Apa yang harus dilakukan di hari-hari terakhir jabatannya ini? Mulyono terus memikirkan itu sepanjang hari. Sejak pagi hingga waktunya tidur di malam hari, ia terus gelisah, memikirkan apa yang harus dilakukan di dua bulan terakhir ini. Dalam tidur pun ia masih memikirkan hal yang sama. Pertanyaan-pertanyaan dan berbagai ragam jawaban muncul dalam mimpi-mimpinya, hingga tak jarang keluar dalam bentuk igauan yang membangunkan istrinya.
“Kamu tuh lagi kenapa, Pak?” tanya istrinya pagi ini sambil keduanya menikmati sarapan.
Meja makan yang terbuat dari kayu jati sepanjang 3 meter itu terasa terlalu besar untuk mereka berdua. Dulu selalu ada tiga anak yang setiap pagi sarapan bersama mereka. Tapi semenjak masing-masing anak menikah dan tinggal terpisah, hanya Mulyono dan istrinya sarapan berdua setiap pagi. Memang mereka tak benar-benar hanya berdua di rumah dinas ini. Ada banyak pembantu, asisten, ajudan, pengawal, dan sopir yang sehari-hari tinggal seatap dengan Mulyono dan istrinya.
Mulyono pura-pura tak mendengar pertanyaan istrinya. Ia terus menyantap sarapan nasi goreng kegemarannya, sembari pikirannya terus bergemuruh mengulang pertanyaan-pertanyaan yang sama.
“Pak!” Istrinya menyentak. Mulyono tak lagi bisa mengelak.
“Dua bulan lagi kita harus pindahan, Bu,” jawab Mulyono.
“Ya kalau itu, semua orang juga sudah tahu. Barang-barangku sudah aku kemas semua. Sebagian sudah aku kirim ke rumah,” jawab istrinya. “Banyak juga barang kita sepuluh tahun ini ternyata, Pak. Rumah kita tidak akan muat. Kita harus renovasi, atau beli rumah lagi saja. Pindah di dekat rumah anak-anak juga enak, Pak. Biar aku bisa ketemu cucu setiap hari. ”
Istri Mulyono berceloteh dengan ringan, seakan lupa pada pertanyaan awalnya. Lupa untuk mencari tahu kenapa suaminya belakangan terlihat gelisah dan sering mengigau tidak jelas. Ah, tapi memang sesungguhnya istri Mulyono tak benar-benar peduli. Ia juga sedang sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri.
Dua bulan lagi, apakah masih akan ada tamu-tamu yang datang ke rumahnya? Oh segala rupa batik dan tenun indah itu, berapa ya harganya kalau harus beli sendiri? Di mana ya belinya? Istri Mulyono tak pernah tahu harga barang-barang yang ia punya, karena memang ia tak pernah membeli. Ia ingin hidup sederhana saja, tak pernah belanja, tak pernah menghabiskan gaji suami untuk membeli barang yang ia suka. Toh ia sudah mendapat banyak sekali hadiah setiap minggu, yang pastinya sayang kalau tidak digunakan.
Istri Mulyono juga terus dibayang-bayangi wajah si ibu itu, istri Bupati baru yang akan menggantikan suaminya. Ah… pasti dia akan jadi sombong sekali! Gayanya selangit, lagaknya jadi si paling istri pejabat. Itulah sebabnya dari dulu istri Mulyono tak pernah suka dengannya. Jauh-jauh hari sudah ia wanti-wanti suaminya, jangan kasih panggung si orang itu. Jangan sampai dia makin punya nama. Eaalah… malah sekarang si orang itu yang akan menggantikan suaminya.
Sampai sekarang istri Mulyono juga masih belum bisa ikhlas menerima bahwa bukan anak sulungnya yang akan menggantikan suaminya. Bagi istri Mulyono, suaminya ini memang kurang tas tes, gampang dipengaruhi orang. Untuk urusan anaknya ini misalnya, sudah jelas-jelas mereka atur agar anak sulungnya yang menggantikan jabatan bapaknya jadi bupati. Toh umurnya juga sudah cukup. Sudah lumrah di mana-mana anak bupati menggantikan bapaknya. Tak sedikit juga istri yang menggantikan suaminya jadi bupati. Kalau suaminya sudah cawe-cawe, pasti anak sulung mereka yang akan menang dalam pemilihan.
Weladalah… kok ada yang membisiki suaminya itu untuk mengubah rencana. Katanya biar Pak Bupati turun dengan terhormat, mikul dhuwur mendhem jero. Pak Bupati diminta sedikit sabar, nunggu satu periode, biar tidak dituduh nepotisme, biar dianggap tahu etika, biar nama baiknya yang sudah kondang seantero negeri ini tidak rusak begitu saja. Jangan sampai gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Jangan sampai juga gara-gara pencalonan anaknya, akan dicari-cari kesalahannya yang lain.
Pak Bupati pun menuruti nasihat itu. Ia paling takut namanya rusak. Ia selalu ingin namanya harum. Apalagi ini kan hanya menunda. Anaknya akan tetap bisa jadi bupati. Hanya perlu menunggu lima tahun. Dalam lima tahun mereka akan melakukan persiapan sebaik-baiknya.
Aaah… Mengingat semua ini membuat istri Mulyono mendadak merasa gerah. Andai saja anaknya yang menggantikan suaminya jadi bupati, tapi perlu ia repot-repot memindahkan semua barang-barangnya dari rumah dinas. Istri Mulyono menyudahi makan paginya, padahal kopinya juga belum disentuh. Ia bangkit meninggalkan meja makan.
“Mau ke mana, Bu?” tanya suaminya.
“Mau ke acara PKK,” jawab istrinya sambil berlalu.
Tinggallah Mulyono sendirian di meja makan dengan segala kecamuk dalam pikirannya. Apa yang harus ia lakukan di hari-hari terakhirnya ini?
Mulyono memanggil ajudannya, Bahlal, yang sedang sarapan di dekat dapur. Hanya kepada ajudannya itu, Mulyono bisa merasa bebas bicara apa saja, tanpa malu, tanpa sungkan, tanpa takut. Tak ada lagi orang yang bisa ia percaya selain Bahlal. Bahkan tidak istri dan anak-anaknya sendiri.
Kepada Bahlal, Mulyono tak perlu repot-repot memilih kata. Ia juga tak perlu was-was akan dibantah atau ditolak keinginannya. Ia dan Bahlal selalu satu frekuensi. Bahlal selalu mengerti apa yang ia inginkan, bahkan ketika Mulyono belum menyelesaikan kalimatnya.
Apa pun yang ditugaskan Mulyono, Bahlal selalu bisa mengerjakan. Pekerjaan Bahlal selalu rapi, selalu beres, selalu memuaskan. Meski Bahlal hanya lulusan SMP, Mulyono punya keyakinan bahwa Bahlal punya kecerdasan di atas semua kepala dinas dan pejabat kabupaten ini.
“Lal, tinggal dua bulan.” Mulyono membuka percakapan dengan kalimat yang mengambang karena ia sendiri tak tahu apa yang mau ia katakan. Ia percaya, Bahlal bisa paham apa maksud yang tersimpan dalam hatinya.
“Semua sudah beres, Pak Bup. Bersih, rapi, sesuai rencana,” jawab Bahlal penuh keyakinan. Memang itu yang selama ini ia kerjakan. Memastikan tak ada persoalan yang bisa mengancam bosnya saat tak lagi menjabat nanti. Setiap jeratan untuk Mulyono artinya adalah jeratan untuk Bahlal sendiri. Sebab selama ini Bahlal-lah yang mengatur semuanya.
“Si Raka aman?” Mulyono menyebut nama anak pertamanya.
“Aman!”
“Si Ayu? Si Kei?” Mulyono merasa masih belum yakin. Ia menyebut nama anak kedua dan ketiga.
“Aman, Pak Bup!”
Mulyono menghela napas. Agak lega. Tapi mendadak ia ingat, “Ibu bagaimana? Banyak itu teman-temannya yang aku tak kenal!”
“Bersih, Pak Bup. Aman!” Bahlal mengeraskan suaranya, agar semakin membuat bosnya yakin dan tenang.
Mulyono menarik napas panjang. Lega. Tak ada yang perlu lagi dikhawatirkan. Tak ada lagi yang perlu repot-repot ia lakukan di dua bulan terakhir ini. Ia hanya tinggal santai saja. Sepuluh tahun ia sudah bekerja keras, sekarang waktunya untuk menikmati hasil kerja kerasnya.
Mulyono mulai berangan-angan. Sehari setelah ia lengser, ia akan langsung umrah bersama istri dan anak-anaknya. Sepulang umrah, ia akan bangun masjid. Memang sudah banyak masjid yang ia bangun selama menjabat, tapi itu tetap masih kurang! Dia harus membangun sebanyak-banyaknya masjid. Ah, tiba-tiba dia berpikir, seandainya saja ia masih boleh mau jadi bupati lagi meski sudah 10 tahun menjabat, pasti ia bisa membangun ribuan masjid di kabupatennya ini. Tak ada lagi orang yang peduli untuk membangun masjid selain dia, begitu pikir Mulyono. Di titik itu, lagi-lagi kegelisahan itu kembali. Ada yang masih belum beres. Ada yang masih kurang. Ada yang masih harus ia lakukan di dua bulan terakhir ini. Tapi apa ya?
“Ada yang rasanya masih kurang…,” kata Mulyono pelan.
Bahlal memutar pikiran. Apalagi yang kurang ya? Pikirnya dalam hati. Tabungan bosnya sudah aman sampai tujuh turunan. Marwah dan keamanan akan terjaga selamanya. Tak akan ada yang berani ngutak-atik. Anak sudah dapat jatah masing-masing. Memang belum sekarang anaknya jadi bupati, tapi jalan ke sana sudah ditata, tinggal nunggu waktu saja.
“Rasanya kita harus buat sesuatu, Lal…,” kata Mulyono perlahan. “Sesuatu yang bisa membuat rakyat selalu ingat aku, sesuatu yang membuat mereka semua tahu bahwa zamanku inilah yang paling enak, yang paling bagus. Syukur-syukur rakyat nanti memaksaku untuk jadi bupati kembali…” Sesaat Mulyono terdiam sambil menarik napas dalam-dalam. “Kalau memang rakyat yang menghendaki, ya aku gak bisa menolak tho, Lal.”
Bahlal mengangguk-angguk. Ia sudah paham apa yang diinginkan Mulyono. Ia sedang memutar otak, apa yang harus ia lakukan di dua bulan terakhir ini.
“Kita buat sesuatu, Pak Bup…,” ucap Bahlal pelan, nyaris berbisik. Mulyono mendekatkan kepalanya ke mulut Bahlal, tak sabar ia segera mendengar rencana besar apa yang ada dalam pikiran Bahlal.
“Buat rakyat percaya, Pak Bup itu bukan hanya bupati. Pak Bup ini orang yang terpilih, titisan Brawijaya, satria piningit. Hanya dengan begitu Pak Bup akan terus dicari. Pak Bup akan punya kekuatan yang lebih besar dari seorang bupati.”
Mulyono mengernyitkan dahi seraya memikirkan kata-kata Bahlal.
“Nabi itu, Pak Bup…,” kata Bahlal pelan, “Seseorang bisa jadi nabi hanya karena mendapat mimpi, dapat wahyu.”
Mulyono menatap mata Bahlal. Ia sedang meyakinkan dirinya sendiri.
“Apa pun yang Pak Bup katakan, rakyat pasti percaya,” kata Bahlal dengan penuh penekanan.
“Caranya bagaimana?” Akhirnya Mulyono membuka mulut.
“Ya gampang saja… Sama seperti kampanye. Tapi ini bukan kampanye untuk jadi bupati.”
“Kita blusukan, Pak Bup. Kita datangi orang-orang. Kita juga akan kabarkan berita besar ini ke mana-mana.”
Mata Mulyono berbinar-binar. Inilah jawaban yang ia nantikan. Bahlal selalu bisa diandalkan.
Melihat Mulyono menganggukkan kepala tanda setuju, Bahlal langsung mengangkat telepon. Ia memanggil wartawan, selebgram, selebtwit, seleb Tiktok untuk berkumpul segera.
Mulyono bangkit dari duduknya dengan penuh semangat. Ia berjalan keluar rumah, masuk ke dalam mobil dinas yang sudah menunggunya. Bahlal pun masuk ke dalam mobil yang sama, duduk di samping bosnya.
Mobil Mulyono meninggalkan rumah dinas, menuju ke pasar sayur di tengah kota. Ia akan kembali blusukan. Di dua bulan terakhir ini, ia akan lahir kembali. Sebagai satria piningit, titisan Raja Brawijaya. Tak akan ada siapa pun yang bisa menyingkirkan dan melupakannya.
(Agustus, 2024)
*****
Editor: Moch Aldy MA
