Aksi demonstrasi yang digalakkan oleh gabungan elemen seperti mahasiswa, buruh, maupun masyarakat menghadapi satu tantangan serius, yakni darurat militer. Kekhawatiran ini merujuk pada instruksi Prabowo Subianto, selaku Presiden RI, kepada Kapolri untuk menindak tegas pihak demonstran yang provokatif dan merusak fasilitas umum.
Seperti yang kita tahu, gelombang unjuk rasa yang berlangsung sejak 25 Agustus 2025 kemarin eskalasinya semakin memanas. Hingga akhirnya, banyak fasilitas umum menjadi objek pengrusakan yang entah pelakunya berasal dari peserta demonstrasi, atau pihak lain yang sengaja memprovokasi untuk mendiskreditkan gerakan sosial tersebut. Yang pasti, tingginya tensi demonstrasi yang terjadi belakangan serta melihat gestur politis yang ditampilkan Prabowo di depan media memunculkan kekhawatiran akan ancaman darurat militer.
Baca juga:
Darurat militer sendiri merupakan kondisi di suatu negara di mana militer diberikan kewenangan penuh untuk mengontrol keamanan dan ketertiban negara. Dalam kondisi demikian, pemerintah sipil dianggap tidak mampu menghadapi masalah yang terjadi sehingga seluruh kewenangan sipil dialihkan kepada militer. Oleh karena itu, dalam darurat militer, cara-cara militer akan dipakai untuk “menertibkan” dan menyelesaikan krisis yang terjadi.
Ini jelas masalah sekaligus ancaman bagi aksi demonstrasi hari ini. Sebab, jika darurat militer diberlakukan, massa tidak hanya kehilangan kesempatan untuk menyampaikan tuntutan dan aspirasi, tapi juga berpotensi munculnya kekerasan bersenjata dari negara kepada warga sipil. Siapa pun akhirnya terancam dipenjara dan dihukum tanpa proses pengadilan –setidaknya kekhawatiran ini yang banyak tersebar di media sosial.
Paradoks Negara Demokrasi
Sekilas terdengar cukup aneh, di negara demokrasi yang katanya kebebasan berpendapat dilindungi, ternyata ada batasan yang rancu dan tricky di mana kebebasan itu juga dibatasi. Kerancuannya terletak pada kewenangan dalam memutuskan kondisi tersebut.
Presiden memegang kewenangan penuh untuk memutuskan kapan dan dalam kondisi apa darurat militer dapat diaktifkan. Ini kemudian juga menjadi tricky karena presiden sendiri bukan posisi apolitis, ia entitas politik yang putusannya tak lepas dari kepentingan-kepentingan politis. Bisa saja, darurat militer diterapkan untuk menciptakan kondisi yang hanya menguntungkan bagi pemerintah, tetapi merugikan untuk masyarakat sipil. Memang aneh, tapi inilah paradoks negara demokrasi.
Giorgio Agamben dalam bukunya State of Exception (2005) menyebut bahwa salah satu paradoks dalam negara demokrasi adalah memungkinkannya kondisi kedaruratan (state of exception). Dalam kondisi ini, hukum positif ditangguhkan dan pemerintah punya wewenang penuh untuk bertindak di luar kerangka hukum dengan dalih menyelamatkan kepentingan negara. Ini kemudian disebut paradoks demokrasi karena negara dengan sistem demokrasi dapat mengoperasikan mekanisme nondemokratis untuk mempertahankan diri, yang dalam praktiknya justru merusak prinsip-prinsip fondasionalnya sendiri.
Darurat Militer dan Konsekuensinya
Dalam konteks ini, darurat militer adalah salah satu bentuk kedaruratan yang dimaksud Agamben. Apabila kondisi ini diputuskan, maka militer akan mengambil alih wewenang dan diperbolehkan mengambil tindakan apa pun yang diperlukan untuk menanggulangi krisis yang ada. Bentuk-bentuk kekerasan seperti pembatasan kebebasan sipil, penggeledahan ruang-ruang privat, hingga tindakan luar biasa di luar kerangka hukum yang berlaku bakal jadi ancaman serius bagi peserta aksi dan masyarakat secara luas.
Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan dari kondisi demikian adalah potensinya untuk dipertahankan secara permanen–ini juga jadi kritik keras Agamben pada sistem demokrasi. Tindakan-tindakan yang diterapkan saat darurat militer berpotensi dipertahankan secara permanen melalui pembentukan produk hukum yang sah. Misalnya, meski tak menyebabkan darurat militer, peristiwa Gerakan 30 September menjadi titik awal di mana segala bentuk pemikiran komunisme dilarang di Indonesia. Pelarangan tersebut bersandar pada alasan kedaruratan bahwa komunisme dianggap sebagai ideologi yang mengancam kepentingan negara. Inilah mengapa hari ini komunisme diharamkan oleh negara dan orang yang menyebarkannya akan berhadapan dengan masalah hukum serius.
Baca juga:
Menimbang potensi tersebut, wajar rasanya jika kekhawatiran terhadap hal ini menyeruak di media sosial. Bahkan, pasca aksi dengan tensi tinggi yang terjadi pada 29 Agustus 2025 kemarin, poster bertuliskan “Pulang!” disertai ajakan agar peserta demo tak tersulut provokasi tersebar di media sosial. Dan hingga kini, aksi demonstrasi seakan terjebak dalam ambiguitas; aksi bertensi tinggi tapi berpotensi adanya darurat militer, atau aksi damai yang dampaknya minim seperti aksi yang sudah-sudah. (*)
Editor: Kukuh Basuki