Satir, ironi, suram.

Lorong Melelehkan Pintu

Mochammad Fajar

7 min read

Aku kehilangan kendali atas diriku. Aku mengulang rutinitas yang sama: bangun, mandi, makan, kerja, pulang, dan tidur. Aku juga sering dimarahi bos. Ia bilang aku sering melakukan kesalahan. Karena hal itu juga, gajiku sering dipotong. Bahkan sering telat. Aku tahu itu disengaja. Tapi yang paling membuatku sedih, ada desas-desus mengatakan bahwa semua rekan kerjaku membenciku. Aku tahu itu tak benar. Tapi entah kenapa, setiap mata mereka tertuju ke arahku, aku akan merasakan kebencian, terutama saat aku menyampaikan tugas berat dari bos.

Aku putus asa. Kebosanan mencabut nyawaku perlahan. Uangku… berapa totalnya? Tak perlu kusebutkan.

Besok aku akan beli obat. Lalu beli stok makanan. Dan menghabiskan sisanya dengan berpikir untuk hari senin. Ada banyak pekerjaan.

Ya Tuhan, aku tak punya waktu untuk punya kekasih, menghibur diriku sendiri, mengobrol dengan umat manusia dan bahkan beribadah pada-Mu. Semuanya serba terbatas. Dan yang kurasakan selama hidup ini hanya direndahkan, dihina, tak ada hal lain.

Sekarang pukul dua pagi. Aku mesti membuat keputusan yang mengubah hidupku. Tapi lebih baik aku tidur dulu. Jam tidurku selalu singkat.

***

Mulai hari ini aku resign. Aku sudah muak terus diperalat dengan gaji rendah. Aku ingin bebas. Tak perlu banyak alasan kenapa aku keluar. Bos pasti mengerti setelah kukatakan dia iblis neraka, seorang spooks. Maka kuucapkan selamat tinggal pada kawanku yang menyedihkan. Semoga terinspirasi.

Sebagai kenang-kenangan, aku memotret dulu meja sialan ini beserta peralatannya yang menyebalkan. Setelah itu aku ke taman, untuk merokok, sambil memikirkan kehidupanku selanjutnya.

Mungkin besok aku akan menonton film. Banyak film hebat tahun ini dan aku belum sempat menontonnya. Untuk selanjutnya biarlah arus yang membawaku. Bisa jadi minggu depan kegiatanku berpusar pada berkeliling negara. Dengan uang yang kukumpulkan selama sepuluh tahun terakhir, itu cukup untuk segala hal. Aku bahkan berniat membelikan adikku kalung. Namun lebih baik aku menghitungnya kembali.

Kali ini, aku akan bersantai dulu. Tidak memikirkan apa-apa. Hanya merasakan bagaimana kehidupan masuk ke dalam tubuhku. Memandang langit dan burung, sampai ketiduran.

***

Aku duduk paling depan. Film dimulai. Seorang gila merobek matanya sendiri. Menabrak penonton dengan pertanyaan: Aku senang diriku hancur, kan? Daripada bosan?

Sialan, bagiku itu begitu epik.

Selesai film, aku mampir ke restoran. Memesan seafood paling mahal. Sambil makan, aku membayangkan diriku anti-hero dari film noir. Rasanya asyik bila kuhancurkan restoran ini. Aku benci orang kaya. Pasti, kebanyakan dari bangsat-bangsat perlente yang makan makanan mahal di sini orang kaya. Aku tak suka mereka.

Aku menggebrak meja dan tertawa. Lucu juga kalau mereka musnah. Dunia akan indah. Tak ada lagi kekuasaan. Tak ada lagi bos perusahaan yang mengekang karyawan. Aku senang. Kalau itu terjadi, aku akan berterimakasih pada yang melakukannya.

“Tuan, anda kenapa?” Pelayan bertanya padaku.

Aku sadar apa yang telah kulakukan. Mereka semua memerhatikanku dengan tatapan merendahkan. Mereka pun mencemoohku diam-diam.

“Bodoh!”

Aku tak bisa membiarkan itu! Tidak lagi. Jadi, kulempar beberapa gelas sampai mengenai pelipis salah-satu dari mereka. Mereka berlarian, panik.

“Oi bangsat, saya tak lagi berada dalam pengawasan kalian!” kataku.

Aku ditahan oleh dua orang saat aku hendak melemparkan meja ke arah orang yang menatapku dengan sinis. Aku marah. Saat aku coba melepaskan diri, mereka memukul tengkukku dua kali. Aku melemah. Lalu aku diseret mereka ke pojokan.

Kulihat pelayan bicara dengan seseorang di telepon. Beberapa menit kemudian, orang berjas tiba, dikawal oleh dua polisi.

Mereka menginterogasiku di ruang bawah tanah. Bertanya apa motifku bertindak seenaknya. Aku tak menjawab. Pikiranku hanya memberi gambaran magma yang melelehkan ruangan ini.

“Jawab!” bentaknya.

“Aku harap gedung-gedung hancur, komandan.” kataku.

Habis itu tertawa ngakak.

Komandan mencatat sesuatu. Menatapku sebentar. Lalu pergi keluar, meninggalkanku sendirian di sini. Begitu pintu ditutup, lampu dimatikan. Ruangan ini gelap sepenuhnya. Menggemakan tawaku.

Ha ha ha…

***

Pukul tujuh pagi, alarm berbunyi. Aku bangun untuk pergi ke kios teman. Setelah berpakaian rapi, aku pun cepat-cepat memanaskan motorku. Terlihat di kaca spion, hari ini wajahku tampak cerah, walaupun ini tak selaras dengan langit mendung.

Sesampainya di sana, kios temanku tutup. Aku merasa heran, bagaimana mungkin ini bisa terjadi. Lalu aku menelpon temanku itu. Tapi nomor yang kuhubungi sudah tak terdaftar.

“Ia bilang, ini nomor barunya!” Aku kesal. Lantas melanjutkan perjalananku ke kolam pemandian air panas.

Aku akan berendam untuk merilekskan tubuh dan pikiranku. Ya, dengan cuaca yang sejuk ini, air panas memang cocok disentuh kulitku.

Tiba-tiba seseorang meneleponku. Aku mengangkatnya.

“Halo?”

“Keparat, di mana kau?”

“Aku di kolam pemandian air panas. Siapa kau?”

“Bajingan! Aku temanmu. Kau lupa kau ada janji denganku, kah?”

“Oh kau! Tadi aku ke sana, tapi tokomu tutup. Padahal aku sudah datang sesuai jadwal yang kau buat!”

“Ngomong apa kau? Tokoku buka setiap hari, tolol!”

“Yang benar? Tadi aku ke sana, kok masih tutup? Dan ya saat kuhubungi nomormu—untuk memastikan—nomormu malah tidak terdaftar. Tak aktif.”

“Banyak alasan, bangsat! Pria tak berguna. Yang selalu mengasingkan dirimu sendiri. Payah, payah!”

Ia menutup teleponnya. Aku panik. Kupikir ia salah paham. Maka kuhubungi ia lagi. Tapi sia-sia saja, kata operator: nomornya tak pernah terdaftar.

***

Aku bergerak di antara kerumunan pekerja. Mereka terburu-buru, tetapi juga terjebak, karena di depan mereka ada barisan anak-anak Pramuka. Mereka kesal menunggu, sehingga seseorang dari mereka menabrak dan memaki anak-anak itu, karena sudah membuat mereka terlambat masuk kerja.

Tapi betapapun mereka berusaha menyingkirkan anak-anak itu, anak-anak itu itu tetap bersikeras berbaris di tempat mereka berdiri, tetap kukuh, sesuai instruksi ketua Pramuka. Bentrokan pun terjadi. Seorang anak didorong ke jalan. Menyebabkan tubuh mungil itu menyatu dengan aspal, dilindas tronton.

Kekerasan berlanjut. Tuntutan demi tuntutan diajukan. Namun semua berakhir sia-sia saja, meski korban bertambah banyak.

Di kantor, bos mereka kesal ketika waktu menunjukkan mereka sudah terlambat tiga puluh detik. Ia menghina mereka malas, tak tahu diuntung dan bedebah.

“Awas saja kalau kalian tiba!”

Akhirnya polisi turun tangan. Massa dibubarkan. Pelaku kerusuhan ditangkap. Tapi itu hanya membuat konflik lainnya muncul. Kelas pekerja menganggap ini ketidakadilan. Keesokan harinya yang terjadi bukan lagi antara Pekerja vs Pramuka, tapi Pekerja vs Aparat.

Korban bergelimpangan. Ban dibakar. Suara ambulans  di mana-mana. Dan itu semua disiarkan langsung oleh televisi.

Sementara aku makan kebab, aku melihat seorang tentara menginjak-injak kepala kelas pekerja. Berdarah dan remuk.

***

Aku mencium kekasihku, lalu pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli komputer. Di kejauhan, neon warna-warni sudah menghiasi kota, menebalkan nama-nama toko yang saling berseberangan. Aku menarik gasku, melesat, mengagetkan seekor anjing di trotoar.

Namun kota ini sepi saat malam meskipun suasananya begitu ramai dan mencolok. Seolah warga tak pernah tahu ada tempat segemerlap ini. Aku tak tahu alasannya apa, tapi menurut kabar, ada banyak hal aneh di  sini.

Aku memarkirkan motorku di lapangan. Setelah itu ke bukit untuk mengamati situasi kota dari sana. Kurasa semua itu hanyalah rumor. Aku malah merasa tenang melihat lampu ungu, biru, kuning dan lainnya menyatu dengan serasi.

Merasa tenang, aku masuk ke toko elektronik. Di sana seorang lelaki muda sudah menungguku. Ia menanyakan merek komputer apa yang mau aku pilih. Aku berpikir sebentar. Dan akhirnya memilih yang paling rumit dari segi komponen.

“Berapa harganya?”

“Astaga tuan, sekarang sedang diskon. Cukup [sensor].”

Aku mendengar suaranya berubah saat mengucapkan harga, tapi aku berpura-pura tak mendengar. Maka dia mengucapkannya lagi.

Dan kini semua jelas. Wajahnya bolong, dengan isian warna biru pekat, berisikan kode-kode acak.

Setelah membayar barangku, aku pun memukul wajahnya karena kesal.

***

Aku tak tahu sejak kapan kulkas itu terbuka. Aku baru pulang dari mal, dan mendapati kamar ini sudah beku. Mungkin sebelum pergi, aku lupa menutupnya, dan akibatnya kamar ini ditutupi es dan salju. Tapi karena aku terlalu lelah, aku tak peduli lagi.

Aku merebahkan diri ke sofa. Dan meregangkan tubuhku. Ah betapa rentannya dunia. Betapa rentannya aku, sehingga saat dingin menusuk kulit, aku menggigil. Demikianlah aku ingat, bahwa aku telah melupakan sesuatu. Sepertinya aku membeli barang.

“Sial!” Aku nyaris bangkit saat tiba-tiba aku ingat bahwa aku mungkin memang tak membeli sesuatu.

Kepalaku pening. Sepertinya aku harus minum obat. Jadi aku mencari-cari kotak obat dan tak menemukan apapun di sana.

“Perasaan… aku baru membeli obat kemarin.”

Karena tak kuat lagi menahan pusing. Aku menjatuhkan diri di lantai dapur. Terengah-engah. Meminta bantuan.

Belikan aku obat.

Tapi aku ingat tak ada siapapun di rumah ini…

***

Terbangun di tengah malam dan tak bisa tidur lagi, aku memilih untuk menyusun foto di file albumku. Tinggal seratus foto lagi, lalu semuanya akan beres.

Setelah selesai, aku akan memberikannya pada teman dan keluargaku. Mereka pasti bahagia, melihat semua kenanganku berhamburan. Ini salah-satu hal yang paling berharga dalam hidupku.

File ini terciota bukan hanya dengan  mataku yang perih karena harus menatap cahaya monitor di keadaan gelap begini, tapi juga dengan tenagaku, keringatku, saat aku berada dalam foto itu. Walau itu bukan potretku, mereka akan tahu aku berada di baliknya. Lebih dari eksistensi foto itu sendiri.

Saat memilih foto berdasarkan urutan benda dan tanggal, aku menemukan foto yang bahkan aku tak pernah memotretnya (seingatku). Itu sebuah foto yang memperlihatkan tali tambang, pisau, dan tanganku yang berdarah.

Aku mengamatinya lama sekali, sampai akhirnya aku heran. Merinding. Akhirnya karena asing, aku menghapusnya cepat-cepat. Melanjutkan pekerjaanku.

Setelah menyelesaikan file itu, ayam sudah berkokok, pertanda hari baru akan tiba.

Saat aku hendak tidur lagi, kepalaku masih memikirkan potret yang kuhapus.

***

Halilintar meledak-ledak merobohkan pohon. Hujan lebat. Aku mengungsi di peron bersama orang-orang yang menanti kereta selanjutnya tiba. Mereka bicara, berteriak, dan memaki, sehingga suaranya seperti sekumpulan lebah. Tak terdengar.

Di dekat vending machine, dua pria sedang adu mulut, tetapi suaranya tenggelam. Aku mengamati mereka, dan saat itulah mereka bertengkar secara fisik. Seperti ular mereka membelit, menggigit, mencekik. Hingga tiba saat salah-seorang dari mereka lengah, jatuh, dipukuli sampai bonyok.

Orang itu pingsan setelah pukulan terakhir mengenai hidungnya. Darah mengalir di mana-mana. Mengering. Dan ketika orang-orang melihatnya, mereka merasa ngeri sendiri. Menjauhinya. Membiarkannya sekarat.

Hanya aku yang berani mendekatinya. Perlahan aku cek kondisinya. Dari denyut nadi, jantung sampai ke seberapa kental darahnya. Tampaknya ia tak lama lagi mati. Kemudian karena tak ada lagi harapan, aku pun pergi meninggalkannya. Tak peduli meski basah.

Begitu aku sampai ke halaman rumah. Rumahku sudah tidak ada. Hilang. Entah di mana.

***

Aku menemukan surat di bak sampah, dengan tinta darah mengering:

Aku menyesal.
Setelah resign, aku diserang krisis keuangan.
Uangku habis dipakai mabuk, menyewa wanita, dan berobat ke psikiater.
Itu semua kulakukan demi hidup. Hidup yang menjebak ini.
Aku ingin seperti orang-orang, yang bebas, muda dan bahagia menjalani hidup mereka. Tapi setelah aku sendiri yang melakukannya, rasanya malah palsu. Tidak asli. Membosankan!
Aku ingin minta maaf pada keluargaku bila aku telah merepotkan mereka selama ini.
Kini hidupku di ambang kematian.
Mungkin tidak. Besok aku akan mencari pekerjaan. Pekerjaan yang sulit kudapatkan kembali.

Setelah membacanya, aku membuangnya ke selokan. Aku muntah.

***

Kini aku tinggal di kos-kosan. Sendirian dan dingin, dengan tembok putihnya yang perlahan mendekat.

Karena aku takut kehilangan lagi tempat tinggal, aku terpaksa tak ke mana-mana. Tak melakukan kegiatan apa-apa selain memerhatikan diriku sendiri di cermin. Atau terkadang berkeliling ruangan, melihat-lihat barang yang kubeli selama sebulan terakhir. Makin lapar, makin haus.

Semakin hari kabut di luar juga semakin tebal, sehingga semuanya buram, tak terlihat. Bahkan suara pun tak pernah terdengar lagi.

Kadang-kadang aku menjerit. Memukul pintu. Merobek poster artis idolaku yang selalu memamerkan tubuhnya yang atletis. Sialan, semuanya kuhancurkan.

Aku muak. Maka kudobrak pintu yang kugembok. Sampai akhirnya kebebasan dari bau bangkai dan jelaga jadi milikku. Tidak milik siapapun. Karena tak ada orang juga di sini.

***

Aku menarik gasku sampai full. Membuat semua benda yang di sisiku diterbangkan oleh kecepatannya.

Tanpa diduga, di depan, sebuah truk datang menghadangku. Yang akhirnya menerbangkan aku dan motorku ke langit dalam keadaan hancur.

Lalu semua putih, berbau obat. Dan aku tahu itulah rumah sakit.

***

Tabung, infus, perban yang melilit tubuhku. Di sini menemani kesengsaraanku yang dalam.

Akhirnya aku berakhir di sini. Semuanya tak berarti. Semua mental dan waktu berkumpul dalam satu kesimpulan bahwa hidup hanya sakit.

Apakah ini nyata atau tidak. Aku tak peduli lagi. Semuanya berakhir.

Seperti matahari pagi, aku ingin terlahir kembali. Bermimpi. Selamanya.

***

Aku terbangun dalam tembok yang sama. Pergi ke kantor setelah mandi. Melakukan interview. Lalu pulang, dan menatap komputer di antara kantung mata yang semakin hitam. Menonton televisi di sana, di website www.fucktv.com. Menonton aku yang sedang menatap komputer untuk menonton televisi yang mempertontonkan aku yang sedang menonton televisi di komputer.

Seperti diawasi dalam kegelapan.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Mochammad Fajar
Mochammad Fajar Satir, ironi, suram.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email