“Historia Magistra Vitae”—sejarah adalah guru kehidupan. Begitulah ujaran klasik dari Cicero yang tetap abadi di tengah laju zaman. Sejarah, meski berbicara tentang masa lalu, sesungguhnya menyimpan pelajaran berharga tentang kehidupan manusia. Ia menjadi medium yang memuat pengalaman kolektif umat manusia, dari kisah derita hingga cerita bahagia, dari kebodohan hingga kebijaksanaan.
Medium kisah yang menemani manusia beribu-ribu tahun membawa kita pada rasa syukur dan kritis. Kisah-kisah tersebut mengilhami generasi ke generasi dengan sejarah baru yang hadir dari setiap peradaban yang dilewati. Namun, inilah keunikan manusia sebagai sebuah makhluk. Dengan kisah sejarah yang ditulis atau dikisahkan menjadi bahan tongkrongan, kawan tidur, atau bahkan kawan untuk menyebarkan ideologi pada antar manusia.
Manusia, sebagaimana diungkapkan oleh Yuval Noah Harari dalam Sapiens (2024), adalah makhluk yang senang bergosip. Namun, gosip di sini bukan sekadar kabar burung, melainkan mekanisme sosial dalam menyebarkan informasi, cerita, dan makna. Dari sana, terbentuklah kisah-kisah yang melampaui ruang dan waktu, menjelma sebagai sejarah. Sejarah, dalam bentuknya yang paling sederhana, adalah kisah nyata masa lalu yang membawa kesadaran bagi kehidupan sekarang.
Baca juga:
Sebagai pengingat dan penuntun, sejarah memuat nilai-nilai untuk menghindari kesalahan yang telah terjadi dan memperkuat tindakan-tindakan baik. Ia menjadi guru sejati umat manusia. Lihatlah Socrates filsuf besar Yunani yang wafat karena racun, dihukum akibat membagikan kebijaksanaan (Reeve, C. D. C. 2000). Ironis, namun darinya lahirlah pemikiran Plato, Aristoteles, hingga Albert Brudzewski dan banyak tokoh lainnya semua adalah buah dari sejarah yang tragis namun agung.
Begitu pula zaman kegelapan Eropa dan masa heliosentrisme. Ketika Copernicus dan Galileo berusaha membuktikan kebenaran ilmiah tentang alam semesta, mereka justru dihadapkan pada represi kekuasaan. Yudi Latief pada buku Negara Paripurna berujar bahwa sejarah harus membawa pada kebebasan, sehingga perjuangan Galileo dianggap sebagai symbol melawan otoritas dan bentuk keberanian. Namun, yang menjadi korban dari hukuman inkuisisi bukan saja mereka berdua bahkan bisa ratusan atau ribuan orang yang lebih dulu harus dihukum karena keyakinannya atas ilmu pengetahuan.
Kebenaran yang tertolak menjadi bukti betapa sejarah sering kali berjalan melawan arus dominasi dan orang-orang yang berpandangan lama (kolot). Tetapi dari penderitaan tersebut, lahirlah Pencerahan (Renaisance) dan Revolusi yang mengubah banyak cerita dunia setelahnya (Eka Srimulyani, 2021).
Untuk Indonesia perasaan kelam akan nasib terjajah akhirnya membangun klimaks untuk merdeka. Dekade 1900-an para tokoh Hindia-Belanda menyatu pada organisasi yang tidak lagi bicara soal kadaerahan. Dampak kejadian hari itu membawa Hindia Belanda bergejolak untuk mimpi lepas dari kolonialisme dan imprealisme.
Kaum muda yang melawan ketimpangan yang berlangsung berhasil menciptakan revolusi Indonesia 1945. Sebuah momen sejarah yang menjadi sejarah peradaban baru tetapi momentum tersebut juga lahir dari sejarah terdahulu. Kenyataan bahwa nasionalisme dan gerakan 1945 bukan sekedar hasil penjajahan modern, tetapi juga bagian warisan memori kolektif masa lalu. Baik itu dari sistem kerajaan, kearifan lokal, serta perlawanan terhadap dominasi luar. Dalam tradisi intelektual Islam, Hindu-Buddha, dan sistem ada lokal juga memberi landasan pada nilai perjuangan tersebut (Indonesia Dalam Arus Sejarah; 2014).
Historigrafi Ulang
Sejarah bukan sekadar kronologi belaka, ia adalah proses dialektis yang, menurut Kuntowijoyo (2003), tidak hanya bertanya “apa yang terjadi,” melainkan juga “mengapa itu terjadi” dalam konteks ruang dan waktu. Sehingga mengetahui sebuah sejarah bukan sekadar menetahuinya di kepala, tetapi ia menjadi bagian untuk aktualisasi nyata pada lingkup sosial.
Kini, di tahun 2025, sejarah kembali dipersoalkan. Fadli Zon, Menteri Kebudayaan, mengusulkan penulisan ulang sejarah nasional. Sebuah langkah yang memicu pro dan kontra. Pernyataannya yang meragukan tragedi pemerkosaan massal etnis Tionghoa pada 1998 (Tempo, 2025) menyulut kemarahan publik. Tak hanya itu, perubahan istilah dari “Prasejarah” menjadi “Sejarah Awal”, seperti dikritik oleh Truman Simanjuntak (CPAS Indonesia, 2025), dianggap mengaburkan kaidah keilmuan.
Nama-nama periode sejarah seperti “Orde Lama” yang diganti menjadi “Masa Bergejolak dan Ancaman Disintegrasi” menunjukkan tendensi politik dalam sejarah. Bahkan, masa penulisan sejarah ulang yang dilakukan dalam waktu sangat singkat berbanding terbalik dengan pernyataan Anhar Gonggong di televisi swasta yang menyebutkan bahwa penulisan sejarah kredibel memerlukan waktu paling tidak dua tahun. Oleh karena itu penulisan sejarah ulang dari Kementrian Kebudayaan yang terbilang cepat mengindikasikan ketergesaan yang sarat kepentingan.
Sejarah seharusnya tidak berpihak. Ia tidak boleh menjadi alat penguasa. Jika sejarah adalah guru, maka ia harus menampilkan kenyataan, bukan manipulasi. Jika tidak, maka kita berisiko mengalami kemerosotan pengetahuan, kehilangan jejak masa lalu, dan akhirnya mengulang kesalahan yang telah terjadi.
Harusnya
Ernest Renan pernah menyatakan bahwa bangsa lahir dari “kesadaran akan satu riwayat dan nasib bersama.” Jika riwayat itu dipotong atau disensor, maka identitas kebangsaan pun patut dipertanyakan. George Santayana pun mengingatkan, “Siapa yang melupakan masa lalu, maka ia akan dikutuk untuk mengulanginya.”
Sartono Kartodirdjo menekankan bahwa sejarah bukan hanya pengetahuan masa lalu, tetapi alat untuk memahami proses sosial yang membentuk masyarakat sekarang. Maka, sejarah menjadi referensi kolektif untuk menentukan arah masa depan. Dari sejarah kita tau bahwa banyak manusia yang rela mati demi keyakinannya untuk mengubah suatu sistem yang sudah melenceng. Maka dengan sejarah harusnya masyarakat dapat berpikir kritis bukan sekadar duduk manis, seolah masa lalu hanya sekadar permen yang diemut hingga habis sehingga rasanya hilang dan terlupakan.
Baca juga:
kata Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran, “Sejarah adalah rekaman dari perjuangan manusia melawan kekuasaan yang menindas dan untuk mewujudkan dunia yang lebih adil.” Maka dengan penulisan sejarah ulang yang hadir hari ini harusnya memberikan harapan akan keadilan. Bahwa segala yang menjadi cerita senang dan kelam bangsa Indonesia harus dituliskan. Cerita tersebut bukan aib tetapi perjalanan bangsa menuju dunia yang lebih adil.
Maka, jika sejarah ingin menjadi guru yang sejati, ia harus menjadi teladan yang jujur, objektif, dan berpihak pada kebenaran. Biarkan sejarah ditulis dengan apa adanya. Karena hanya dengan begitu, ia dapat mendidik manusia hari ini, agar tidak tersesat esok hari. (*)
Editor: Kukuh Basuki
