji? Dalam karyanya, memang Syekh Az Zarnuji memerintahkan santri untuk tunduk kepada gurunya, seperti melakukan perintah sang guru dengan alasan gurunya yang telah menuntun santrinya menjadi orang alim. Namun, ia memberi catatan bahwa tidak semua perintah dijalankan apabila hal tersebut berujung kepada pintu maksiat. Hal ini jelas, agama tidak pernah membenarkan tindakan semacam ini.
Selain itu, dalam Al Quran juga, tepatnya pada Surah An Nisa ayat 59 terdapat perintah untuk menaati Allah, Para Rasul hingga ulil amri atau pemangku kebijakan, dengan catatan tidak mengindikasikan pada hal yang berbau kemaksiatan. Dari hal tersebut jelas bahwa tidak ada pembenaran untuk melakukan tindakan maksiat dengan dalih barokah.
Baca juga:
Fenomena kekerasan seksual di pesantren membuat degradasi peran pondok pesantren. Pesantren yang harusnya menjadi rumah kedua untuk membentuk manusia berakhlakul karimah dan berpendidikan sesuai ajaran Islam harus tercoreng karena ulah oknum-oknum pengasuh yang bejat dan tidak bermoral. Ditambah Menag mengeluarkan pernyataan semacam itu justru membuat asumsi liar mengenai pesantren kepada orang non-pesantren. Hal semacam ini justru membuat orang menjadi Islamphobia karena perilaku umatnya sendiri, bukan ajaran dari agama.
Tanggung Jawab Siapa?
Lantas, dengan adanya semacam ini, siapa yang berhak bertanggung jawab? Semua pihak harus bertanggung jawab dan saling membahu untuk menuntaskan permasalahan semacam ini. Dari pemerintah melalui Kemenag, sudah seharusnya membuat regulasi yang jelas dan melakukan pemeriksaan secara berkala mengenai lingkungan semua pondok pesantren dengan membentuk tim satgas pencegahan kekerasan pada santri untuk memastikan apakah pondok pesantren yang diperiksa ada kasus kekerasan seksual. Apabila ketahuan, maka harus diproses hukum.
Selain itu, pihak pesantren sudah seharusnya mulai juga membentuk tim pencegahan kekerasan terhadap santri. Sebab, masih belum banyak pondok pesantren mempunyai tim satgas semacam itu sehingga masih banyak pondok pesantren bingung mengatasi hal tersebut. Ditambah para oknum seringkali berusaha menutupi kasus tersebut dengan iming-iming pencemaran nama baik pondok dan barokah hilang apabila kasus tersebut tersebar. Hal semacam ini harus dibasmi supaya menjadi rumah kedua yang nyaman, dan para santri maupun wali santri harus berani melaporkan hal semacam ini.
Untuk para santri dan alumni, sudah seharusnya kalian bersuara secara lantang dan selalu bersuara ketika terdapat fenomena tersebut. Bisa kita lihat di saat terdapat fenomena pelecehan salah satu kiai yang dilakukan oleh stasiun televisi, banyak para santri bergerak untuk membela. Sayangnya, masih belum banyak santri dan para alumni bergerak dan bersuara mengenai hal semacam itu.
Dengan sifat semacam ini, maka santri, pondok pesantren, hingga agama Islam akan selalu menjadi sasaran para pengritik bahwa ketiga pilar tersebut melegalkan tindakan maksiat secara tidak langsung karena terlalu banya diam dan hanya bersuara terhadap isu-isu tertentu saja.
Oleh karena itu, mari para santri dan alumni mulai terbuka dengan media sosial dan menyuarakan hal-hal seputar dunia pesantren. Segala bentuk kekerasan seksual di pondok pesantren harus dikecam supaya tidak terjadi pelabelan negatif terhadap pondok pesantren. Lagipula, menentang perilaku guru yang maksiat adalah wajib hukumnya. (*)
Editor: Kukuh Basuki
