Memahami UUD: Jangan Cuma Baca Teksnya Saja!

Muhammad Yazid Al-Faizi

3 min read

Konstitusi, atau di Indonesia dikenal sebagai Undang-Undang Dasar (UUD), seringkali dipahami sebagai fondasi legal utama suatu negara—sebuah kertas tertulis yang mengatur segala lini kehidupan bernegara. Namun, pandangan ini, meski tidak salah, seringkali terasa terlalu sederhana. Seakan-akan, cukup membaca setiap pasal dan ayatnya, maka seluruh makna dan tujuan konstitusi sudah tergenggam utuh.

Mahfud MD dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum di Indonesia (hlm. 62), menjelaskan bahwa “Undang-Undang Dasar negara manapun tidak dapat dimengerti hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-Undang Dasar dari suatu negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin.” Oleh karena itu, memahami UUD hanya sebatas teks adalah sebuah ilusi.

Baca juga:

Pernyataan ini bukan sekadar pengamatan biasa. Penulis mengajak kita untuk tidak terpaku pada teks saja, melainkan memahami esensi dan semangat di balik setiap pasal dan ayat.

UUD Itu Ada Lapisan-Lapisannya

Penjelasan UUD 1945 ini menggarisbawahi tiga dimensi esensial yang harus digali untuk benar-benar memahami konstitusi, jauh melampaui sekadar teks saja.

  1. Proses Sejarah Perumusan Teks
    Teks UUD 1945 yang ada saat ini merupakan hasil proses panjang tentunya, terutama saat perumusan awal oleh BPUPKI dan PPKI di tengah gejolak kemerdekaan. Di sana, terjadi tarik-menarik gagasan antara berbagai kelompok, melahirkan kompromi dan visi bersama. Risalah sidang BPUPKI dan PPKI menjadi bukti bagaimana pasal-pasal penting lahir. Memahami “dapur” perumusan ini memberikan konteks mengapa setiap kata atau pasal dipilih dan diletakkan di posisi tertentu, sehingga teks tidak terasa hampa.
  2. Keterangan yang Menyertai Teks
    Konstitusi seringkali menggunakan bahasa ringkas yang dapat menimbulkan multi-interpretasi. Untuk itu, diperlukan keterangan pendamping, seperti penjelasan resmi perumus, buku tafsir pakar, atau konsensus interpretatif. Misalnya, frasa “negara berdasar atas hukum” dalam UUD 1945 dijelaskan lebih lanjut melalui pidato perumus atau tulisan Mohammad Yamin yang mengartikannya sebagai negara hukum materiil. Keterangan ini mengisi celah makna dan memastikan penafsiran konstitusi sesuai niat awal.
  3. Suasana Saat Teks Dibuat
    Konstitusi adalah produk zamannya, dipengaruhi oleh suasana politik, sosial, ekonomi, dan ideologi dominan saat perumusannya. UUD 1945 yang lahir di tengah revolusi fisik mencerminkan semangat persatuan dan kedaulatan rakyat. Bandingkan dengan amandemen UUD 1945 pasca-Reformasi (1999-2002), yang terjadi di tengah tuntutan kuat akan supremasi hukum, perlindungan HAM, dan demokratisasi. Perubahan pada pasal HAM, pembatasan kekuasaan presiden, dan pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah respons langsung terhadap suasana “haus” akan tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis. Memahami suasana ini memberikan kita jawaban mengapa konstitusi bisa berubah, dipertahankan, atau diinterpretasikan dengan cara tertentu.

Bahaya Buta Teks dan Pentingnya Memahami UUD Secara Mendalam

Ketiga dimensi pemahaman UUD 1945 yang telah kita bahas—sejarah perumusan, keterangan penjelas, dan suasana pembentukan—bukanlah sekadar teori akademis semata. Justru, penjelasan UUD 1945 yang dikutip oleh Mahfud MD ini merupakan sebuah peringatan keras bagi kita semua. Bahaya terbesar dalam studi dan praktik Hukum Tata Negara adalah terjerumus pada penafsiran konstitusi yang buta teks (textual blindness).

Kalau kita hanya berpegang pada susunan kata tanpa menggali konteks historis, keterangan penjelas, dan suasana pembentukannya, maka konstitusi akan menjadi dokumen statis, kaku, dan gagal beradaptasi dengan dinamika perkembangan zaman. Ini bisa berujung pada penafsiran yang rigid, bahkan keliru, sehingga membatasi ruang gerak negara dalam menghadapi tantangan zaman yang terus menerus berkembang.

Kita ambil contoh pada perdebatan tentang makna “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” (Pasal 34 UUD 1945). Kalau hanya dibaca secara literal, mungkin bisa diartikan sebatas pemberian bantuan sosial. Namun, dengan memahami suasana perumusan UUD 1945 yang penuh dengan semangat negara kesejahteraan dan keadilan sosial, serta berbagai penjelasan dari perumus, pasal ini dapat dimaknai lebih luas sebagai kewajiban negara untuk menciptakan sistem jaminan sosial, kesehatan, dan pendidikan yang merata bagi seluruh warga, bukan hanya sebatas “memelihara” dalam arti sempit saja.

Baca juga:

Oleh karena itu, diperlukan interpretasi konstitusi yang progresif namun tetap berakar pada roh konstitusi itu sendiri. Interpretasi semacam ini bukan semata-mata mencari original intent (niat asli) yang kaku dari para perumus, tetapi juga original understanding (pemahaman asli) yang terus berkembang, dengan tetap memperhatikan nilai-nilai fundamental yang diamanatkan konstitusi.

Pendekatan ini memungkinkan konstitusi tetap relevan di tengah perubahan sosial, teknologi, dan global. Pengadilan, terutama Mahkamah Konstitusi, memegang peran sentral dalam proses ini, di mana putusan-putusan mereka kerap kali menjadi interpretasi otoritatif yang mengisi ruang abu-abu dalam teks konstitusi, dengan tetap merujuk pada fondasi historis dan filosofisnya.

UUD Itu Jiwa Bangsa, Bukan Cuma Buku Hukum Biasa

Pada akhirnya, penjelasan dari UUD 1945 yang dikutip oleh Mahfud MD adalah penegasan fundamental bagi setiap orang yang ingin memahami secara mendalam tentang UUD serta turunan-turunannya. Undang-Undang Dasar bukanlah sekadar kumpulan pasal yang dibaca sekali lalu selesai. Ia adalah cerminan kompleks dari perjalanan sejarah suatu bangsa, buah pikiran para pendiri, dan respons terhadap dinamika zamannya.

Memahami konstitusi secara komprehensif berarti bersedia menyingkap lapisan-lapisan di balik teksnya: menelusuri jejak historis pembentukannya, menggali keterangan-keterangan penjelas, dan meresapi suasana sosiologis-politis yang melahirkannya.

Dengan pendekatan holistik ini, kita sebagai masyarakat tidak hanya akan memahami apa yang tertulis saja, tetapi juga akan memahami mengapa ia tertulis demikian, dan bagaimana roh konstitusi dapat terus memandu langkah bangsa dalam menghadapi masa depan. Inilah esensi sejati dari pemahaman konstitusi yang mendalam, sebuah prasyarat mutlak bagi tegaknya sistem hukum dan demokrasi yang kokoh. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Muhammad Yazid Al-Faizi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email