Runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny beberapa waktu lalu menorehkan luka mendalam. Puluhan santri menjadi korban, meninggalkan duka yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Namun, yang tak kalah mengusik adalah komentar sebagian masyarakat yang dengan ringan berkata: “Ini sudah takdir Allah. Tidak perlu menyalahkan siapa pun.”
Kalimat seperti ini beredar luas di dunia maya yang seolah menjadi jawaban pamungkas dari tragedi memilukan. Walaupun menyebut nama Tuhan, kalimat semacam itu seringkali lahir bukan dari pemahaman agama yang mendalam, melainkan dari empati yang keliru arah. Lebih jauh lagi, ia bisa melanggengkan budaya pasrah yang justru menjauhkan manusia dari tanggung jawab moral dan sosial.
Fatalisme dan Budaya Pasrah
Dalam kajian filsafat, sikap seperti ini disebut fatalisme yakni pandangan yang meyakini bahwa segala sesuatu sudah ditentukan sepenuhnya oleh takdir. Selanjutnya, ketika sudah tertanam bahwa takdir berada di atas segala usaha manusia maka yang terjadi adalah pikiran-pikiran sempit manusia yang ogah berusaha atau bertanggung jawab.
Budaya fatalistik ini cukup mengakar di masyarakat kita. Alih-alih mengkritisi struktur bangunan, standar keselamatan, atau kelalaian pengelola, sebagian orang justru buru-buru “membungkus” musibah dengan label takdir. Padahal, dalam ajaran Islam sendiri, takdir tidak pernah dimaknai untuk membenarkan keteledoran manusia.
Ikhtiar dan Tanggung Jawab dalam Islam
Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah hadis: “Ikatlah untamu, lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi). Pesan ini sederhana tapi mendalam yakni manusia wajib berusaha maksimal terlebih dahulu sebelum menyerahkan hasilnya kepada Allah.
Dengan demikian, pengasuh pesantren dan pengelola pendidikan Islam memiliki tanggung jawab ganda: tidak hanya dalam aspek ruhani (mengajarkan ilmu agama), tetapi juga aspek jasmani (menjamin keselamatan para santri). Tragedi runtuhnya bangunan pesantren bukan hanya soal musibah, tetapi juga tentang lemahnya standar keselamatan. Jika konstruksi tidak sesuai aturan, jika pengawasan pembangunan longgar, sudah jelas ada unsur kelalaian manusia yang bisa disebut pelanggaran.
Baca juga:
Dalam perspektif etika Islam, jelas ini menyangkut konsep amanah. Ketika seorang kiai atau pengasuh pesantren menerima santri, maka ia memikul amanah keselamatan hidup mereka. Mengabaikan aspek keselamatan adalah bentuk pengkhianatan terhadap maqashid al-syari‘ah. Imam al-Ghazali menekankan bahwa menjaga jiwa (hifz al-nafs) adalah salah satu tujuan utama syariat, sehingga mengabaikan keselamatan berarti melanggar prinsip dasar agama itu sendiri. Dan pastinya mereka lebih tahu tentang hal itu.
Di sinilah letak masalah besar kita: gagal membedakan antara dimensi ilahi (takdir) dan dimensi manusiawi (tanggung jawab). Dalam dimensi ilahi, benar, segala sesuatu ada dalam pengetahuan dan ketetapan Allah. Tapi dalam dimensi manusiawi, kita tetap dituntut untuk berpikir, merencanakan, mengawasi, dan menanggung akibat dari perbuatan kita.
Jika ada pondok pesantren roboh karena konstruksi yang asal-asalan, maka tanggung jawab ada pada pengurus, kontraktor, dan pihak yang memberi izin. Tidak cukup hanya berkata “sudah takdir”. Karena kalau logika itu kita terima, maka semua orang bebas dari tanggung jawab: koruptor bisa berkata “sudah takdir saya korupsi”, pembunuh bisa berkata “sudah takdir korban mati di tangan saya”, bahkan penjahat perang pun bisa berlindung pada dalih “Allah sudah menakdirkan ini semua”. Inikah wajah Islam yang kita banggakan? Islam yang membenarkan kelalaian, menutup mata pada kejahatan, dan membungkam kritik dengan dalih takdir? Jelas tidak!” Karena dalam Islam, setiap amal manusia akan dimintai pertanggungjawaban (QS. Az-Zalzalah: 7-8).
Takdir Bukan Alasan Membungkam Kritik
Mengatakan “ini sudah kehendak Allah” tanpa melakukan evaluasi sama saja dengan membiarkan tragedi berulang. Apalagi jika kritik dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap takdir. Justru sebaliknya, evaluasi adalah bagian dari ikhtiar untuk mencegah kemudaratan di masa depan.
Pesantren adalah salah satu pilar penting pendidikan di Indonesia. Namun, masih banyak pesantren yang berdiri tanpa standar keamanan memadai, bahkan tidak memiliki legalitas bangunan. Tragedi di Al-Khoziny seharusnya menjadi alarm keras bahwa nyawa santri tidak boleh dianggap remeh.
Bagi masyarakat yang mengaku beragama, kita tentu harus berani mengkritik dengan adil. Mengingatkan pengelola pesantren bukan berarti merendahkan lembaga keagamaan, melainkan bentuk kepedulian agar amanah terlaksana. Sementara bagi pengelola pesantren, evaluasi adalah kewajiban moral agar tragedi tidak terulang dan kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan tetap terjaga.
Baca juga:
Musibah memang bagian dari takdir, tetapi kelalaian adalah pilihan manusia. Jika setiap tragedi hanya dibungkam dengan kata “takdir”, maka kita sendiri yang sedang menyiapkan tragedi berikutnya dan harus menerima dengan lapang kemungkinan terburuk yang terjadi. Saya rasa, manusia omong kosong tentang rasa sabar yang mereka ungkapkan saat takdir buruk menimpa.
Sudah saatnya kita membedakan antara takdir dan kelalaian. Takdir tidak bisa dihindari, tetapi kelalaian bisa dicegah. Para santri yang menjadi korban berhak mendapatkan lebih dari sekadar ucapan “ini sudah takdir”. Mereka dan kita semua berhak atas perubahan nyata demi keselamatan generasi berikutnya.
Takdir bukan alasan untuk lalai. Agama bukan tameng untuk menghindari hukum. Jika kita benar-benar beragama, maka iman harus berjalan bersama akal sehat, tanggung jawab, dan keberanian untuk memperbaiki kesalahan. (*)
Editor: Kukuh Basuki