Hamba Allah yang ditetapkan tinggal di bumi sejak 2003 dan suka nasi goreng.

MBG dan Trisentra Pendidikan

Femas Anggit Wahyu Nugroho

2 min read

Program makan di sekolah secara pada dasarnya memiliki tujuan yang mulia. Namun di Indonesia, program makan di sekolah yang diberi nama Makan Bergizi Gratis (MBG) justru menjadi ajang bagi-bagi proyek, lahan bisnis yang menggiurkan, dan bentuk elitisme serta keangkuhan pemerintah.

Program yang mestinya dapat merangkul berbagai pihak ini justru semakin menimbulkan ketimpangan. Dalam pelaksanaan program MBG, terjadi persaingan pasar antara vendor-vendor besar, sementara UMKM lokal tetap gigit jari, dan petani tetap menjual hasil panennya dengan harga murah.

Program MBG lebih tampak sebagai gegap gempita pemenuhan janji politik semata. Program berjalan tanpa peta yang jelas, riset yang mendalam, apalagi upaya mengintegrasikannya ke dalam kurikulum pendidikan.

Program MBG tidak lebih dari tempelan yang seolah-olah berkaitan dengan pendidikan. Pada kenyataannya, elemen-elemen dalam pendidikan tidak benar-benar dilibatkan. Sekolah menjadi objek yang pasif, yaitu sebagai pasar dari vendor-vendor besar program MBG.

MBG, dalam bentuknya yang sekarang, telah mereduksi peran guru sebagai garda terdepan pendidikan. Peran guru menjadi sebatas urusan menerima makanan, mengatur pembagian, memastikan pengembalian wadah dan menanggung kerugian apabila wadah itu hilang.

Di sisi lain siswa hanya dijanjikan untuk kenyang. Namun, di balik janji kenyang itu justru ada bayang-bayang racun yang mematikan. Dengan adanya ribuan kasus keracunan yang malang melintang di berbagai pemberitaan media massa, janji kenyang itu justru menjelma sebagai trauma dalam diri siswa dan rasa khawatir orang tua mereka.

Baca juga:

Ironisnya, ribuan kasus keracunan MBG hanya tampak sebagai sebuah masalah sepele di mata pemerintah. Pemerintah enggan mengakui kecacatan programnya sendiri, sehingga bahasa yang keluar pun sangat dingin: bahwa kecacatan itu hanya 0,00017 persen.

Sikap defensif pemerintah menampakkan corak pengelolaan program MBG yang cenderung sentralistik dan militeristik. Tidak ada ruang dialog dengan para guru, orang tua, dan siswa itu sendiri. Alhasil, program mulia ini justru menjadi bentuk represi, bertentangan dengan pendidikan yang memerdekakan.

Dapur Sekolah untuk MBG Berbasis Trisentra Pendidikan

Program MBG bukan lagi soal urusan krisis nutrisi. Kini program itu telah merambah ke krisis tata kelola, moral, dan kepercayaan. Oleh karenanya, pemerintah mesti mengambil langkah rasional.

Langkah rasional yang mesti ditempuh adalah menghentikan sementara program MBG. Pemerintah perlu mengevaluasi program MBG secara total terhadap segala aspek dan pihak-pihak yang bersangkutan. Setelah evaluasi total dilakukan, pemerintah perlu mengemas ulang program MBG dalam bentuk yang lebih manusiawi.

Merujuk pada pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang trisentra, pendidikan mestinya melibatkan tiga pusat penting, yaitu keluarga, sekolah, dan gerakan pemuda (masyarakat). Program MBG dapat menjadi sarana untuk mewujudkan pendidikan sesuai konsepsi trisentra ini. Pelaksanaan program MBG mestinya membuka ruang kolaborasi antara guru, orang tua, siswa, dan pihak masyarakat, terutama UMKM lokal dan petani. Dengan demikian, MBG dapat mewujud sebagai penggerak pendidikan dan peradaban.

Kolaborasi trisentra dapat terbentuk melalui dapur sekolah. Oleh karena itu, anggaran MBG yang besar itu pertama-tama mesti difokuskan untuk membangun dapur di setiap sekolah.

Melalui dapur sekolah, siswa dapat menyalurkan aspirasinya. Mereka dapat mengutarakan apa yang mereka sukai dan apa yang mereka inginkan. Aspirasi itu kemudian diwujudkan melalui tangan-tangan orang tua mereka yang terampil dan berpengalaman.

UMKM lokal dan ahli gizi yang berkomitmen, dilibatkan sebagai mitra untuk menjadi fasilitator dan pembimbing orang tua, alih-alih vendor-vendor besar yang datang dengan pongah dan meninggalkan trauma. Dengan pengelolaan semacam ini, dapur sekolah tidak hanya menjadi tempat mengurus kalori dan gizi, tetapi juga sebagai komunitas belajar dan menumbuhkan semangat kolektif antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Di sisi lain, suplai bahan mesti melibatkan petani lokal. Hal ini dapat menjadi jembatan untuk memperbaiki nasib petani sekaligus mengenalkan siswa dengan lokalitas pangan di sekitar mereka.

Baca juga:

Upaya pengenalan lokalitas pangan itu memerlukan peran aktif guru. Melalui bimbingan guru, siswa tidak hanya belajar masalah gizi, tetapi juga belajar melestarikan kekhasan makanan di daerah mereka. Kekhasan makanan juga dapat menjadi konteks dalam proses belajar mengajar. Guru dapat memanfaatkan pendekatan pembelajaran berbasis “etno”, misalnya etnomatematika dan etnosains. Dengan begitu, siswa mendapatkan pemahaman yang lebih kontekstual dengan keseharian mereka.

Model pengelolaan MBG melalui dapur sekolah ini memerlukan tindakan komunikatif, kolaboratif, dan inovatif, bukan tindakan pemaksaan dan penyeragaman. Oleh karena itu, militer dan polisi mestinya ditarik keluar dari dapur sekolah.

Pengelolaan MBG melalui dapur sekolah mesti dilakukan secara bertahap. Pemerintah dapat memprioritaskan sekolah-sekolah yang memang belum memiliki program mandiri sejenis MBG ini. Adapun terhadap sekolah-sekolah yang sudah memiliki program mandiri sejenis MBG, pemerintah tidak perlu mengintervensi lebih jauh. Pemerintah hanya perlu memfasilitasi agar program di sekolah tersebut berjalan lebih baik, lebih inovatif, dan lebih melibatkan UMKM dan petani lokal.

Pada akhirnya, program makan di sekolah bukan persoalan gampang. Semua itu memerlukan perencanaan jangka panjang yang matang, integritas, kredibilitas, dan konsistensi terhadap kemanusiaan.

 

 

Editor: Prihandini N

Femas Anggit Wahyu Nugroho
Femas Anggit Wahyu Nugroho Hamba Allah yang ditetapkan tinggal di bumi sejak 2003 dan suka nasi goreng.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email