Seusai salat maghrib, Wati yang kala itu masih duduk di bangku kelas 1 SMA, bergegas menuju kamarnya. Sebuah radio portabel merek Panasonic menunggu, setia seperti teman lama. Dengan antusias, ia memutar tombol pencari frekuensi hingga terdengar derit halus, sebelum akhirnya berhenti tepat pada gelombang favoritnya, Poliyama AM, radio yang sedang naik daun di kalangan anak muda Gorontalo pada tahun 1990-an. Malam bagi Wati selalu dimulai dengan ritual kecil ini.
Suasana seketika berubah riang ketika penyiar yang ia nantikan yaitu kakak kelasnya sendiri di sekolah muncul mengisi udara. Ada rasa bangga dan gugup setiap kali mendengar sapaan ramah yang seolah ditujukan langsung kepadanya. Selama beberapa waktu, berbagai pesan dan salam dari pendengar dibacakan satu per satu ucapan selamat, candaan ringan antar teman, hingga kode-kode kecil dari pengagum rahasia. Lagu-lagu pilihan berganti mengalun, dari pop Indonesia hingga musik-musik barat, menemani suasana malam di rumah Wati.
Pemandangan seperti ini adalah hal yang lumrah terjadi ketika televisi belum banyak dimiliki dan internet belum terbayang. Radio menjadi sahabat banyak orang saat itu. Dari pagi sampai malam, suara penyiar dan alunan musik mengisi rumah-rumah di Indonesia. Berita pagi membantu orang mengikuti perkembangan negara, sementara siaran musik dan obrolan santai jadi hiburan murah yang bisa dinikmati siapa saja.
Baca juga:
Banyak orang kerap mengira bahwa ruang sosial hanya merujuk pada tempat-tempat interaksi langsung seperti pasar, alun-alun kota, warung kopi, lapangan sekolah, atau ruang pertemuan warga. Padahal, menurut sosiolog Pierre Bourdieu, ruang sosial tidak selalu berupa lokasi fisik, melainkan “sebuah ruang multidimensional posisi-posisi sosial tempat para agen saling terhubung melalui relasi dan praktik” (Distinction, 1984). Cara pandang ini membuka pemahaman bahwa ruang sosial juga dapat hadir dalam bentuk media dan jaringan komunikasi.
Dalam konteks Indonesia tahun 1970–1990-an, radio menjadi salah satu ruang sosial penting karena menyediakan arena tempat pendengar saling berinteraksi melalui sapaan, pesan, permintaan lagu, serta gaya komunikasi yang membentuk komunitas simbolik. Meskipun tidak terjadi tatap muka, hubungan antar pengguna dan penyiar terjalin dalam lanskap sosial yang hidup, menjadikan radio ruang sosial alternatif yang khas pada era tersebut.
Kemunculan radio swasta lokal pada awal 1970-an membuka babak baru dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Jika sebelumnya radio didominasi oleh siaran pemerintah melalui RRI, hadirnya radio swasta lokal memberikan ruang yang jauh lebih akrab dan dekat dengan keseharian pendengarnya.
Melalui program-program seperti “request lagu dan kirim salam”, sandiwara radio, dan hiburan lainnya mampu membuat warga dapat saling terhubung tanpa terkendala batasan jarak. Suara penyiar yang ceria dan hangat, musik yang diputar sesuai dengan keinginan pendengar, serta sapaan yang ditujukan kepada keluarga, teman maupun pasangan menjadikan radio bukan sekadar media informasi, melainkan sebuah ruang sosial dan medium emosional yang mempertemukan berbagai lapisan masyarakat.
Kedekatan yang tercipta melalui radio ini kemudian melahirkan suatu komunitas pendengar, yakni kelompok sosial baru yang terbentuk melalui interaksi simbolik di udara. Klub pendengar radio pun tumbuh di berbagai daerah, seringkali berawal dari pendengar yang saling menyapa melalui gelombang radio lalu bertemu dalam acara temu pendengar dan menciptakan pertemanan jarak jauh. Tidak jarang pula masyarakat mendengar radio beramai-ramai sembari bermain atau bercengkerama, sehingga tercipta suasana keakraban dan kebersamaan yang begitu kuat.
Menurut penuturan Eva (sekarang berusia 50 tahun) saat dulu masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Ia dan teman-temannya seringkali mendengarkan sandiwara radio berjudul Tutur Tinular yang bercerita mengenai perjalanan hidup seorang pendekar bernama Arya Kamandanu dengan latar belakang sejarah runtuhnya Kerajaan Singhasari dan berdirinya Kerajaan Majapahit. Mendengarkan radio bersama akhirnya menumbuhkan rasa kebersamaan dan menciptakan memori kolektif yang selalu diingat.
Saat maraknya kemunculan radio swasta, pemerintah Indonesia masa Orde Baru memang tetap menerapkan kontrol terhadap media melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1970 tentang Radio Siaran Non Pemerintah. Walaupun regulasi tersebut membatasi isi siaran, radio swasta tetap menjadi ruang publik alternatif, masyarakat tetap dapat menemukan cara untuk mengekpresikan diri secara halus melalui cerita, salam, lagu, humor hingga sandiwara radio yang memuat beragam cerita dan bahkan permasalahan sosial sehari-hari.
Di tengah pemberedelan media cetak dan sensor terhadap wacana politik, radio justru menjadi tempat di mana masyarakat dapat membangun solidaritas, menguatkan jejaring sosial, dan menegaskan identitas lokal mereka. Dengan demikian, radio pada masa Orde Baru bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga wahana sosial yang mempertahankan ruang kebersamaan di tengah kondisi politik yang membatasi ekspresi publik.
Perubahan kemudian mulai terjadi pada tahun 1997, ketika radio mulai ditinggalkan pendengarnya karena masyarakat beralih ke televisi untuk mencari hiburan dan informasi. Koran Berita Yudha tanggal 19 Oktober 1997 melaporkan bahwa radio sudah tidak lagi menjadi media favorit masyarakat Indonesia. Televisi yang semakin banyak ditonton telah membuat radio menjadi pilihan kedua.
Survei SRI tahun 1997 juga menunjukkan hal yang sama, masyarakat Indonesia rata-rata hanya mendengarkan radio 1,5 jam per hari. Jauh lebih sedikit dibandingkan waktu mereka menonton televisi. Padahal sebelumnya, radio kerap menjadi bagian dari ruang terbuka seperti warung kopi, pos ronda, bengkel, angkutan umum, hingga ruang keluarga yang memungkinkan orang berkumpul, berbincang, dan berinteraksi sambil mendengarkan siaran bersama-sama.
Meskipun pendengarnya berkurang, radio tidak benar-benar hilang dari kehidupan media Indonesia. Perkembangan teknologi justru membawa kebiasaan berinteraksi lewat radio ke dunia digital. Jika dahulu radio menemani interaksi sosial di tempat-tempat seperti warung, atau kios sekarang kebiasaan itu berlanjut dalam bentuk baru, seperti live streaming yang bisa request lagu atau bahkan podcast yang memungkinkan pendengar bisa berkomunikasi langsung dengan pembawa acara. Selain itu, kolom komentar di media sosial juga bisa menjadi tempat orang-orang untuk berekspresi.
Baca juga:
Peristiwa ini menunjukkan bahwa teknologi baru tidak serta-merta menghapus budaya yang sudah ada dalam kehidupan sehari-hari. Alih-alih menghapusnya, teknologi justru memungkinkan kebiasaan lama untuk tetap ada dan berkembang sesuai dengan situasi baru.
Pola interaksi yang dahulu dibangun melalui radio, dengan pesan, sapaan, dan simbolismenya, pada dasarnya tetap ada di platform digital yang digunakan masyarakat saat ini, meskipun dalam berbagai bentuk dan cara. Dengan demikian, pergeseran dari teknologi analog ke digital tidak memutus budaya komunikasi massa. Sebaliknya, ia mengubahnya untuk lebih sesuai dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan sosial masyarakat masa kini. (*)
Editor: Kukuh Basuki
