Seorang Pembelajar

Mengembalikan Sakralitas Alam

Raghib Muhammad Sakho

5 min read

Yuval Noah Harari dalam Sapiens menuliskan terdapat spesies manusia yang  dengan pede-nya menamai diri sendiri sebagai Homo sapiens—spesies sapiens (bijak) dalam genus Homo (manusia). Dalam 100.000 tahun terakhir—melalui Homo sapiens atau epos Antroposen—manusia melompat spektakuler ke puncak rantai makanan dan menjadi akar krisis itu sendiri.

Populasi manusia Homo soloensis, Homo denisova, Neanderthal dan Manusia Katai puluhan ribu tahun lalu terdesak hingga punah oleh Homo sapiens dan menjadikan kita satu-satunya spesies manusia yang tersisa. Hal ini membuat kita lebih mudah untuk membayangkan bahwa kita adalah puncak penciptaan dan membawa jurang yang memisahkan kita dari kingdom hewan lainnya.

Kehidupan modern yang diklaim sebagai “aufklarung” dan “enlightenment” atau era pencerahan, ternyata juga telah menyebabkan kerusakan yang dahsyat. Cara hidup yang dianggap sebagai prestasi hebat, di sisi lain mengandung banyak keburukan yang berakibat fatal.

Dampak perubahan iklim yang semakin meresahkan, nyaris menyasar pada seluruh lapisan kehidupan di sekeliling kita. Mulai dari dampaknya pada kesehatan, cuaca yang kian ekstrem, terancamnya kekayaan alam dan biodiversitas di bumi, hingga jatuhnya korban jiwa.

Antroposen dan Hukum oleh Andri G. Wibisana menjelaskan dalam epos Antroposen, sentralitas manusia dalam hubungan sosial, nilai, dan penggunaan kekuasaan memiliki peran yang sentral. Untuk itu, hukum memiliki peran penting dalam masa ini, sebab hukum merefleksikan hal-hal tersebut.

Lihat saja pada fase awal berkembangnya wacana Hak Asasi Manusia (HAM), lingkungan yang baik dan sehat bahkan belum dianggap sebagai bagian dari hak yang melekat dari setiap manusia. Kepedulian terhadap masalah degradasi lingkungan dalam diskursus HAM baru muncul secara “resmi” pasca lahirnya Deklarasi Stockholm 1972 dan kemudian 3 dekade setelahnya melalui Deklarasi Rio 1992.

Namun sayangnya, aspek perlindungan lingkungan hidup dalam dua deklarasi ini masih menjadi sub-sistem dari economic development serta kentalnya pendekatan antroposentris (human-centric) dan ecological disintegrity yang sarat penekanan pada kebutuhan manusia dan mengenyampingkan adanya interdependensi antara human dan natural beings.

Contoh lain dalam konstitusi Indonesia, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pasal ini jelas dapat dijadikan dasar konstitusional untuk mewujudkan keadilan sosial.

Namun, pasal ini bisa juga dipahami tidak mendukung ecologically sustainable development/ESD (menjaga daya dukung ekosistem sumber daya alam itu). Sebab kekayaan alam yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) belum diarahkan untuk dijaga daya dukung ekosistemnya bagi kepentingan keadilan generasi saat ini maupun generasi yang akan datang (intra-generational equity dan inter-generational equity).

Produksi kapitalis dan politik oligarkis turut mewarnai akar krisis ekologis, membuat pertimbangan terkait perlindungaan dan pengelolaan lingkungan dikhawatirkan memberikan dampak negatif pada pembangunan serta mengganggu stabilitas ekonomi dan laju pembangunan.

Baca juga:

Manusia menjelma sebagai spesies yang memodifikasi alam demi keuntungan perutnya selama ribuan tahun, menempatkan dirinya sebagai pusat semesta, seolah bagian terpisah dan dapat berdiri sendiri tanpa alam.

Akibatnya manusia telah merusak sistem alam (natural system) dalam skala global yang mengancam ekosistem secara keseluruhan, yang kerusakannya sudah jauh melampaui batas yang dapat disembuhkan secara alami.

Mythos dan Logos

Selama lebih dari 500 tahun ke belakang, kita telah mengembangkan pandangan-dunia yang jauh berbeda yang membuat kita melakukan perusakan alam dan memperlakukannya sebagai sumber daya semata, sangat berbeda dari para leluhur pendahulu yang memandang alam sebagai sesuatu yang sakral dan ilahiah.

Jutaan tahun sebelumnya, manusia hidup berdampingan dengan alam dan menganggapnya sebagai leluhur dan sakral. Tidak jarang, mereka memandang alam sebagai ibu mereka. Tidak ada celah esensial yang memisahkan manusia dan alam.

Masyarakat adat tradisional yang paruh kehidupannya dikendalikan oleh mitos (myth) memersepsikan “Tuhan” yang hadir secara imanen dan intrinsik dalam diri yang lebih merupakan sebuah energi sakral, lebih dalam dan fundamental. Berbeda dengan manusia modern yang dikendalikan oleh sains (logos) dalam paruh kehidupannya yang sejak abad ke-14 telah mengkonstruksi gagasan yang berbeda sepenuhnya mengenai yang sakral dengan merasionalisasi alam dan mengurung Tuhan di langit.

Krisis multidimensional yang dihadapi umat manusia saat ini mencerminkan keterputusan antara manusia dan lingkungannya. Cara kita membentuk ruang hidup—baik secara fisik maupun kultural—tidak hanya mencerminkan nilai-nilai yang kita anut, tetapi juga turut membentuk kembali kesadaran, perilaku, bahkan identitas kita sebagai bagian dari ekosistem.

Dengan kata lain, lingkungan bukan semata ruang pasif yang kita bentuk, tetapi juga entitas aktif yang membentuk kita kembali—the places we make and the places that make us. Sehingga, benang merah atau akar persoalan krisis ekologi dan kerusakan lingkungan adalah soal bagaimana cara pandang dan perilaku manusia.

Kita membutuhkan “mitos-mitos yang baik” untuk membantu kita menghormati Bumi sebagai yang sakral sekali lagi, hanya dengan adanya revolusi spiritual yang menantang genius teknologis kita yang destruktif kita akan mampu menyelamatkan planet kita.

Tidak seperti wacana lingkungan era modern, dalam mitos kuno, alam disajikan dan dialami secara imajinatif dan estetis ketimbang ilmiah, hal ini membuat adanya pelibatan emosi dan tubuh. Sebagaimana dikutip dalam Karen Armstrong Sacred Nature, para ahli neurofisika mengatakan bahwa pengalaman estetis lebih efektif membangkitkan apresiasi terhadap sesuatu daripada kognitif yang lebih objektif.

Al-Qur’an misalnya, berbicara mengenai ajaran Islam tentang alam dengan penyampaiannya yang dilakukan secara estetis ketimbang rasional. Kita diingatkan bahwa ke mana pun kita memandang di alam semesta, kita akan menemukan wajah Ilahi: “Hanya milik Allah timur dan barat; ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah meliputi segalanya dan Maha Mengetahui.”

Baca juga:

Dalam ayat lain, ketika Allah menegaskan dalam al-Qur’an, “Kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu,” seolah menyampaikan Dia berinkarnasi dalam segala sesuatu dan dalam setiap orang. Bahkan bagi Ibn Arabi, dunia alami adalah “napas Sang Pengasih” dan segala sesuatu di dalamnya merupakan ekspresi dari napas Ilahi.

Tidak kurang firman dalam al-Qur’an yang mengisyaratkan tatanan alam sebagai manifestasi dari kekuatan dan kebijaksanaan Ilahi. Al-Qur’an menyeru umat Muslim untuk mengamati daya hidup dalam pola-pola alam yang betapa sempurna dan teraturnya, sehingga membuat mereka tersadar bahwa daya itu adalah Allah itu sendiri, sampai pada titik menyadari kekuatan alam itu bersifat suci atau kudus.

Allah melalui al-Qur’an tidak meneriakkan instruksi secara kasar (baca: tegas), melainkan menyampaikan banyak ajarannya dengan lembut melalui pertanyaan-pertanyaan retoris: “Tidakkah kamu mendengar?” “Tidakkah kamu memikirkan?”, orang-orang diminta untuk sadar diri dan menumbuhkan taqwa (mindfulness), kesadaran akan pelajaran dari alam dan kepedulian besar terhadap kesejahteraan sesama.

Demikian relasi kosmis antata Tuhan, manusia, dan alam dalam al-Qur’an. Manusia dan alam menempati posisi yang sejajar sebagai sebuah mukjizat penciptaan oleh Tuhan. Manusia diberi hak mengelola alam, tetapi pada saat yang sama Allah memerintahkan manusia untuk memelihara keseimbangan alam dengan sebaik-baiknya (QS. 55: 5-9).

Kita dapat pula menemukan pemahaman yang mendalam tentang integritas ekologis manusia-alam, yang mendorong interaksi berkelanjutan yang telah berlangsung selama ratusan tahun dalam cerminan praktik-praktik yang berakar pada hukum adat di Indonesia, seperti praktik Sasi di Maluku dan Pasang Ri Kajang di Sulawesi Selatan.

Pendekatan spiritual dalam menjaga integritas ekologis di Haruku, melalui Sasi tercermin kecintaan dan rasa hormat terhadap alam. Di Kepulauan Aru, kepercayaan pada penjaga spiritual seperti Teijuwere (laut) dan Reyduwe (hutan) memperkuat komitmen terhadap kelestarian lingkungan. Filosofi Jarlir, yang memandang alam sebagai ibu, menanamkan tanggung jawab dalam menjaga sumber penghidupan utama.

Seandainya, seseorang mau memperhatikan alam semesta, pasti ia akan temukan hubungan kesatuan antara makhluk/organisme hidup dan lingkungannya (yang tidak hidup), sehingga sampai pada kesimpulan bahwa masing-masing itu memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya, tidak dapat lepas atau berdiri sendiri.

Interdependensi dalam kerja ekosistem membuat adanya sifat saling ketergantungan yang erat dan terus-menerus antara komponen biotik dan abiotik. Maka dari itu, gangguan pada keseimbangan ekologi dapat menyebabkan reaksi berantai di seluruh ekosistem, bukan hanya pada individu.

Jalan Ke Depan

Secara konseptual, diskursus HAM terkait lingkungan di atas masih memosisikan manusia sebagai subjek sentral. Lingkungan dipandang sebagai entitas yang menjadi tempat di mana manusia hidup dan menghidupi kebutuhannya. Kerusakan lingkungan dianggap sebagai penghambat aktualisasi dan pelanggaran HAM.

Kita telah berangkat dari hak atas lingkungan (rights to environment) sebagai langkah awal, dan harus terus bergerak menuju hak-hak ekologis yang lebih luas (environment’s right). Karena keduanya bergerak saling menuntut dan menyeimbangkan: menjaga hak manusia atas lingkungan artinya menjaga lingkungan itu sendiri, dan memberi hak pada lingkungan berarti menjaga keberlangsungan kehidupan manusia.

Dalam milenium Antroposen, hukum memiliki fungsi selayaknya dua sisi mata uang. Satu sisi, hukum bisa menjadi pendukung bagi kondisi yang membawa kita dalam paradigma Antroposen. Sisi lainnya, hukum juga dapat mendorong perubahan mendasar atas praktik yang membawa kita dalam masa Antroposen ini. Artinya, Antroposen bukan saja bisa mendorong hak atas lingkungan, tetapi juga mendobrak adanya pengakuan atas hak lingkungan itu sendiri.

Aturan emas—perlakukanlah orang lain sebagaimana anda ingin diperlakukan—dikembangkan secara mandiri oleh semua tradisi dan komunitas agama. Sudah saatnya, kebajikan ini untuk diekspansi, sehingga tidak lagi dibatasi pada kelompok kita sendiri (baca: manusia) melainkan harus diterapkan pada semua komunitas ekologi tanpa terkecuali.

Jika kita menginginkan sebuah dunia yang layak, kita harus membangkitkan dalam diri kita rasa hormat yang baru terhadap alam semesta, sebuah reformasi sikap kita terhadap alam. Etika konservasi antroposentris saja sama sekali tidak memadai untuk melestarikan ekologi.

Upaya ilmiah, teknis, dan politik telah dilakukan, namun perlu kiranya mendorong kekuatan spiritual-estetis untuk menemukan kembali hubungan manusia dengan alam. Upaya menemukan dan menyatukan paradigma ecocentrism dan ecotheology yang tersebar dalam berbagai doktrin menjadi pekerjaan rumah yang perlu dilakukan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Raghib Muhammad Sakho
Raghib Muhammad Sakho Seorang Pembelajar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email