Bejibun kabar tentang Indonesia akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Seolah tidak ada kabar baik dari negara (pemerintah). Tidak ada berita yang membuat kita sumringah. Penguasa seperti tidak memberi kita waktu jeda untuk sejenak menyisih dari keramaian, merenung, dan memahami bangsa ini. Setelah hiruk-pikuk terjadi, negara berduyun-duyun meringkus saudara-saudara kita. Dan secara paradoksal, hal itu dilakukan “atas nama” Indonesia.
Aksi di akhir Agustus sampai awal September itu berlangsung ricuh. Berbagai tempat dilalap api. Jalanan menjelma lautan massa aksi. Beberapa rumah habis dijarah. Peristiwa ini akan menjadi sejarah, bahwa rakyat telah resah dan jengah dengan tingkah-polah para penguasa. Kemarahan rakyat membuncah, dan hendak menampar muka manusia serakah. Mereka bukan “antek asing” atau “teroris”. Mereka tidak bermaksud makar dan menjarah rumah-rumah. Tujuan mereka hanya satu: “menumpas tirani”.
Namun negara memahami secara lain. Massa aksi dianggap “anarkis” dan “teroris”. Gerakan mereka disorot sebagai tindakan melawan hukum. Puluhan orang ditangkap dan buku-buku disita. Melansir CNN Indonesia, penangkapan dan pengumpulan barang bukti (buku-buku) itu dilakukan di berbagai daerah, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Barang bukti berupa buku itu dianggap mengandung ideologi dan strategi gerakan Anarkisme. Sebab, di mata kekuasaan, “biang kerok” kerusuhan aksi beberapa waktu lalu ialah kelompok anarko.
Baca juga:
- Kiprah Rezim Bibliofob dari Masa ke Masa
- Penyitaan Buku oleh Polisi: Praktik Bibliosida Fundamentalis
Sebuah Anomali: Cacat Logika Negara Memahami Anarki
Kelompok anarko belakangan menjadi “buah bibir” masyarakat, usai demonstrasi kemarin. Terutama, setelah Polda Jabar mengungkap keterlibatan kelompok anarko dalam aksi, dan menilai kelompok itu “aktor” di balik kerusakan dan kerusuhan. Bahkan menurut Kapolda Jabar Irjen. Rudi Setiawan, kelompok tersebut memiliki koneksi dengan jaringan internasional, sehingga mereka mendapatkan sokongan dana dari jaringan luar negeri itu.
Menurut Rudi Setiawan, dilansir dari Tempo.co, ideologi Anarkisme merujuk pada sikap “kontra pemerintah” dan cenderung “merusak”. Pendapat ini, lanjut Rudi, diambil dari hasil investigasi. Kemudian ia menyebut, bahwa mereka (Polda Jabar) menemukan barang bukti, seperti buku, bom molotov, bom pipa, bom propane, petasan, batu, dan benda-benda lain. Dengan beberapa bukti ini, Polda Jabar kemudian melakukan koordinasi dengan Polda Metro Jaya, Polda Jateng, Polda Jatim, serta Mabes Polri, Bareskrim, dan Densus 88 untuk “memburu” aktor intelektual di balik jaringan anarko tersebut (Humas Polri, 16 September 2025).
Fenomena di atas tentu perlu dibaca secara kritis. Kita tidak bisa menerima kabar itu secara taken for granted. Kita harus benar-benar “mengunyah” berita secara memadai. Kalau membaca pernyataan Kapolda Jabar itu, setidaknya kita menemukan dua kata kunci tentang Anarkisme: “kontra pemerintah” dan “merusak”. Lantas, apakah memang demikian Anarkisme itu?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita bisa merujuk dua buku ini: ABC Anarkisme (Daun Malam, 2017) dan Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan (Marjin Kiri, 2007). Buku pertama ditulis Alexander Berkman, sementara buku kedua ditulis Sean M. Sheehan. Dua buku ini, menurut saya, bisa menjadi rujukan utama untuk memahami Anarkisme. Kedua buku ini mengulas Anarkisme secara sederhana dan mudah dipahami.
Dalam ABC Anarkisme, Alexander Berkman membantah tuduhan bahwa Anarkisme adalah ketidakaturan dan kekerasan. Justru, menurut Berkman, Anarkisme memiliki arti keteraturan tanpa hierarki dan keadilan tanpa kekerasan (Berkman, 2017: 8). Ia juga mengakui, bahwa kaum anarkis memang terkadang melakukan kekerasan. Namun, kita tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan, bahwa Anarkisme adalah kekerasan.
Mengenai persoalan itu, Berkman mengajak kita berpikir: jika kaum anakis kadang-kadang menggunakan kekerasan, apakah hal itu berarti Anarkisme adalah kekerasan? Lantas, ketika ada seorang warga negara mengenakan seragam, kemudian ia melempar bom dan melakukan kekerasan, apakah itu berarti setiap orang berseragam adalah teroris? Tentu tidak. Karena jika kita berpikir demikian, berarti kita telah terjebak ke dalam kecacatan logika: generalisasi.
Menurut Sheehan, dalam tradisi Anarkisme, tidak semua kaum anarki selalu menggunakan cara-cara kekerasan. Terdapat cara non-kekerasan yang bersumber dari Pasivisme Tolstoy dan Satyagraha Mahatma Gandhi (Sheehan, 2007: 121-2). Senada dengan Berkman, Sheehan juga mengatakan, bahwa “Anarkisme itu menentang paradigma hierarkis-sentralistik yang menyusun kekuasaan negara, dan tentu hal itu membuat Anarkisme menampik kekerasan sistemik oleh negara” (Sheehan, 2007: 15).
Kapolda Jabar telah mengatakan, bahwa paham Anarkisme itu cenderung merusak. Jika kita merujuk ABC Anarkisme, tuduhan tersebut sama sekali tidak berdasar. Sebab, menurut Berkman, bukan “isme” tertentu—dalam hal ini Anarkisme—yang membuat seseorang melakukan kekerasan, melainkan terdapat faktor-faktor lain. Sebagai seorang anarkis, Berkman dengan terang-terangan mengatakan: “kekerasan adalah sebuah metode yang berasal dari kebodohan, dan senjata orang-orang lemah” (Berkman, 2017: 23).
Baca juga:
Bukankah kalimat Berkman itu telah jelas, bahwa Anarkisme bukan sebuah paham kekerasan? Jika demikian, Kapolda Jabar sudah terjebak ke dalam kecacatan logika kedua kalinya. Dan model penalaran Kapolda Jabar tersebut dominan di dalam lingkaran kekuasaan negara. Maka tak ayal, kalau Presiden Prabowo juga memiliki pandangan semacam itu—dapat dilihat dalam Keterangan Pers Presiden Prabowo (31 Agustus 2025). Konsekuensi dari nalar kekuasaan itu juga akan menindas kelompok tertentu yang dituding “anarki”—versi kekuasaan.
Anarkophobia: Upaya Negara Menumpas “Hantu Anarki”
Nalar tersebut kemudian membentuk cara pandang dan sikap negara terhadap kaum anarko. Negara, melalui kepolisian, hendak “membersihkan” Tanah Air dari benih-benih Anarkisme itu. Sehingga “Aparatus Represi Negara” (istilah Althusser) itu sampai detik ini terus “memburu” kaum anarko, termasuk menangkap dan menyita buku. Segala hal yang berbau anarki terus dicari oleh polisi. Menurut mereka, semakin banyak bukti, semakin “benar” pula tudingan mereka terhadap sejumlah tahanan itu.
Setelah mengetahui kecacatan nalar kekuasaan tersebut, saya justru semakin curiga, bahwa negara saat ini sedang takut secara berlebihan (fobia) terhadap Anarkisme. Dalam konteks masalah ini, negara membangun sebuah metanarasi untuk memarginalisasi suatu kelompok (kaum anarko) dan kemudian disebar di pelbagai media massa. Kemudian dengan instrumen hukum, negara merasa memiliki hak untuk mengkriminalisasi orang-orang yang dianggap “dalang” di balik kerusuhan. Padahal hal itu dilakukan untuk menutupi fobia mereka terhadap ideologi Anarkisme. Sebab mereka khawatir kalau ideologi itu (dapat) mengancam status quo.
Dengan demikian, kekuasaan saat ini berusaha mengusir “hantu-hantu” Anarkisme. Jika perlu benih-benih anarki tidak bisa lagi tumbuh di Bumi Pertiwi. Negara terus melakukan beragam cara untuk menumpas keberadaan kaum anarko, seperti menuduh mereka “makar”, “antek asing”, dan “perusuh”. Padahal sebenarnya negara sedang berada dalam ketakutan. Inilah yang saya maksud dengan “Anarkophobia”—sebuah ketakutan dan kebencian terhadap Anarkisme. Dan Anarkophobia itu akan menghasilkan stigmatisasi, diskriminasi, dan eksploitasi terhadap kaum anarko.(*)
Editor: Kukuh Basuki