Keep calm and stay cool!

Orang Dalam

Pitrus Puspito

2 min read

Di sebuah kota yang sibuk dengan deru mesin dan kilau papan reklame, berdiri menara kaca, simbol kejayaan, tetapi juga cermin yang memantulkan wajah-wajah yang tak pernah diizinkan masuk. Di situlah, Wulung menaruh seluruh mimpinya.

Ia bukan siapa-siapa, hanya anak seorang kuli bangunan yang gajinya selalu habis untuk biaya sekolah adik-adiknya. Namun, Wulung membawa bekal lain: nilai cumlaude, penghargaan penelitian, dan integritas yang ia jaga seperti api kecil di dalam dadanya.

“Kalau aku diterima di sana,” katanya pada ibunya suatu pagi, “kita tak perlu lagi berhutang di warung, Bu.”

Ibunya hanya tersenyum, menepuk bahunya, lalu menyetrika kemeja putih pemberian tetangga agar tampak seperti baru.

Pada hari wawancara, Wulung datang lebih awal. Ia duduk di ruang tunggu, dikelilingi wajah-wajah yang sama tegangnya. Tangannya berkeringat, tapi hatinya penuh harap. Ia percaya pada pepatah, ‘Keja keras tak akan mengkhianati hasil’.

Saat dipanggil, ia masuk ke ruangan ber-AC yang dinginnya menusuk tulang. Pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit: tren global, manajemen resiko, hingga strategi inovasi di era digital. Wulung menjawab dengan mantap, bahkan sempat mengutip penelitian yang semalam ia baca. Salah satu pewawancara mengangguk kagum.

Seminggu kemudian, Wulung mendapat kabar bahwa ia lolos tahap wawancara dan harus segera tes kesehatan untuk syarat terakhir menjadi karyawan di perusahaan. Wulung sangat senang mendengar kabar itu walau ia juga bingung dengan biaya cek kesehatan. Ibunya menghampirinya dengan senyum tulus, menyerahkan cincin kawin sebagai biaya.

“Hasil check-up kami menyimpulkan tekanan darah Anda normal, organ-organ vital Anda juga sehat. Begitu juga tes urin, bersih dari narkoba.” Begitu penjelasan suster kepada Wulung.

Keluar dari klinik, langkah Wulung terasa begitu ringan. Ia sudah bisa membayangkan ayahnya tersenyum kembali setelah sekian lama muram karena beban hidup, dan adik-adiknya bisa membeli sepatu dan seragam baru tanpa rasa malu lagi diejek teman-teman sekolahnya.

Dua minggu kemudian, pengumuman diterbitkan. Nama Wulung tak tercantum. Ia membaca berkali-kali untuk memastikan, matanya ia sipitkan untuk meneliti pengumuman itu. Namanya tak muncul. Yang muncul justru nama Aldo, sepupu direktur utama perusahaan itu.

Ironinya, Wulung adalah kawan lama Aldo di kampus. Kawan yang sering menitip absen, kawan yang tak pernah mengerjakan tugas, kawan yang dulu dengan malu-malu meminta contekan pada Wulung saat ujian. Dan kini, dialah yang duduk di kursi idaman.

“Kerabat orang dalam,” begitu orang-orang menyebutnya. “Darah biru perusahaan.”

Wulung menatap map coklat di mejanya. Map yang berisi sertifikat, berbagai piagam, bukti kerja keras selama kuliah. Kertas-kertas itu kini tampak sebagai omong kosong, seperti naskah sandiwara yang tak pernah dipentaskan.

Beberapa hari kemudian, televisi menayangkan berita. Aldo, dengan senyum penuh percaya diri, diwawancarai sebagai ‘Karyawan muda inspiratif’. Ia berkata bahwa kesuksesannya lahir dari kerja keras, semangat juang, dan tekad baja. Kata-kata itu meluncur dengan lancar, seperti dagelan yang hanya bisa ditertawakan oleh orang-orang yang tahu kebenarannya.

Wulung menonton dengan wajah kaku. Ada rasa muak, ada tangis yang ia tahan di kerongkongan. Dunia benar-benar pandai bersandiwara: yang malas bisa disebut tekun, yang berintegritas tak pernah diberi kesempatan.

Namun, ironi tak berhenti di sana. Beberapa bulan kemudian, tulisan Wulung yang memuat kritik pedas tentang nepotisme dimuat di sebuah majalah lokal. Tulisan itu viral, dibagikan, dan dikutip orang-orang. Banyak yang mengaku tersentuh. Bahkan, seorang dosen menggunakannya sebagai bahan kuliah etika.

Dan siapa yang menanggapi tulisan itu? Aldo. Dalam sebuah forum resmi perusahaan, ia berkata dengan nada bijak, “Kita harus membuka peluang seluas-luasnya bagi generasi muda. Meritokrasi adalah kunci masa depan.”

Tepuk tangan bergema. Aldo dielu-elukan sebagai sosok muda visioner. Tulisan Wulung hidup, tapi namanya lenyap ditelan dunia yang kejam.

Di kamar kecilnya, Wulung hanya tersenyum miris. Ia menyadari bahkan jeritan hati pun bisa dipungut orang lain, dipoles, lalu dijual kembali sebagai kebijaksanaan palsu. Wulung diam membisu, menarik nafas dalam lalu mengembuskannya. Ia sadar, bahwa ia tak punya kuasa untuk menuntut, tak punya panggung untuk melawan.

Malam itu, ia keluar rumah, menatap gedung tinggi yang memantulkan cahaya lampu kota. Gedung itu berdiri angkuh, dingin, seolah-olah mengejek si miskin. Wulung tahu, ia hanyalah bayangan redup di trotoar, tak akan pernah terpantul di kaca-kaca megah itu.

Tapi dalam hatinya, ia bergumam lirih, “Biarlah mereka menulis sejarah dengan tinta emas palsu. Aku akan menulis dengan keringat luka yang jujur. Dan mungkin, suatu hari nanti, orang-orang akan membaca kebenarannya.”

Angin malam berembus, membawa tawa dari kafe di seberang jalan. Wulung melangkah pulang, dengan senyum tipis tanpa makna. Ia tahu mimpinya telah retak. Tapi justru dari retakan itulah, ia mulai melihat betapa dunia lebih gemar berbohong daripada mengakui kerapuannya sendiri.

Dan malam itu, di bawah langit kota yang berkelip, Wulung berjanji pada dirinya sendiri: ia tak akan membiarkan namanya terkubur oleh bayang-bayang nepotisme. Ia akan terus menyalakan api kecil dalam dirinya, meski dunia berulang kali berusaha memadamkannya.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Pitrus Puspito
Pitrus Puspito Keep calm and stay cool!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email