Pada penghujung 2022 ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan fenomena latto-latto. Mulai dari orang nomor satu di negeri ini hingga anak kecil di pelosok desa, semua tergoda untuk memainkannya. Permainan yang sempat digandrungi di tahun 90-an ini, kembali viral di era digital. Lebih awal lagi, permainan yang dalam bahasa Inggrisnya disebut clackers ball ini sempat populer di Amerika tahun 60-an.
Keriuhan “nok-nok” ini tidak dapat dilepaskan dari peran media sosial yang memopulerkannya. Memang media sosial punya kekuatan untuk “menyihir” segenap lapisan masyarakat agar terpikat dan ikut dalam gegap gempitanya.
Di akhir 2017 jika tidak salah, kita pun sempat dialihkan perhatian dengan perkara “om telolet om”. Padahal bunyi telolet pada klakson bus bukanlah hal baru. Menjadi booming setelah tersebar videonya di media sosial. Hal ini bisa terjadi karena adanya algoritma digital.
Dahulu orang berkata bahwa manusia adalah makhluk yang berkesenian. Seni berkaitan dengan emosi manusia yang sifatnya internal. Namun, sebagaimana dikatakan Yuval Noah Harari, perasaan manusia saat ini mampu dikendalikan oleh algoritma eksternal dan memanipulasi emosi manusia lebih baik daripada karya Shakespeare atau Beyonce.
Saat ini kita dipantau oleh algoritma mesin pencarian. Kegemaran kita ditentukan oleh apa yang sedang disukai banyak orang. Sehingga muncul istilah Fear of Missing Out (FOMO) bagi mereka yang takut kehilangan momen.
Belajar dari fenomena Latto-latto, generasi FOMO ini tidak hanya disematkan pada anak muda, melainkan juga generasi tua. Rasanya permainan satu ini digandrungi lintas usia dan status sosial. Semua satu gerakan dalam membunyikan latto-latto ini. Ada beragam motivasi dan makna dari permainan ini. Nostalgia bagi generasi tua yang memainkan latto-latto.
Berbeda halnya dengan anak kecil yang baru pertama menyentuhnya, permainan ini dapat menjadi daya tarik ‘sementara’ dari kecanduan gadget yang tak terbendung. Mungkin bisa dilihat sisi positifnya, aktivitas ini membuat anak menjadi bergerak untuk mengaktifkan kembali dimensi sensorik-motorik anak.
Terlepas dari viralnya, ada beberapa hal yang dapat diperhatikan. Pertama, permainan ini membutuhkan keseimbangan. Hanya dengan posisi yang seimbang akan tercipta harmoni suara yang solid. Hidup pun demikian. Work life balance bahasa kerennya. Keseimbangan menjadi kunci untuk menjalani ritme kehidupan yang tidak mudah. Tatkala kehidupan lebih berat sebelah, maka yang terjadi adalah kesemrawutan. Persis seperti latto-latto yang gagal berirama.
Permainan ini juga melatih kita untuk fokus pada apa yang dilakukan saat ini. Latto-latto akan sulit digerakkan jika tangan dan pikiran tidak sekata. Dalam keseharian pun sering kita tidak fokus melakukan berbagai aktivitas. Raga sedang makan, tetapi yang dipikirkan soal deadline kerjaan. Fokus dan benar-benar menghayati apa yang dikerjakan dikenal dengan istilah mindfulness. Dengan ini kita akan menikmati setiap momen yang dilalui serta membuat hidup menjadi lebih bermakna.
Selain itu, dalam permainan ini ada saat di mana bola yang dipukulkan itu dihentakkan ke atas sehingga bunyinya lebih masif dan keras. Sebelum momentum tersebut, biasanya sang pemain akan bermain secara pelan, hati-hati dan mengikuti ritme. Jika berhasil menguasainya, maka selanjutnya tinggal mengangkat gerakan tangan, dan boom, bunyi pun menggema. Namun jika gagal, maka permainan dimulai dari awal kembali.
Hidup pun mempunyai potret yang sama. Ada masa quarter life crisis, kala anak muda usia 18-30 tahun mengalami kebimbangan menghadapi masa depan. Sampai ada ungkapan dari lagu Idgitaf yang juga viral: “takut tambah dewasa, takut aku kecewa”.
Ketakutan terhadap hal yang belum dilalui adalah hal yang wajar. Menjadi problem jika ketakutan itu membuat kita tak mau bergerak.
Belajar dari permainan ini, kita dapat terus bergerak. Kalau gagal, kembali berusaha dari awal. Sebagaimana kata pepatah, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Tidak ada orang yang langsung mahir bermain, pun setiap orang juga mempunyai prosesnya untuk mencapai kesuksesan. Sehingga kegalauan terhadap sesuatu harus dihadapi dan dijalani dengan penuh keberanian.
Jika sudah berusaha dengan maksimal, maka semesta punya caranya untuk memberikan jalan.
“When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.” Petuah dari novelis Paulo Coelho.
Skenario ini bisa dilihat dari permainan latto-latto juga. Dua pendulum bola yang ada bisa digambarkan sebagai bola tantangan dan bola peluang. Ketika seseorang berhasil menaklukkan tantangan dan memaksimalkan peluang, saat itulah tantangan dan peluang bertemu pada satu titik tengah dan mengeluarkan suara. Yaps, itulah takdir yang kita ciptakan.
Ternyata ada banyak hal yang dapat dipelajari dari latto-latto. Meskipun demikian, akhirnya kita dapat berkata bahwa ini hanyalah permainan. Akan ditinggalkan jika sudah bosan. Namun, bukankah hidup juga sebatas permainan? Kita tidak pernah benar-benar menghidupi kehidupan. Buktinya tidak terasa sudah berada di akhir tahun. Rasanya baru kemarin kita merayakan tahun baru. Ketidaksadaran kita menjalani kehidupan selama satu tahun ini adalah tanda bahwa hidup sebatas permainan.
Jadi, permainan apa yang mau diviralkan tahun 2023? Bersiap untuk menggandrungi permainan baru sesuai dengan kehendak algoritma. Semoga bukan permainan politik yang nirkeadaban.
***
Editor: Ghufroni An’ars