Dalam sebuah Catatan Penulis, Seno Gumira Ajidarma mengatakan cerita Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi terpantik dari berita dihentikannya pertunjukan teater Koma berjudul Suksesi pada tahun 1990. Ia heran kenapa pertunjukan drama dilarang. Saat Nano Riantiarno, Ratna Riantiarno, dan Farida Oetojo berurai air mata, Seno bersimpati: nggak enak benar ditindas seperti itu.
Pelarangan itu baginya adalah oposisi biner yang tidak seimbang. Drama versus negara adalah padanan yang tidak pantas. Saat itu kesannya tidak berubah, berkesenian saja kok dimusuhi seperti itu. Maka, menurutnya (dalam cerpennya itu), mencuatlah tema penindasan, tapi dengan penindas yang lebih gawat dari negara, yakni mayoritas.
Cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi bercerita tentang keresahan ibu-ibu atas kehadiran wanita muda di sebuah kampung. Deburan air dan senandung wanita muda itu ketika mandi menimbulkan berbagai imajinasi para suami. Ibu-ibu kemudian protes kepada Pak RT. Berbagai cara telah dilakukan, tetapi para suami itu tetap bisa berimajinasi, bahkan ketika wanita muda itu memutuskan pergi dari kampung. Walaupun penyebab imajinasi itu telah tiada, imajinasi tetap ada dan tumbuh. Bagaimana pun imajinasi tidak bisa ditertibkan. Meski begitu, belakangan kita tidak lupa peristiwa gagalnya sebuah pameran lukisan dan pertunjukan, dan penangkapan terhadap pembuat meme berciuman.
Dalam spirit yang lebih positif, hari-hari ini imajinasi perlu dirayakan, dan bahkan makin genting. Di ranah sipil, imajinasi jadi pemicu ekspresi. Di sana yang paling dibutuhkan adalah dialog dan dialog, bukan komando. Dialog memberi dan membuka ruang ekspresi. Saat itulah, bahan bakar yang penting adalah imajinasi, bukan senjata.
Sejalan dengan itu, kehadiran buku Lihat! Lihat! yang ditulis oleh Aniek Wijaya dan digambar oleh EorG amat penting, khususnya untuk anak-anak.
Buku ini menceritakan keluarga pemulung. Tokohnya adalah Uma, Adik, dan Ibu. Uma harus menjaga adiknya saat ibunya membeli makanan. Namun, Adik bangun lalu menangis. Uma berusaha untuk menghiburnya.
Adik ingin menggapai-gapai balon yang Uma pegang. Namun, karena masih bayi, Adik belum bisa memegangnya dengan erat. Balon lepas, terbang tinggi menjadi naga besar. Di bagian inilah imajinasi dimulai dan dominan. Uma dan Adik mengejar balon itu. Mereka terbang ke angkasa. Tiba-tiba Adik menggigit Uma. Adik lapar. Di atas mereka melihat banyak makanan; kue lumpur, pukis, dan kolang-kaling. Uma ingin mengambilkan untuk Adik. Belum mendapatkannya, Adik malah menggigit naga.
Mereka harus segera turun. Uma dan Adik mendarat di laut. Yang semula mereka naik balon udara, berubah menjadi perahu kecil dengan layar. Mereka menuju ke tepi karena di sana ada siluet yang melambai-lambai. Dia adalah Ibu yang sudah kembali membawa makanan.
Imajinasi Uma tentang makanan dapat ditangkap sebagai penekanan keadaan keluarganya. Bagi keluarga lain yang berkecukupan, imajinasi itu mungkin tidak akan lahir karena segala sesuatu telah tersedia, termasuk kebutuhan dasar, yaitu pangan. Namun, bagi Uma dan keluarga, eksistensi makanan, bahkan secara detail dalam bentuk pukis, kue lumpur, dan kolang-kaling–yang notabene bukan makanan kelas atas–adalah sebuah kemewahan.
Ketimpangan tersebut makin mendapat momentumnya ketika kita memperhatikan penggarapan visual buku ini. EorG memberi warna yang penuh ketika Uma berimajinasi, sedangkan di luar itu hitam-putih belaka. Latar tempat juga makin membuat tertegun. Uma, Adik, dan Ibunya berada di antara gedung-gedung tinggi, pusat hiburan, dan makanan. Mereka dikepung metropolis. Warna-warna itu memadati ruang pemaknaan imajinasi sebagai dunia yang ideal, yang diimpikan, yang mestinya terdistribusikan kepada siapa pun. Sedangkan hitam-putih adalah realitas, tetapi tidak apa adanya, yang justru dikonstruksi oleh sistem sosial yang hierarkis, yang menindas.
Karena itu, buku ini adalah perlawanan. Pemulung adalah subjek rentan di dalam masyarakat. Mereka memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap diskriminasi, kekerasan, marginalisasi, atau kesulitan mengakses hak-hak dasar. Mereka dihadirkan di tengah ruang publik sebagai interupsi dengan peralatan imajinasi. Imajinasi Uma mendobrak pemahaman yang naif bahwa ketimpangan adalah buah dari langit. padahal ketimpangan dipelihara oleh kelompok yang memiliki modal kekuasaan dan kapital agar tidak beranjak ke mana-mana sehingga sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik ataupun lainnya.
Bagi Seno dalam “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”, imajinasi tidak bisa dan tidak akan mungkin ditertibkan. Dan dalam buku Lihat! Lihat! kita diberi tahu bahwa siapa pun boleh berimajinasi. Jangan sampai imajinasi dilarang karena itu sama bahayanya dengan menghalangi seseorang untuk berpengetahuan, berpikir, dan bertindak. (*)
Editor: Kukuh Basuki

 
                                 
					 
                    