Pengajar di Kota Madiun Jawa Timur

Bolehkah Guru Menerima Hadiah pada Hari Guru Nasional?

Kristophorus Divinanto

3 min read

Salah satu masalah yang kerap muncul pada peringatan Hari Guru Nasional adalah dugaan gratifikasi. Dalam beberapa tahun terakhir, pemaknaan gratifikasi dalam dunia pendidikan cenderung kian berlabuh ke arah yang kaku dan penuh curiga.

Hal ini kian terasa ketika mendapati  salah satu sekolah di Kota Madiun, Jawa Timur, yang mengedarkan surat resmi bertandatangan kepala sekolah berisikan pelarangan murid memberikan hadiah dalam bentuk apa pun untuk guru ketika peringatan Hari Guru Nasional.

Segala bentuk pemberian fisik-sesederhana bunga kertas buatan tangan-dianggap berpotensi melanggar etika. Murid hanya diperkenankan mengucapkan salam atau ucap terima kasih secara lisan sementara ekspresi apresiatif lainnya dipandang sebagai tindakan yang mengarah pada penyuapan.

Fenomena pelarangan semacam ini tentu dimungkinkan terjadi di daerah lain yang ada di Indonesia yang mengisyaratkan adanya perubahan besar dalam cara masyarakat mengamati relasi apresiatif antara murid dan guru.

Baca juga:

Relasi yang membudaya atas fondasi kepercayaan, penghormatan, dan kemanusiaan kini dipersempit oleh ketakutan administratif. Ketika sebuah sekolah sampai mengedarkan surat pelarangan semacam ini, bukan hanya potensi penyimpangan atau sikap pamrih pemberi yang mati, melainkan juga mematikan kebebasan dan spontanitas ekspresi rasa sayang murid dan orang tua terhadap guru. Kebijakan semacam ini-meski berorientasi-sebagai pencegahan, justru meredupkan humanisme yang menjadi organ penting penyelenggaraan pendidikan.

Hal ini sebenarnya berakar dari cara masyarakat merespon kata gratifikasi itu sendiri. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan gratifikasi sebagai pemberian yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh.

Tidak berhenti di situ, KBBI memberikan dua gabungan kata yang memanfaatkan kata dasar gratifikasi menjadi dua kata lanjutan, antara lain gratifikasi positif dan gratifikasi negatif. Keduanya memiliki pengertian yang berseberangan.

Gratifikasi Positif dan Negatif

Gratifikasi positif artinya pemberian yang dilakukan dengan niat tulus sebagai tanda kasih, penghargaan, atau rasa terima kasih, tanpa disertai harapan imbalan. Berbeda dengan gratifikasi negatif yang didefinisikan sebagai pemberian yang dilakukan dengan tujuan pamrih untuk memperoleh keuntungan tertentu—nilai yang lebih baik, perlakuan istimewa, atau akses yang seharusnya tidak didapatkan. Perbedaan ini jelas dan tegas namun ruang sosial menyamartakan keduanya dalam satu kata nomina gratifikasi.

Hingga kini, tidak sedikit sekolah yang menuliskan pada poster: “Kami Menolak Gratifikasi” tanpa ada edukasi keberadaan dua jenis gratifikasi atau edukasi tentang gratifikasi lebih jauh. Seolah ungkap dan ucap terima kasih yang tulus dari murid atau orang tua ke guru bisa masuk ke area mencurigakan dan penuh pamrih.

Kecurigaan terus-menerus semacam ini menciptakan kemanusiaan yang mekanis. Padahal tentu tidak setiap pemberian lahir dari motif buruk. Tidak setiap bingkisan adalah suap. Tidak setiap makanan yang diterima guru adalah tiket instan keberhasilan murid. Ada momen ketika sebuah apresiasi semacam ini justru menjadi simbol apresiatif atas perjalanan proses pembelajaran yang bermakna dan humanis.

Padahal negara tetangga kita, Thailand, dapat menjadi contoh budaya apresiasi yang positif  melalui tradisi Wai Khru. Acara ini merupakan upacara tahunan yang ketika murid memberikan penghormatan kepada guru melalui pemberian bunga, doa, dan simbol-simbol apresiasi lainnya. Tak pernah ada prasangka pada setiap benda, tindakan, dan ucapan.

Wai Khru diwariskan dari generasi ke generasi dengan landasan keyakinan hubungan murid dan guru merupakan hubungan etis yang melibatkan rasa hormat, kehangatan, dan mengedepankan kemanusiaan. Tradisi ini membuktikan bahwa budaya apresiasi lewat lisan maupun pemberian fisik dapat menjadi budaya sehat tanpa memunculkan kekhawatiran pamrih.

Kontras sikap antara cara murid dan orang tua berterima kasih pada guru melalui Wai Khru dan sikap defensif beberapa institusi di Indonesia dalam memaknai gratifikasi mengundang refleksi mendalam.

Ketika semua bentuk pemberian dari murid atau orang tua untuk guru disikapi sebagai gratifikasi negatif, pendidikan kian kehilangan kemanusiannya. Murid kehilangan kesempatan untuk menyampaikan terima kasih secara kreatif dan personal. Guru kehilangan peluang untuk merasakan ‘hasil kerja kemanusiaan’ yang selama ini selalu tersaklarkan melalui bias pahlawan tanpa tanda jasa.

Mengapresiasi dan Memanusiakan Guru

Di sisi lain, budaya memanusiakan manusia dibutuhkan dalam proses pendidikan yang salah satu bentuknya melalui budaya memberi dan menerima dengan bahagia tanpa prasangka dan maksud lainnya. Kekakuan respons atas gratifikasi berpotensi menciptakan dunia belajar yang datar dan dingin, seolah-olah interaksi manusia yang tulus adalah potensi masalah yang harus dipadamkan sejak dini.

Baca juga:

Masyarakat perlu memahami terdapat dua ruang kontras pada kata gratifikasi yang tidak dapat disamakan. Memahami gratifikasi positif dan gratifikasi negatif menjadi penting agar sekolah tidak terjebak pada sikap kedisiplinan yang berlebihan.

Pengawasan etis tetap diperlukan, tetapi jangan sampai melenyapkan ruang apresiasi yang kreatif dan sehat. Justru pemberi hadiah—para orang tua atau murid atau keduanya—yang perlu berefleksi ketika memberi: Apakah pemberian ini ungkapan syukur atau ada keinginan pribadi yang bersembunyi? Selama bukan dari guru yang meminta, memberi syarat, dan tidak menunjukkan sikap memihak murid berdasarkan pemberian, ungkap terima kasih sekalipun dalam bentuk barang seharusnya dapat diterima sebagai bagian dari humanisme dalam proses pembelajaran.

Biarkan pendidikan berjalan atas keseimbangan antara kematangan kecerdasan pengetahuan, keterampilan dan kemanusiaan.  Biarkan sekolah mencetak murid yang bukan hanya cerdas, melainkan humanis. Ketika apresiasi tulus dibatasi, pendidikan akan kehilangan kemampuan dasarnya untuk menumbuhkan empati. Ruang untuk mengucapkan terima kasih tanpa pamrih-baik melalui kata-kata, pelukan, puisi, atau hadiah-adalah dinamika yang perlu dijaga.

Gratifikasi di Hari Guru Nasional tidak perlu menjadi kekhawatiran. Berikan hari tersebut sebagai hari perayaan kecil atas hubungan guru, murid, dan orang tua, yang berdinamika dalam suatu komunitas belajar yang membentuk masa depan yang bukan hanya cerdas namun mengedepankan kemanusiaan.

Menolak seluruh bentuk hadiah tanpa membedakan konteks justru berpotensi menghilangkan sikap yang indah dari proses belajar yakni mengapresiasi jasa orang-orang yang terlibat dalam proses belajar sebagai manusia yang memanusiakan orang-orang di sekitarnya. Pahami konteks kosakatanya. Terima hadiahnya. Lanjutkan kemanusiaannya.

Selamat Hari Guru Nasional 2025.

Editor: Prihandini N

Kristophorus Divinanto
Kristophorus Divinanto Pengajar di Kota Madiun Jawa Timur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email