Nyanyian Filsuf
filsuf Asia Tenggara
menakar pohon masa lalu
seraya memetik dawai untuk lekas bernyanyi
“neraka bukanlah ruang
ia adalah situasi”
: jalan pikiran takdir yang sungsang
pendulum sejarah membeku
di ujung tenda ronda
sebagai alam ketiga
tempat di mana warga kelas rendah
melempar kartu nasib
tentang hari esok
filsuf sipit itu merasuki zona
kembali menembang:
“dan… sejarah adalah
roda…
berulang-uulang menggangsing
dan melindas orang-orang tak penting”
kulihat matanya meredup
bersama kebisuan bumi
bergerak menuju nestapa
yang kebak antrean
“neraka bukanlah alam
ia suasana
–yang sulit
diberi nama.”
mendengarkannya membuatku ingin
sedikit bergumam
sambil menambahkan seembus lirik
untuk kusisipkan
: “sedang surga, bagiku,
adalah kehadiran sadar
tanpa pertanyaan.”
(Yogya, Januari 2024)
–
Kehampaan Akademisi
ruang yang muntah
jari yang lepuh
dan waktu yang
terduduk lesu
ada mendung percakapan
di pojok Mayantara
memipih sumir
layar cahaya mekar
tersandi kode-kode di wajah para akademisi
tepat saat kesepian purba
datang berlabuh
di meja reot itu
di lautan ilmu, data, dan pertanyaan
lagu kebisuan hadir
setelah bunyi ledakan
meronce cerita
memekarkan jarak
di sela-sela bisik sunyi bayi jagat raya
di antara debu-debu, ajal, dan kehampaan
tentang kisah anak manusia
yang tak pernah lepas dari kutukan
yang senantiasa membuatnya
selalu merasa penting
bersama sajadah ruang yang tertekuk
kita merentangkan tangan
kepada semesta tanya
yang gentayangan
di sinilah kita, sebintik biru pucat pasi
titik kosmik yang cukup sakti
membuat Carl Sagan ternganga
khusyuk mengeja nebula di kening waktu
sebelum hari-hari sepanas dan seberisik ini
barangkali sekarang adalah zaman ketika
jutaan manusia masuk
ke pintu ketertutupan
—menyengget gelar, toga
(kata seorang kolega: tolol tapi gaya)
dengan air muka polos
sambil terus jongkok dan
menyangga dagu
tanpa sempat berhenti
merasa abadi.
(Yogya, Januari 2024)
–
Kisah Sindikat Ilmu
di bejana sejarah
Aristarkhos asal Somos mengupas
relung hati bangsa manusia
hasil selidik mengisahkan bahwa
bumi bukanlah pusat
ia cuma anak bungsu
yang manja dan berisik
menguntit induknya
Aristoteles dan Ptolemaeus
mengkremasi ide itu
sebelum pada akhirnya debu renik itu
mengedari udara sepanjang ribuan tahun
hingga Copernicus lahir dan menghirupnya
secara tanpa sengaja
dan Plato pun membakar buku
Demokritos tersepak
: hasilnya kita masih
terpasung di goa si jidat lebar
sementara para astronom dan saintis mendaur ulang
kisah tirakat dan lelaku para pemburu bintang
mengejar percik isi kepala
yang minggat ke arah entah
sebagian kita menggalah renik-renik evolusi
seperti kanak-kanak mencuri mangga milik tetangga
sambil mengambang di sudut kabut Bimasakti
merenangi kapuk-kapuk gemawan
dari pohon randu
dari segala penjuru
musik tanpa suara menjeritkan tanya
sampai jatuh ke nampan kita
merabuki hidangan dari masa lalu
yang tak pernah bernama
maka di sinilah kita
ragu-ragu mengambil menu
cemas antara racun dan madu
menyelip di sela-sela ilmu masa lalu
atau yang sudah terkandung lama
di ruas-ruas jemari kita sendiri
tanpa pernah kita tengok dan pelajari
(Yogya, Januari 2024)
–
Batin Manusia
pada setiap kedipan
ada detak yang merambat
di lubuk siapa saja
batin manusia
adalah sejarah nan rimbun
adalah daftar isi panjang
yang lahir ketika sang waktu
memutuskan untuk berbicara
seperti firasat agar tetap hidup
manusia dewasa selalu kangen
kembali mengisi
ruang hangat di pelosok rahim ibu
karena ruang hari ini sedang demam
panas tinggi
sementara hujan juga lagi lupa
menyeka cairan merah di peta waktu
di mana kebak perang, kebencian,
dan rasa kosong yang… nyaris abadi
(Yogya, Desember 2023)
–
Bangsa Rumput
aksi panggung Dardanella
dan lenggang tubuh eksotik Miss Dja
akan sudah cukup beracun
sebagai hukuman bagi Jan Pieterszoon Coen
atas pembantaiannya di negeri cantik Banda
orang-orang seelok mereka
telah menjelma rabuk
bagi kemerdekaan kanak-kanak
dan ikan-ikan karang
yang manja sekaligus bosan
untuk menanti mekar
di tengah kekacauan paling hancur sekalipun
hanya satu yang terkenang dari bangsa ini
: rumput-rumput akan tetap tumbuh
di celah-celah aspal yang retak
(Yogya, Januari 2024)
–
Sebelum Maut
dengan bahasa apa
kawanan laron meramu cinta
sebelum pada akhirnya lenyap?
jika itu hujan, ia bisa dibedakan
lewat suaranya
antara menjejak tanah, pepohonan,
atap, ranting, dan mata anak rantau yang
sayup telanjang
seperti iman, kadang meresap
lewat telinga
sebelum pada akhirnya larut
bersama keheningan jasad yang melapuk
sebelum tirai hidupmu tutup
kau mungkin hanya bisa mendempis
ringkuk di pelabuhan batu
sujud sembahyang di pelepah waktu
siap rebah di lautan semestawi–yang
gelap, dingin, dan sepi
(Yogya, Februari 2024)
–
Sedebu Bintang di Tubuh Kita : untuk Carl Sagan
di sebintik biru pucat pasi
kita menakar nasib
bersama gundu, kartu, dan selembar ijazah
sembari mentatah batubatu
sebelum Borobudur dan Piramida Giza
arah waktu tak tertangkap
sementara limpahan cahaya hanyalah syarat
menuju—kebutaan yang lain
namun engkau masih saja memukau
seperti jamur yang rekah perlahan
sebelum pada akhirnya mengatup
anggun memudar
hidup begitu singkat, katamu,
serupa alinea pendek
yang patah di tengah kata
: tempat sedebu bintang
riang berenang
di tubuh kita
kini sekadar tahu, pertunjukan dansa antariksawi,
seperti katamu,
hanya melenggang sekejap
seumpama tarian cahaya
dari percik kembang api emas yang pecah
di langit mata bocah derana
maka kita memejam saja
selagi mampu
suara kita tak kalah sakti
dengan tarian bintang dan galaksi
yang sebentar lagi padam dan hening
tapi di situlah kau dan aku,
di titik biru pucat pasi itu:
meraba-raba tekstur pelepah waktu
mengeja lekuk garis halus dan gundukan mungil
tempat di mana jutaan warna kehidupan yang
pernah berjalan—menuju raib
tanpa mengenal sudah
(Yogya, 2024)
*****
Editor: Moch Aldy MA